Kata al-lughah secara bahasa berasal dari kata laghâ – yalghû – laghw[an]. Artinya, takallama (berbicara). Dikatakan: Laghâ wa laghiya fî qawlihi. Maknanya: Akhtha‘a al-kalâm (salah bicaranya). Laghâ wa laghiya. Maknanya: Takallama ‘an ghayri tafakkur[in] (Berbicara tanpa dipikirkan; atau berbicara yang bukan-bukan). Al-Laghwu wa al-laghâ bisa bermakna perkataan yang bukan-bukan atau omong-kosong; bisa juga berarti katsratu al-kalâm (banyak cakap). Al-Laghatu artinya suara. Al-Lughah, jamaknya lughan dan lughât, yakni bahasa, istilah (idiom); lughat[un] khushûshiyah, yakni al-lahjah (dialek) atau aksen (Lihat: Kamus al-Munawir pada kata laghâ).
Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-lughah merupakan suara-suara yang digunakan oleh suatu kaum untuk mengungkapkan tujuan/maksud mereka. Dikatakan: laghawtu yakni takallamtu (aku berbicara).
Arti ini dinyatakan di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَا تَسۡمَعُواْ لِهَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ وَٱلۡغَوۡاْ فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَغۡلِبُونَ ٢٦
Orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS Fushshilat [41]: 26).
Makna alghaw fîhi, yakni buatlah hiruk-pikuk dengan banyak bicara terhadapnya.
Bahasa itu merupakan kumpulan lafal (kata) yang disusun. Lafal-lafal itu disusun, yakni dikarang atau dibuat, untuk mengungkapkan makna tertentu yang dimaksudkan oleh si penyusun dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain. Inilah substansi bahasa. Dari situ, al-lughah (bahasa) secara istilah merupakan ungkapan tentang lafal-lafal yang disusun untuk makna-makna tertentu (Lihat: Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz III, bab Abhâts al-Lughah).
Dalam konteks ushul fikih, studi kebahasaan dimaksudkan untuk bisa ber-istidlal dari nas-nas al-Quran dan as-Sunnah. Studi kebahasaan dalam hal ini sangat penting. Sebab istidlal (berargumentasi) dengan al-Quran dan as-Sunnah menuntut penguasaan atas dua aspek penting. Pertama: Terkait dengan klasifikasi al-Quran dan as-Sunnah, seperti al-amru wa an-nahyu, al-‘âm wa al-khâsh, al-mutlaqu wa al-muqayyadu, al-mujmal wa al-mubayyan, an-nâsikkh wa al-mansûkh. Kedua: Penguasaan tentang bahasa al-Quran dan as-Sunnah untuk bisa memahami makna-makna lafal serta konotasi yang ditunjukkan oleh nas-nas al-Quran dan as-Sunnah itu. Bahkan pemahaman tentang perintah dan larangan, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad dsb, juga erat kaitannya dengan penguasaan bahasa. Jadi penguasaan bahasa al-Quran dan as-Sunnah mutlak diperlukan untuk bisa memahami nas dan ber-istidlal dengannya. Penguasaan bahasa itu diperoleh melalui studi kebahasaan, yakni studi kebahasaan (abhâts al-lughah) bahasa Arab, sebab al-Quran dan as-Sunnah berbahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan lafal-lafal Arab yang disusun untuk menunjukkan makna-makna dan konotasi tertentu. Penunjukan lafal terhadap makna diambil dari penetapan pembuat/penyusun lafal itu. Oleh karena itu, masalah al-wadh’u (penyusunan/pembuatan) lafal/bahasa harus diketahui, kemudian diketahui dalâlah lafazh.
Al-Wadh’u atau penyusunan/pembuatan lafal adalah pengkhususan lafal dengan makna tertentu, jika atau ketika orang pertama mengucapkan lafal itu maka orang kedua yang diajak bicara memahaminya. Penyusunan/pembuatan lafal itu terjadi dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memerlukan manusia lainnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan menjalani hidup. Untuk itu harus terjadi pertemuan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Pertemuan itu merupakan perkara yang alami. Pertemuan di antara manusia itu tidak akan terjadi saling membantu di dalamnya dan tidak bisa mencapai tujuan adanya pertemuan itu kecuali jika yang satu memberitahukan kepada yang lain apa yang ada di dalam benaknya. Di sinilah diperlukan wasilah pemberitahuan itu. Lafal (bahasa)-lah yang paling baik sebagai wasilah memberitahukan apa yang ada di dalam benak. Dari situ, maka terjadilah penyusunan atau pembuatan lafal untuk memberitahukan atau mengungkapkan apa yang ada di dalam benak.
Jadi sebab penyusunan atau pembuatan bahasa adalah pengungkapan apa yang ada di dalam benak. Obyeknya adalah lafal yang tersusun dari huruf-huruf. Sesuatu yang diungkapkan dengan lafal yang disusun itu adalah makna-makna yang ada di dalam benak, bukan sesuatu yang ada di luar benak. Lafal disusun/dibuat bukan untuk mengungkapkan hakikat atau substansi sesuatu.
Jadi lafal berbeda dengan ide/pemikiran (al-fikru). Ide/pemikiran merupakan kesimpulan/hukum terhadap suatu fakta. Sebab pemikiran adalah transformasi fakta ke dalam otak melalui indera dan disertai informasi awal, lalu fakta itu ditafsirkan atau disimpulkan. Ini berbeda dengan lafal. Lafal tidak disusun untuk mengungkapkan hakikat fakta dan tidak pula mengungkapkan hukum atas fakta. Lafal itu disusun untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benak baik itu sesuai dengan fakta atau tidak.
Dari situ, penetapan atau penyusunan bahasa (wadh’u al-lughah) itu bersifat isthilâhiyah, yakni bahasa itu merupakan buatan manusia, bukan dari Allah SWT. Manusialah yang mengistilahkan lafal-lafal, yakni mengistilahkan bahasa. Ini berlaku atas semua Bahasa, termasuk bahasa Arab. Bahasa Arab disusun atau diistilahkan oleh orang-orang Arab, bukan bersifat tawqifi berasal dari Allah SWT.
Bahasa Arab bersifat istilahi, yakni merupakan istilah yang diistilahkan oleh orang Arab. Mereka menyusun atau mengarang lafal/bahasa untuk menunjukkan makna tertentu. Karena bahasa Arab itu bersifat istilahi dari orang Arab, maka metode untuk mengetahui bahasa Arab adalah mengambilnya dari orang-orang Arab. Jadi, jika mereka mengatakan bahwa lafal ini disusun/dikarang untuk makna ini atau makna ini ditetapkan untuk lafal ini, maka hal itu diterima sepenuhnya dan tidak perlu diperdebatkan. Dalam hal ini tidak ada ruang untuk mendiskusikannya. Sebab masalahnya adalah masalah penyusunan istilah yang mereka istilahkan. Bukan masalah ‘aqliyyah dan tidak berkaitan dengan pemikiran. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh orang-orang Arab diterima sepenuhnya.
Yang dimaksud dengan orang Arab yang menjadi sumber pengambilan bahasa itu adalah orang-orang Arab yang masih murni (al-‘arab al-aqhâh) bahasanya. Mereka adalah orang-orang Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab sebelum rusaknya lisan Arab. Mereka ada hingga akhir abad kedua Hijrah. Bahkan sebagian dari mereka masih ada sampai abad keempat Hijrah. Mereka tinggal di kampung dan bahasa mereka tidak rusak. Dari merekalah bahasa Arab diambil.
Yang menjadi konsentrasi dalam studi bahasa adalah bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih, al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf (sab’atu ahruf). Banyak pendapat dari para ulama tentang makna tujuh huruf itu. Menurut Ayaikh Atha’ bin Khalil di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, dari pengelaborasian qira’ah mutawatirah al-Quran, bahwa semuanya tidak keluar dari dialek/aksen tujuh kabilah Arab: Quraisy, Tamim, Qays, Asad, Hudzail, sebagian dari Kinanah dan sebagian dari Tha‘iy. Ketujuh kabilah itulah yang menjadi sandaran pengambilan lisan al-‘Arab dan ketentuannya seperti dalam hal al-gharîb (kata-kata asing), i’râb (pengucapan akhir kata berdasarkan posisinya apakah rafa’, nashab, jar atau jazm) dan tashrîf (perubahan bentuk kata). Hal itu tidak diambil dari kabilah lain. Apalagi kabilah yang bercampur dengan non-Arab seperti: Lakham dan Judzam yang bertetangga dengan Mesir dan Qibthi; Bakar bertetangga dengan Persia; Qudha’ah, Ghasan dan Iyad yang bertetangga dengan penduduk Syam; penduduk Yaman yang bertetangga dengan India dan Habsyah; Abdu Qays dan Azad Amman yang tinggal di Bahrain yang bercampur dengan India dan Persia.
Metode mengambil dari ‘Arab al-aqhâh itu adalah melalui metode periwayatan yang shahih. Suatu lafal, agar bisa dianggap sebagai bahasa Arab, harus diriwayatkan dari orang Arab dengan riwayat yang shahih. Jadi metode untuk mengetahui bahasa Arab adalah penukilan mutawatir dan ahad yang shahih. Sebagian besar lafal bahasa Arab dinukilkan secara mutawatir. Sebab sebagian besar lafal itu sudah ma’lum di kalangan orang Arab karena penggunaannya yang luas dan dinukilkan dari generasi ke generasi. Adapun riwayat ahad adalah lafal yang tidak ma’lum. Tidak diketahui secara luas oleh orang Arab umumnya dan tidak mutawatir. Metode untuk mendapatkan zhan (ghalabatu azh-zhann) atasnya tidak lain melalui khabar ahad, yakni penukilan secara ahad, seperti lafal-lafal yang diriwayatkan dari para sastrawan dan ahli bahasa yang menekuni bahasa Arab. Misal: al-Khalil bin Ahmad, al-Asma’iy, al-Azhari, Ibnu Sayidih, Ibnu Duraid, al-Laits bin Sa’ad, dan semisal mereka. Apa yang mereka riwayatkan itu dibukukan dalam berbagai mu’jam bahasa dan menjadi di antara rujukan untuk mengetahui makna lafal Arab.
Selain itu, lisan al-‘Arab (bahasa Arab) dan ketentuannya, juga dinukilkan dari ketujuh kabilah itu dan dituliskan dalam buku utamanya oleh penduduk Bashrah dan Kufah. Akhirnya, hal itu menjadi cabang ilmu tersendiri.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]