Soal:
Assalâmu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda.
Pertanyaan ya Syaikhuna: apakah bisa diistinbath illat hukum dari ayat berikut?
﴿ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Jawab:
Waalaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Sesungguhnya ayat yang mulia itu adalah hikmah dari kewajiban jilbab dan bukan merupakan illat hukum, penjelasannya sebagai berikut:
1- Sebab turun ayat tersebut, maka itu untuk membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. Hamba sahaya tidak diwajibkan jilbab atas mereka. Dahulu sebagian orang munafik mengganggu hamba sahaya dengan ucapan yang tidak baik. Sebagian orang munafik itu memandang bahwa hukuman atas mencumburayu hamba sahaya itu adalah ringan, tidak seperti wanita merdeka. Maka ketika di dengar dari orang munafik hal itu diarahkan kepada wanita merdeka dan diadukan ke peradilan, orang munafik itu mengatakan “saya kira dia hamba sahaya” sehingga hukuman darinya jadi ringan… Lalu diturunkanlah ayat yang mulia tersebut memotong alasan orang munafik itu. Maka diwajibkan terhadap wanita-wanita mukmin merdeka agar membedakan diri dari hamba sahaya dengan mengenakan jilbab dan dia ulurkan ke bawah, ke kedua kaki dan berikutnya mereka (orang-orang munafik) tidak bisa mengatakan “kami kira dia hamba sahaya” sehingga hukuman dari mereka tidak diringankan karena tidak ada lagi alasan bagi mereka… Ibnu Saad mengeluarkan di ath-Thabaqat dari Abu Malik, dia berkata: dahulu isteri-isteri Nabi saw keluar di malam hari untuk hajat mereka, dan orang dari kalangan munafik mengganggu isteri-isteri Nabi. Lalu dikatakan hal itu kepada orang-orang munafik, mereka berkata “tidak lain kami melakukannya dengan hamba sahaya” maka diturunkanlah ayat ini:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً﴾ [الأحزاب: 59]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Atas dasar itu, maka ayat tersebut adalah untuk mengenali wanita merdeka dari hamba sahaya. Penguluran jilbab adalah untuk pengenalan ini.
﴿ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ﴾ [الأحزاب: 59]
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Yakni bukan untuk mengenali bahwa dia si Fulanah. Di dalam Tafsîr al-Qurthubî (XIV/244) dinyatakan: “firman Allah SWT:
﴿ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ﴾ [الأحزاب: 59]
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Yakni wanita-wanita merdeka sehingga tidak dicampurbaurkan dengan hamba sahaya… sehingga terputuslah ketamakan dari mereka. Dan maknanya bukan agar wanita itu dikenali sehingga diketahui siapa dia”.
2- Ada perbedaan antara illat dan hikmah. Ilat adalah sesuatu yang membangkitkan tasyri. Dan itu diambil dari nas —seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya-. Namun, di situ ada nas-nas yang di dalamnya tampak makna illat sesuai alat-alat penetapan illat yang digunakan atau susunan kalimat, namun qarinah-qarinah lainnya, baik di dalam nas tersebut atau di yang lainnya, membatalkan makna penetapan illat tersebut dan memberi faedah makna yang lain, yaitu tujuan asy-Syâri yang dituju dari pensyariatan dan bukan yang mendorong disyariatkannya hukum tersebut. Tujuan atau hasil yang menjelaskan maksud asy-Syâri dari hukum ini diistilahkan dengan sebutan hikmah dan bukan illat sebab itu bukan sesuatu yang membangkitkan pensyariatan hukum.
Illat beredar bersama ma’lul dari sisi ada dan tidaknya dan tidak luput sama sekali. Adapun hikmah maka tidak demikian. Misalnya:
﴿لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ﴾ [الحج: 28]
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (TQS al-Hajj [22]: 28).
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذاريات: 56]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (TQS adz-Dzariyat [51]: 56).
﴿إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ﴾ [العنكبوت: 45]
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (TQS al-Ankabut [29]: 45).
Redaksi nas-nas tersebut disertai qarinah-qarinahnya baik dari nas itu sendiri atau dari nas lainnya menjelaskan tidak adanya penetapan illat dengan makna sesuatu yang membangkitkan pensyariatan (tasyri) sebab seandainya demikian niscaya tidak akan luput. Illat itu hukum tidak pernah luput darinya. Hukum itu beredar bersama illat tersebut dari sisi ada dan tidaknya sebab hukum itu disyariatkan karena illat itu. Melainkan itu merupakan hikmah yang ada kalanya terealisir dalam kondisi-kondisi dan kadang kala tidak terealisir dalam kondisi-kondisi lainnya, artinya kadang-kadang hikmat itu luput:
﴿لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ﴾ [الحج: 28]
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (TQS al-Hajj [22]: 28).
Banyak orang berhaji tetapi mereka tidak menyaksikan manfaat itu.
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذاريات: 56]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (TQS adz-Dzariyat [51]: 56).
Banyak dari makhluk tidak menyembah Allah SWT.
﴿إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ﴾ [العنكبوت: 45]
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (TQS al-Ankabut [29]: 45).
Ada orang yang mengerjakan shalat tetapi dia tidak berhenti (dari kemungkaran).
Oleh karena itu, dikatakan tentang contoh-contoh ini hikmah dan bukan illat sebab hukumnya kadang luput. Begitulah, semua yang benar dikatakan tentangnya sebagai hikmah.
3- Sekarang telaah dan renungkan ayat yang mulia yang menjadi topik pertanyaan:
a- Hukum syara datang dari:
﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾ [الأحزاب: 59]
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab 33: 59).
Inilah yang menjadi dalil.
b- Jelas bahwa :
﴿ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾ [الأحزاب: 59]
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Ini bukanlah sesuatu yang membangkitkan penetapan hukum (tasyri), yakni bukan dalil atas kewajiban jilbab. Dan dengan begitu dia bukanlah illat, tetapi dia adalah hasil yang susunkan terhadap jilbab. Artinya, dia adalah tujuan asy-Syâri yang dituju dalam hukum itu.
c- Hasil ini kadang kala luput. Seorang wanita merdeka mengenakan jilbab dan tidak ad ahamba sahaya perempuan agar mereka bisa dibedakan dari hamba sahaya itu sehingga dia tidak diganggu…
d- Begitulah,
﴿ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ﴾ [الأحزاب: 59]
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (TQS al-Ahzab [33]: 59).
Ini merupakan hikmah dalam istilah ushuli dan bukan illat.
Inilah yang saya pandang dalam masalah ini, wallâh alam wa ahkam.
Saudaramu Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah
7 Jumadil Awwal 1440 H
13 Januari 2019 M
Diposting ulang Visi Muslim Media