memaknai silaturahmi

Silaturahmi

Silaturahmi (shilah [a]r-rahim) secara bahasa berasal dari kata shilah dan ar-rahim.  Secara bahasa, shilah artinya hubungan; dan ar-rahimu, bentuk jamaknya al-arhâm, artinya rahim dan kerabat. Kata arhâm di dalam al-Quran dinyatakan tujuh kali dengan makna rahim dan lima kali dengan makna kerabat.  Dengan demikian silaturahmi secara bahasa adalah hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang bertalian melalui rahim.

Kerabat, selain disebut ar-rahim, juga disebut dzawi al-qurbâ.  Itu artinya silaturahmi bisa juga disebut shilatu dzawi al-qurbâ (hubungan dengan orang yang memiliki ikatan kekerabatan). Ini diperintahkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 26; QS ar-Rum [30]: 38; QS an-Nisa’ [4]: 36).

Rasul saw. bersabda:

يَدُ الْمُعْطِيْ الْعُلْيَا وَاِبْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ اُمَّكَ وَأَبَاكَ وَاُخْتَ كَ وَاَخَاكَ ثُمَّ اَدْنَاكَ اَدْنَا

Tangan pemberi yang ada di atas itu (lebih utama), dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)-mu: ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR an-Nasai, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).

Abu Ayub al-Anshari menuturkan, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah saw., beritahu aku perbuatan yang dapat memasukkan aku ke surga.”  Rasul saw. menjawab:

تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤَتِيْ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ

Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad).

Tampak dari nas-nas di atas bahwa perintah silaturahmi itu tidak dibatasi pada kerabat tertentu.  Hal itu misalnya dipahami dari frasa adnâka adnâka atau dalam riwayat lain al-aqrab fa [a]l-aqrab (yang terdekat, lalu yang terdekat).  Jadi perintah silaturahmi itu bersifat umum, mencakup hubungan ke semua yang termasuk arhâm atau dzawi al-qurbâ (kerabat), baik mewarisi atau tidak, mahram atau bukan mahram; artinya mencakup ahli waris (ashhabu al-furudh dan ‘ashabah) dan ûlu al-arham serta siapa yang punya hubungan dengan mereka.

Perintah silaturahmi di dalam nas-nas yang ada dikaitkan dengan pujian.  Dalam riwayat Abu Ayyub di atas, silaturahmi termasuk amal yang bisa mengantarkan pelakunya ke surga.  Semua itu merupakan qarinah bahwa perintah silaturahmi itu bersifat tegas sehingga hukumnya adalah wajib.

Hanya saja, syariah mengharamkan khalwat dengan kerabat yang bukan mahram, tidak boleh memandang kepada selain wajah dan kedua telapak tangan selain mahram. Semua itu menafikan sebagian aktivitas silaturahmi seperti berkunjung, bertemu dan duduk bersama dengan kerabat yang bukan mahram itu.  Adanya pertentangan dalam fakta shilah—antara silaturahmi dengan kerabat yang bukan mahram dan apa yang diharamkan Allah—mengalihkan sifat tegas dari perintah silaturahmi bersama kerabat yang bukan mahram.   Dengan demikian silaturahmi bersama kerabat yang bukan mahram hukumnya sunnah.

Dari situ, seperti disimpulkan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di Taysîr fi Ushûl at-Tafsîr (hlm. 65), silaturahmi kepada mahram hukumnya wajib, sedangkan silaturahmi kepada yang bukan mahram hukumnya sunnah.

Adapun memutus silaturahmi adalah dosa. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini bermakna larangan. Qarinah tidak masuk surga menunjukkan larangan itu bersifat tegas. Dengan demikian memutus silaturahmi hukumnya haram.

Dari nas-nas yang ada bisa dipahami bahwa silaturahmi itu berkaitan dengan memberikan hak dan berbuat baik kepada kerabat.  Karena itu Ibn al-Atsir di An-Nihayah mengatakan bahwa silaturahmi itu adalah kinayah (ungkapan) tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; berlaku lemah lembut dan berbelas kasih kepada mereka; mengatur dan memelihara kondisi mereka. Semua ini dilakukan meski mereka itu jauh atau berbuat buruk.  Memutus silaturahmi berlawanan dengan semua itu.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyebutkan silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, dengan bantuan, dengan berkunjung, mengucap salam dan sebagainya.

