Tanya :
Ustadz, afwan mau tanya, yang dimaksud larangan jual beli di masjid itu batasannya bagaimana ya? Apakah yang dilarang itu menggelar lapaknya, atau promosi saja dengan lisan sudah dilarang, atau sekedar serah terima barang sudah dilarang? (Dwi Condro Triono, Bantul)
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berjual beli di masjid menjadi dua pendapat. Pertama, jumhur ulama berpendapat berjual beli di masjid hukumnya makruh. Akad jual belinya sah, selama memenuhi segala rukun dan syarat jual beli, tetapi disertai kemakruhan. Ini adalah pendapat ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Kedua, sebagian ulama, yaitu dari mazhab Hambali, berpendapat berjual beli di masjid hukumnya haram. Jadi akad jual belinya haram dan jual belinya dianggap tidak sah (batil). (Ibnu Habiirah, Ikhtilaaf Al A`immah Al ‘Ulamaa`, Juz I, hlm. 348; Al Buhuuti, Kasysyaaf Al Qinaa’ ‘an Matn Al Iqnaa’, Juz II, hlm. 366).
Perbedaan pendapat tersebut berasal dari perbedaan penafsiran hadis Rasulullah SAW yang melarang jual beli masjid, apakah larangan tersebut berarti haram ataukah sekedar makruh. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di masjid, maka katakanlah,’Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan kamu.” (HRTirmidzi, nomor 1321).
Juga terdapat riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yang berkata,”Rasulullah SAW telah melarang berjual beli di masjid,” (nahaa rasuulullaahi SAW ‘an al syiraa` wa al bai’ fil masjid). (HR Ahmad, Juz XI, hlm. 257; Abu Dawud, nomor 1079).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, sebagian ulama menafsirkan bahwa larangan (nahi) dalam hadis di atas adalah larangan haram. Sedangkan sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa larangan dalam hadis di atas bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh.
Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa larangan berjual beli di masjid hukumnya adalah makruh, bukan haram. Mengapa? Karena larangan (nahi) yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut tidaklah disertai dengan qariinah (petunjuk/indikasi) yang melarang dengan tegas (jaazim), yaitu haram. Misalnya, adanya ancaman siksa neraka atau ancaman mati jahiliyyah bagi siapa saja yang berjual beli di masjid. Yang ada hanyalah qariinah yang bersifat tidak tegas (ghairu jaazim), yaitu didoakan “tidak beruntung” bagi orang yang berjual beli di masjid. Padahal sudah dimaklumi bahwa mengalami kerugian dalam perdagangan itu bukanlah suatu dosa dalam Islam. Jadi, hukum berjual beli di masjid adalah makruh, bukan haram. Inilah pendapat yang menjadi pegangan umumnya ulama.
Syekh ‘Atha bin Khalil dalam kitabnya Taisiir Al Wushuul Ila Al Ushuul berkata bahwa jika ada suatu larangan (nahi) tetapi disertai dengan qariinah yang tidak tegas (ghairu jaazim), maka larangan itu menunjukkan hukum makruh. (‘Atha bin Khalil, Taysiir Wushuul Ila Al Ushuul, hlm. 19-28).
Adapun jawaban untuk pertanyaan di atas, apakah yang dilarang itu termasuk menggelar lapaknya atau promosinya?
Jawabnya; yang dilarang dalam arti makruh adalah melakukan akad jual belinya, termasuk segala sarana (wasilah) yang menuju pada terjadinya akad jual belinya, seperti pemasangan promosinya, atau penggelaran lapaknya, dsb sesuai kaidah fiqih: Al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamihaa. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 199). Kaidah ini menerangkan hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) sama dengan hukum untuk tujuan. Maka, menggelar lapak untuk berjual beli di masjid, hukumnya makruh, mengikuti tujuannya yaitu berakad jual beli di masjid yang hukumnya makruh. Wallahu a’lam.
Dijawab Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi