Soal:
Ustadz, maaf mau tanya, jika kita bersilaturahmi ke rumah saudara yang bekerja di bank atau lembaga keuangan lainnya yang mengandung riba, lalu kita diberi sajian makanan dan minuman, bagaimana hukumnya kalau kita memakan sajian tersebut? (Eva Yuliana, Jember).
Jawab:
Hukum melakukan muamalah dengan pemilik harta haram, bergantung pada jenis harta haramnya. Ada 3 (tiga) macam harta sbb;
Pertama, harta yang bentuknya zat najis, seperti khamr, babi, bangkai. Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta ini, misalnya berjual-beli harta najis atau menerima hadiah berupa najis.
Hal ini karena terdapat dalil yang mengharamkan pemanfaatan zat najis sebagaimana sabda Nabi ﷺ,”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung.” (HR Bukhari).
Kedua, harta yang berasal dari non-muamalah, yaitu dari aktivitas sepihak yang tidak ada saling ridha. Misalnya harta curian, harta rampokan, harta rampasan. Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta seperti ini, seperti berjual-beli harta curian atau menerima hadiah harta curian.
Dalilnya sabda Nabi ﷺ,”Barang siapa yang membeli harta curian sedangkan dia tahu harta itu curian, maka dia ikut menanggung cacatnya dan dosanya.” (HR Al Hakim dan Al Baihaqi).
Ketiga, harta yang berasal dari muamalah yang haram. Misalnya harta suap, harta gratifikasi, harta riba, gaji dari pekerjaan ribawi (misal pegawai bank). Hukumnya boleh bermuamalah dengan pemilik harta ketiga ini, seperti menerima pemberian hartanya, atau memakan makanan yang diberikan. Tetapi, sebaiknya kita tidak bermuamalah dengan pemilik harta ini.
Dalilnya Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.
Dalil Al Quran firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya): “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS Al An’aam [6] : 164).
Dalil As Sunnah, di antaranya :
(1) Nabi ﷺ menerima pembayaran jizyah dari orang Yahudi, padahal sudah diketahui harta orang Yahudi adalah harta riba;
(2) Nabi ﷺ menerima pemberian daging beracun dari seorang perempuan Yahudi di Khaibar, padahal perempuan itu juga berasal dari kalangan Yahudi yang bermuamalah riba;
(3) Nabi ﷺ pernah membeli bahan makanan dari orang Yahudi dengan agunan baju besinya, padahal penjualnya adalah orang Yahudi yang bermuamalah riba;
(4) Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah ditanya mengenai orang yang bertetangga dengan pemakan riba, dan pemakan riba itu mengundang orang tersebut untuk makan-makan, apakah itu boleh? Maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menjawab,“Penuhi saja undangan itu, karena makanan itu adalah bagimu sedang dosanya adalah tanggungan dia.” (Arab : ajiibuuhu fa-innamal mahnau lakum wal wizru ‘alaihi). (Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, hlm. 71).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi ﷺ), pernah Khalifah Umar memerintahkan pegawainya yang memungut kharaj (pajak tanah taklukan), agar tidak memungut kharaj dari non muslim dalam bentuk khamr dan babi, tapi non muslim tersebut diminta menjualnya lebih dulu, baru kemudian mereka membayar kharaj dengan uang hasil penjualannya. (lihat Imam Abu Ubaid, Al Amwal). Ijma’ Shababat ini menunjukkan bolehnya bermuamalah dengan pemilik harta haram jenis ketiga, yaitu harta yang berasal dari muamalah yang haram.
Berdasarkan ini, boleh hukumnya kita memakan sajian saudara yang bekerja di bank.
Namun sebaiknya kita tidak memakannya, karena Islam itu mengajarkan ihtiyath (berhati-hati) dan bersikap wara, yaitu menjauhkan dari hal-hal yang syubhat atau yang dikhawatirkan ada unsur keharaman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ “Seorang hamba Allah tidak akan mencapai derajat orang yang bertaqwa hingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak ada dosanya lantaran khawatir di situ ada dosanya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim).
Wallahu A’lam.
Dijawab Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi