Nama lengkapnya adalah Abu Harits al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman. Ia lahir pada bulan Sya’ban tahun 94 H di kampung Qalqasyandah, sekitar sepuluh kilometer dari Kairo, Mesir. Ia adalah seorang ulama besar, ahli fikih terkemuka dan perawi hadits terpercaya yang hidup pada masa kekuasaan Bani Umayyah.
Sejak kecil Laits bin Saad sudah hafal al-Qur’an serta banyak hadits dan syair-syair Arab. Al-Laits banyak belajar di masjid agung di Kota al-Fusthath (Masjid Amru bin al-Ash). Di masjid itu para pencari ilmu dapat mempelajari berbagai jenis ilmu seperti tafsir al-Qur’an, ilmu hadits, fikih, bahasa Arab, sastra, sejarah, dan lain sebagainya.
Laits bin Saad juga mengadakan rihlah ilmiah ke Irak dan daratan Hijaz. Gurunya dari kalangan Tâbi’in sangat banyak. Al-Mizzi menyebutkan sekitar 80 guru. Muridnya yang terkemuka mencapai lebih 70 orang. Sebagian besar dari muridnya kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad, seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab. Sebagian lagi menjadi guru Imam al-Bukhari, seperti Yahya bin Bukair. Yang lain menjadi guru Imam Muslim, seperti Yahya bin Yahya at-Tamimi.
Imam al-Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadits dari Imam al-Laits. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafii, Sufyan ats-Tsauri, al-Ijli, dan kebanyakan ulama menganggap Imam al-Laits tsiqah. Para ulama telah menetapkan bahwa sanad paling sahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Laits bin Saad, dari Yazid bin Abi Habib.
Imam al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di bidang fikih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang fakih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam al-Laits. “Ilmu para Tâbi’în yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh al-Laits,” kata Ibnu Hajar.
Karena kefakihannya, Imam Malik bahkan sering menanyakan berbagai persoalan kepada Imam Laits bin Saad.
Sekalipun tidak meninggalkan satu karya tulis pun, pemikiran Imam al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Pasalnya, banyak ulama fikih dari generasi sesudahnya yang sering menukil pendapatnya dalam kitab-kitab mereka. Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Imam al-Laits adalah Al-Mughni (kitab fikih mazhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fikih mazhab azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibnu Hazm), dan Bidâyah al-Mujtahid (kitab fikih mazhab Maliki karya Ibnu Rusyd).
Imam al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam ilmu ushul fikih. Tentang ijmak, misalnya, Imam al-Laits berpendapat bahwa ijmak (konsensus) yang bisa dijadikan dalil hanyalah Ijmak Sahabat (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3, Adz-Dzahabi, Tadzkîrât al-Huffâzh, 1/207).
Terkait keilmuan Imam al-Laits, Imam an-Nawawi berkomentar, “Semua orang sepakat akan keagungan Imam Laits; termasuk sifat amanahnya dan ketinggian derajatnya dalam fikih dan hadits.”
Bahkan Ibn Wahab berkata, “Andai tidak ada Imam Malik dan Imam al-Laits, tentu manusia akan tersesat.”
Imam asy-Syafii bahkan menilai Imam al-Laits lebih fakih daripada Imam Malik. Hanya saja, kata Imam asy-Syafii, karena kekurangsigapan murid-muridnya untuk membukukan pemikirannya, mazhab al-Laits bin Saad akhirnya lenyap (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).
Selain seorang ulama besar, Imam al-Laits juga termasuk pengusaha sukses yang amat dermawan. Karena itu, meski menjadi pengusaha sukses, Imam al-Laits tidak pernah menjadi kaya-raya sehingga tidak pernah membayar zakat. Mengapa? Muhammad bin Ramh menceritakan, “Setiap tahun omset bisnis Imam al-Laits lebih dari 80.000 dinar (sekitar Rp 240 miliar/tahun). Namun, beliau tidak pernah membayar zakat. Pasalnya, sebelum mencapai satu tahun (haul), hartanya sudah habis ia infakkan dan sedekahkan. Begitu seterusnya.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).
Qutaibah bin Said menuturkan bahwa Imam al-Laits selalu bersedekah setiap hari untuk 300 fakir miskin.
Imam al-Laits juga gemar bersedekah kepada para ulama, salah satunya Imam Malik. Setiap tahun ia biasa mengirim hadiah sebanyak 100 dinar (sekitar Rp 300 juta) untuk Imam Malik.
Suatu saat, Imam Malik menulis surat kepada Imam Laits bahwa ia memiliki utang yang harus dilunasi. Segera Imam Laits membalas surat Imam Malik sambil memberikan secara cuma-cuma uang sebanyak 500 dinar atau sekitar Rp 1,5 miliar (Al-Jâmi’ fî Rasâ’il ad-Da’wiyyah, 128-129).
Yahya bin Bakr, berkata: Aku pernah mendengar ayahku berkata, “Al-Laits pernah mengutus tiga orang untuk menyedekahkan hartanya sebanyak 3000 dinar (sekitar Rp 9 miliar) kepada tiga orang, masing-masing mendapatkan 1000 dinar (sekitar Rp 3 miliar), yaitu: Ibnu Luhai’ah, Malik bin Anas, dan Qadhi Manshur bin Ammar.”
Suatu ketika ada seorang wanita miskin meminta kepada sang Imam madu alakadarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Saat itu Imam al-Laits malah memberi wanita itu 120 liter madu.
Saat pergi haji, Imam al-Laits singgah di Madinah. Saat itu Imam Malik mengirim beberapa lembar roti basah dari gandum di atas nampan. Setelah menyantap habis hidangan itu, Imam al-Laits lalu mengembalikan nampan tersebut dengan menaruh uang di atasnya sebanyak 1000 dinar (sekitar Rp 3 miliar) sebagai hadiah untuk Imam Malik.
Pada suatu ketika, Khalifah Harun ar-Rasyid memberi Imam Malik uang sebanyak 500 dinar (sekitar Rp 1,5 miliar). Mengetahui itu, Imam Laits tidak mau kalah. Ia kembali memberi hadiah Imam Malik berupa uang dengan jumlah dua kali lipat, yakni 1.000 dinar (sekitar Rp 3 miliar) (Al-Irbili, Wafayât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 4/10).
Ibn Miskin menuturkan bahwa Imam al-Laits sempat dibawa oleh Khalifah al-Ma’mun ke Baghdad dan dipenjarakan di sana. Pasalnya, ia tidak mau memenuhi tuntutan Khalifah al-Ma’mun untuk menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Imam al-Laits tetap dipenjara hingga Ja’far al-Mutawakkil naik takhta. Sejak itulah ia baru dibebaskan (Al-Irbili, Wafiyât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 2/56).
Imam al-Laits wafat sekitar tahun 175 H. Terkait wafatnya Imam al-Laits, Imam Syafii pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud, dan kedermawanan.” (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3; Adz-Dzahabi, Tadzkirât al-Huffâzh, 1/207). Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
Ditulis Oleh : KH. Arief B. Iskandar (Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)