Ibn Abi Jamrah seperti dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan bahwa silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, dengan menolong untuk memenuhi keperluan, dengan menghilangkan dharar, dengan muka berseri-seri (tidak bermuka masam) dan doa.  Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.

Jadi silaturahmi itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana.  Di antaranya berkunjung dalam berbagai kesempatan, memperhatikan kondisi mereka, membantu mereka, memberi hadiah dalam berbagai kesempatan, membela kerabat dan anak-anak mereka, memaafkan berbagai kesalahan atau kekhilafan meski banyak, memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagainya.  Bisa juga silaturahmi itu dijaga dengan memelihara kontak dan komunikasi dengan arham.

Dalam hal silaturahmi ini, ada tiga kategori orang: orang yang menyambung silaturahmi (wâshil ar-rahim); orang yang menjaga silaturahmi; dan orang yang memutus silaturahmi (qâthi’ ar-rahim).  Rasul saw. bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِىءِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubung-kan silaturahmi adalah orang yang jika kekerabatannya diputus, ia menghubungkan-nya (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

Dari hadis ini dapat dipahami, orang yang menyambung silaturahmi adalah yang menyambug hubungan rahim-nya yang diputus oleh pihak lain.  Jadi dia mengambil inisiatif untuk menyambungnya.  Adapun orang yang saling membalas kebaikan di antara kerabat bukanlahwâshil ar-rahim, tetapi al-mukâfi’, artinya yang memelihara silaturahmi.

Orang yang abai dari perbuatan baik atau menolak dharar dari kerabatnya yang mampu dia lakukan tidak dipandang melakukan silaturahmi meski tidak sampai termasuk qâthi’ ar-rahim. Siapa saja yang tidak bersilaturahmi juga bukan berarti qâthi’ ar-rahim. Jika silaturahmi adalahihsan (kebaikan) maka qath’urahmi adalah isâ’ah (keburukan/kejahatan). Dengan demikian memutuskan silaturahmi adalah keburukan/kejahatan, baik kecil atau besar kepada rahim (kerabat).  Jadi orang yang melakukan keburukan atau kejahatan kepada kerabat, kecil atau besar, ia menjadi qâthi’ ar-rahim.

Silaturahmi itu mengharuskan adanya pertemuan dan interaksi atau ikhtilath di antara kerabat, bahkan ikhtilath dengan kerabatnya kerabat.  Ikhtilath atau pertemuan dan interaksi seperti itu adalah boleh.  Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menukil riwayat dari Ibn Juraij bahwa Aisyah ra berkata, “Putri saudara laki-lakiku Muzayyanah pernah masuk menemui aku. Nabi saw. pun masuk, lalu beliau memalingkan muka.  Lalu aku katakan, ‘Ya Rasulullah, dia putri saudara laki-lakiku dan ia seorang gadis.’” Nabi kemudian bersabda:

إِذَا عَرَكَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ يَجُزْ لَهاَ أَنْ تُظْهِرَ إلَّا وَجْهَهَا وَإِلاَّ مَا دُونَ

Jika wanita sudah dewasa, tidak boleh menampakkan kecuali wajahnya dan ini. (Beliau memegang pergelangan tangan dan menampakkan telapak tangan).

Aisyah juga menuturkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah masuk menemui Rasulullah saw. dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasul saw. memalingkan muka dan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا. وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Asma’, sesungguhnya seorang perempuan itu, jika sudah haid, tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangan (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Asma’ adalah saudara kandung Aisyah ra. Dia bukan mahram Nabi saw.  Putri saudara laki-laki Aisyah juga bukan mahram Nabi saw.  Namun, keduanya mengunjungi Aisyah di rumah Aisyah, dan Rasul saw. juga di rumah itu. Beliau bertemu dan berinteraksi dengan keduanya, padahal keduanya sudah balig.  Andai pertemuan dan interaksi Rasul dengan keduanya tidak boleh, niscaya beliau keluar atau menyuruh keduanya keluar. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi sama sekali.  Ini menunjukkan kebolehan laki-laki ber-ikhtilath dengan kerabat istrinya meski mereka bukan mahram laki-laki itu. Ikhtilath dalam konteks silaturahmi seperti itu adalah boleh.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Check Also

hadis yang ditolak

Hadis yang Ditolak

Secara garis besar, hadis ada dua klasifikasi. Pertama: Al-Hadîts al-maqbûl, yakni hadis yang diterima, yang dijadikan dalil …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.