Secara garis besar, hadis ada dua klasifikasi. Pertama: Al-Hadîts al-maqbûl, yakni hadis yang diterima, yang dijadikan dalil dan digunakan ber-hujjah. Kedua: Al-Hadîts al-mardûd, yakni hadis yang ditolak, tidak bisa dijadikan dalil dan tidak bisa digunakan untuk ber-hujjah.
Hadis yang diterima, yang bisa dijadikan dalil dan boleh digunakan untuk ber-hujjah adalah hadis shahih dan hasan. Jika tidak termasuk hadis shahih atau hasan, baik lidzâtihi maupun li ghayrihi, maka sebuah hadis dinilai sebagai hadis mardûd (tertolak).
Yang menjadikan suatu hadis diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matan-nya. Jika dari sanad hadis itu tidak hilang seorang perawi yang hilangnya menyebabkan perawi yang hilang itu tidak bisa ditetapkan adil, perawinya tidak dinilai cacat, matan-nya tidak lemah/rusak (rakîk) dan tidak menyalahi sebagian al-Quran atau as-sunnah mutawatirah atau ijmak yang qath’i, maka hadis tersebut diterima dan diamalkan serta dijadikan sebagai dalil syariah, baik apakah hadis itu shahih atau hasan. Adapun jika hadis itu tidak memiliki sifat-sifat tersebut maka hadis itu ditolak (mardûd) dan tidak dijadikan dalil.
Hadis mardûd dalam istilah para ulama disebut dengan istilah hadîts dha’îf. Imam Ibnu Shalah di dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, setiap hadis yang di dalamnya tidak terhimpun sifat-sifat hadis shahih, tidak pula sifat-sifat hadis hasan yang telah disebutkan, maka merupakan hadis dha’îf. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III, setelah menyatakan definisi yang sama persis dengan definisi Imam Ibnu Shalah tersebut, beliau menjelaskan, hadis dha’îf itu adalah hadis yang tidak terbukti ke-tsiqah-an para perawinya, sebagian atau seluruhnya. Penyebabnya adalah ketidakjelasan pada keadaannya (jahâlah fî hâlihim) atau noda pada dirinya tentang kejujuran dan semacam itu yang mengharuskan adanya penafian keadilan dan ke-tsiqah-annya.
Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam At-Taqyîdh wa al-Idhâh Syarh Muqaddimah Ibni Shalah, sifat-sifat yang tidak terpenuhi yang menjadikan hadis itu dha’îf ada enam sifat: (1) bersambungnya sanad; (2) keadilan perawi; (3) keselamatan dari banyak keliru dan lupa; (4) datangnya hadis dari arah lain yang di dalam sanad-nya ada mastûr tetapi tidak banyak rancu; (5) keselamatan dari syadz; (6) keselamatan dari ‘illat.
Jika sebuah riwayat tidak memenuhi satu atau lebih sifat itu, maka ia dinilai sebagai hadis dha’îf. Atas dasar tidak terpenuhinya sifat hadis shahih atau hasan itu maka hadis dha’îf ada banyak bagian. Abu Hatim Ibnu Hibban al-Basti membicarakan panjang lebar tentang itu dan menyatakan ada 49 bagian hadis dha’îf.
Menurut Ibnu Shalah, sederhananya yang menjadi patokan pembagian itu bahwa bagian yang tidak memenuhi satu sifat mulai yang pertama hingga keenam, lalu yang tidak memenuhi satu sifat bersama sifat lainnya, lalu yang tidak memenuhi tiga sifat dan seterusnya, hingga yang tidak memenuhi semua sifat itu dan ini merupakan jenis yang paling rendah. Dalam hal ini, Imam Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis mawdhû’ (hadits palsu) adalah hadits dha’îf yang paling buruk. Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi, pernyataan tersebut adalah benar; bahwa janis paling buruk dari jenis hadis dha’îf adalah hadis mawdhû’ (palsu). Sebab hadis itu dusta. Ini berbeda dengan yang tidak terpenuhi siat-sifat yang telah disebutkan sebab dari kosongnya sifat itu tidak mesti hadis itu dusta.
Dengan demikian, seperti yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam At-Taqrîb, ke-dha’îf-an hadis itu berbeda-beda tingkatnya seperti halnya tingkat keshahihan hadis. Dalam Mushthalah al-Hadîts, ada berbagai sebutan untuk jenis hadis dha’îf seperti munqathi’, mu’allaq, mu‘dhal, syâdz, mu’allal, munkar, mawdhû’, maqlûb, mudhtharib dan sebagainya. Inisebagimana dirinci dalam Mushthalah al-Hadîts.
Dalam hal itu, Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (I/338-340) menyatakan, bahwa di bawah hadis mardûd ada berbagai jenis hadis yang tidak keluar dari sifat-sifat berikut:
Pertama, al-mu’allaq. Ini adalah jenis hadis yang dari sanadnya gugur satu perawi atau lebih, secara berurutan sejak awal sanad; gugur secara jelas, tidak tersembunyi. Di dalamnya termasuk apa yang oleh seorang muhaddits atau al-mushannif disembunyikan semua sanadnya. Misalnya, dia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda atau berbuat demikian…”
Kedua, al-mu’dhal. Ini adalah riwayat yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawi di satu tempat atau lebih. Di dalamnya termasuk apa yang di-irsâl-kan oleh tâbi’ at-tâbi’în. Misal, ketika tâbi’ at-tâbi’în mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda…,” atau, “Rasulullah saw. melakukan begini…,” dan semacamnya. Intinya, mereka langsung menyandarkan hadis itu kepada Rasulullah saw.
