«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan keikhlasan semata mengharap ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari)
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Muhammad bin Salam, dari Muhammad bin Fudhayl, dari Yahya bin Said, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Hibban.
Dalam hadis lain Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan kerena keimanan dan keikhlasan mengharap ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Siapa saja yang melakukan qiyâm al-layl (shalat Tarawih) pada malam Lailatul Qadar karena keimanan dan keikhlasan mengharap ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Rasul juga pernah bersabda:
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Siapa saja yang mendirikan (qiyamul lail-shalat Tarawih) pada bulan Ramadhan karena iman dan ikhlas mengharap ridha Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu. (HR Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Abu Dawud dan Ahmad).
Frasa îmân[an] wa ihtisâb[an] dalam hadis-hadis tersebut dapat berposisi sebagai hâl yang menjelaskan subyeknya, dan bisa juga sebagai maf’ûl lahu (maf’ûl min ajlih/li-ajlih) yang menjelaskan alasan dan tujuannya. Maknanya adalah sebagai pembenaran (tashdîq[an]) bahwa puasa adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah dan termasuk rukun Islam serta pembenaran atas yang dijanjikan Allah berupa pahala dan ganjaran. Menurut ath-Thayibi, sebagai maf‘ûl lah, kata îmân[an] maknanya adalah karena keimanan, yaitu pembenaran terhadap apa yang dibawa oleh Nabi saw. dan keyakinan akan wajibnya puasa. Adapun ihtisâban maknanya adalah karena mencari pahala dari Allah Swt. atau karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena manusia.
Sementara itu, sebagai hâl, kata îmân[an] menjelaskan bahwa orang yang berpuasa dan melakukan qiyâm al-layl itu dalam keadaan beriman kepada Allah dan apa saja yang wajib diimani, mengimani kewajiban puasa, meyakini qiyâm al-layl adalah aktivitas taqarrub kepada-Nya, serta meyakini keutamaan Ramadhan dan aktivitas-aktivitasnya. Ia juga dalam keadaan muhtasiban, yaitu ikhlas karena Allah, mencari dan mengharap pahala di sisi-Nya; bukan mengharap pujian orang lain.
Siapa saja yang berpuasa, melaksanakan qiyâm al-layl dan aktivitas Ramadhan lainnya dengan memenuhi deskripsi di atas maka ghufira lahu mâ taqaddama min dzanbihi (diampuni dosa-dosanya yang telah lalu). Kata adz-dzanbu dalam hadis tersebut adalah kata umum, mencakup semua dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Namun, dalam hal ini khusus hanya untuk dosa-dosa kecil (ash-shaghâ’ir) dan tidak untuk dosa besar. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Pengkhususan pengampunan hanya terhadap dosa-dosa kecil itu karena:
Pertama, adanya nash-nash yang memerintahkan tobat. Seandainya puasa dan qiyâm al-layl (dalam nash lain juga termasuk ibadah lannya) bisa menggugurkan dosa besar, tentu tobat tidak perlu diperintahkan. Padahal dosa besar hanya dapat dihapus dengan tobat nashûhâ.
Kedua, Nabi saw pernah bersabda:
«الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ»
Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, dan Ramadhan ke Ramadhan merupakan penghapus dosa-dosa jika ia menjauhi dosa-dosa besar. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Kata ramadhân tanpa diawali syahr (bulan) yang dimaksudkan adalah amal-amal pada bulan Ramadhan; puasa, qiyâm al-layl dan sebagainya.
Ketiga, pengampunan dosa itu lebih terkait dengan hak-hak Allah; tidak langsung menghapus dosa berkaitan dengan hak manusia. Sebab, dosa yang berkaitan dengan hak manusia harus disertai dengan pengembalian hak kepada orang yang diambil haknya dan orang itu memaafkannya.
Karena itu, agar Ramadhan bisa dijadikan wahana untuk mendapat pengampunan dosa-dosa, setidaknya harus:
Pertama, menunaikan yang wajib, memperbanyak amalan sunnah, meninggalkan yang haram, menjauhi yang makruh dan mempersedikit yang mubah untuk mengejar yang wajib dan sunnah; menunaikan amalan-amalan Ramadhan dengan îmânan wa ihtisâban; senantiasa menjaga dan manahan segala hal yang dapat mengurangi pahala puasa seperti berkata bohong, berlaku jahil, ghîbah, berkata-kata kotor atau rafats, dan sebagainya. Abu Said al-Khudzri berkata bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَعَرَفَ حُدُوْدَهُ وَتَحَفَّظَ مِمَّا كَانَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَحَفَّظَ فِيهِ كَفَّرَ مَا كَانَ قَبْلَهُ»
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan, mengetahui ketentuan-ketentuannya, dan menjaga apa saja yang harus ia jaga di dalam Ramadhan, akan dihapuskan dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Ahmad).
Kedua, bertobat kepada Allah dengan tobat nashuha, yakni memohon ampunan kepada Allah, menghentikan dan meninggalkan perbuatan dosa itu, serta menyesalinya dan berazam tidak mengulanginya.
Ketiga, berkaitan dengan dosa terkait hak anak Adam, pada bulan Ramadhan ini sangat baik untuk meminta maaf kepada orang yang diambil haknya sekaligus mengembalikan hak itu kepadanya; meminta maaf kepada orangtua, saudara, kerabat, sahabat, teman, handai taulan dan yang lain. [Yahya Abdurrahman]