Namun demikian, tidak termasuk dalam jenis ini ucapan fukaha, “Rasulullah saw. bersabda…,” dan ucapan mereka, “Dari Rasulullah saw….” Sebab ucapan fukaha seperti itu bukanlah riwayat melainkan istisyhâd dan istidlâl, jadi boleh saja.
Ketiga, al-munqathi’. Ini adalah hadis yang dari riwayatnya gugur satu perawi sebelum sahabat di satu tempat, di manapun, dan jika berbilang tempat dimana pada setiap tempat hanya satu perawi yang gugur sehigga menjadi munqathi’ pada beberapa tempat. Demikian juga termasuk munqathi’, hadis yang di dalamnya disebutkan perawi yang mubham (samar/misterius). Misalnya, di dalam sanadnya disebutkan “…‘an rajul[in] (dari seorang laki-laki)…” tanpa disebutkan siapa orang itu.
Keempat, asy-syâdz. Maknanya, seorang yang tsiqah meriwayatkan hadis yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih tsiqah dari dirinya. Tidak termasuk syadz hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, yang tidak diriwayatkan oleh selain dia. Sebab apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah diterima walaupun tidak diriwayatkan oleh selain dia, dan boleh dijadikan hujjah. Jadi asy-syâdz hanyalah riwayat seorang tsiqah yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah. Artinya, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbûl yang menyalahi perawi yang lebih râjih darinya.
Kelima, al-mu’allal, yakni riwayat yang di dalamnya ada ‘illat. Ini adalah hadis yang di dalamnya ada ‘illat yang mencederai keshahihannya, sementara pada lahiriahnya selamat dari ‘illat.
Keenam, al-munkar. Ini adalah hadis yang diriwayatkan secara infirâd (menyendiri) oleh perawi yang tidak tsiqah. Jadi al-munkar adalah apa yang diriwayatkan oleh perawi dha’îf menyalahi perawi tsiqah.
Ketujuh, al-mawdhû’ (palsu), yakni hadis yang dibuat-buat. Ini adalah hadis dha’îf yang paling buruk. Sebuah hadis diketahui sebagai mawdhû’ dengan pengakuan pembuatnya, atau yang posisinya seperti pengakuan. Kadang kepalsuan itu dipahami dari qarînah kondisi perawi, seperti perawi mengikuti dalam kedustaan itu keinginan sebagian pemimpin, atau jatuhnya dia dalam isnâd-nya, sementara dia pendusta, di mana khabar itu tidak diketahui kecuali dari sisinya, dan tidak ada seorang pun yang mengikutinya (tidak ada tâbi’ satu pun) dan tidak ada syâhid. Kepalsuan hadis itu juga bisa dipahami dari keadaan apa yang diriwayatkan, yakni dari keadaan matan seperti rikâkah (kelemahan/kerusakan) lafal dan maknanya, atau karena menyalahi ayat al-Quran, as-Sunnah mutawatir atau ijmak yag qath’i.
Ketujuh jenis itu hanyalah sebagian dari jenis hadîs mardûd, dan masih ada jenis-jenis lainnya. Yang harus diperhatikan, sebuah hadis tidaklah ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat shahih. Tentu selama sanad-nya, para perawi dan matannya diterima. Dengan demikian, hadis itu merupakan hadis hasan karena para perawinya kurang dari perawi shahih atau di dalamnya ada mastûr atau jelek hapalannya, tetapi dikuatkan dengan qarînah yang me-râjih-kan penerimaannya, misalnya dikuatkan dengan mutâbi’ atau syâhid. Jadi tidak boleh dibuat-buat dalam menolak hadis selama mungkin menerimanya sesuai ketentuan sanad, perawi dan matan. Apalagi jika hadis itu diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh para fukaha umumnya. Ia tetap diterima meskipun tidak memenuhi syarat-syarat shahih sebab hadis itu msuk dalam hadis hasan.
Sebagaimana tidak boleh dibuat-buat daam menolak hadis, demikian juga tidak boleh tasâhul (gampangan) dalam menilai hadis sehingga menerima hadis yang mardûd karena sanad, perawi atau matannya (Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, I/341).
Status hadits dha’îf tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa diambil sebagai dalil atas hukum syariah. Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh jumhur ulama dan fukaha.
Termasuk keliru pendapat bahwa hadis dha’îf, jika datang dari beragam jalan yang dha’îf bisa naik ke derajat hadis hasan atau shahih. Sebab jika ke-dha’îf-an hadis itu karena kefasikan perawinya atau dia dituduh dusta secara riil, kemudian datang dari jalan-jalan lain yang sejenis maka justru menambah ke-dha’îf-an di atas ke-dha’îf-an.
Adapun jika makna yang dikandung hadis dha’îf itu juga dikandung oleh hadis shahih atau hasan maka hadis shahih atau hasan itu yang dijadikan dalil dan digunakan sebagai hujjah. Adapun hadis dha’îf itu ditinggalkan. Oleh karena itu tidak boleh berdalil dengan hadits dha’îf sama sekali.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]