“Sesungguhnya akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan mereka di dalam kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya; ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan mereka di dalam kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golonganny; ia akan masuk ke telaga bersamaku” (HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Imam an-Nasa’i menyebutkan hadis ini di dalam bab “Dzikr al-Wa’îd li Man A’âna Amîran ‘alâ azh-Zhulmi” dari jalur Amru bin Ali, dari Yahya, dari Sufyan, dari Abu Hashin, dari asy-Sya’bi, dari ‘Ashim al-‘Adawi, dari Kaab bin Ujrah.
Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ dari jalur Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubaid ash-Shafar, dari Abu Ja’far ad-Daynuri dan al-‘Abbas bin al-Fadhl al-Asfathi; keduanya dari Ahmad bin Yunus, dari Sufyan, dari Abu Hashin dari asy-Sya’bi, dari ‘Ashim al-‘Adawi, dari Kaab bin Ujrah.
Al-Hakim mengeluarkannya dari jalur Abu Muhammad al-Isfirayini, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari Harun bin Ishaq al-Hamdani, dari Muhammad bin Abdul Wahab al-Qanad, dari Sufyan, dari Mis’ar, dari Abu Hashin, dari asy-Sya’bi, dari ‘Ashim al-‘Adawi, dari Kaab bin Ujrah.
Makna Hadis
Hadis ini menyatakan larangan untuk membenarkan kebohongan penguasa dan membantu kezaliman mereka. Larangan tersebut sangat tegas, yakni hukumnya haram. Pelakunya divonis bukan golongan Rasul saw. dan Beliau pun emoh menjadi golongannya. Lebih ditegaskan lagi, orang tersebut tidak masuk surga.
Hadis ini tidak menyatakan karakter penguasa yang dimaksud secara lugas. Namun, dari konteks kalimatnya dapat dipahami karakter penguasa itu, yaitu berbohong dan zalim. As-Sindi di dalam Syarh Sunan an-Nasa’i menjelaskan bahwa kalimat shaddaqahum bikadzibihim berasal dari at-tashdîq (pembenaran). Huruf al-bâ’ dalam bikadzibihim maknanya fî, yaitu bahwa mereka berbohong dalam ucapan. Lalu orang membenarkan perkataan mereka dan berkata kepada mereka, “Anda benar,” untuk mendekatkan diri kepada mereka.
Riwayat-riwayat lain menjelaskan secara gamblang karakter penguasa tersebut. Di antaranya:
- Riwayat Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir dan Hudzaifah: yakdzibûn wa yazhlimûn (berbohong dan zalim).
- Riwayat ath-Thabrani di dalam Mu’jam al-Kabîr dari Abdan bin Ahmad, dari Muhammad bin Yahya al-Qathi’i, dari Muhammad bin Bakar al-Bursani, dari Hisyam bin Hassan, dari al-Hasan dari Kaab bin Ujrah: yu’thûna bi al-hikmah ‘alâ manâbir, fa’idza nazalû ikhtalasat minhum, wa qulûbuhum antanu min al-jîf (mereka menyampaikan hikmah di mimbar-mimbar; jika mereka turun (dari mimbar), hikmah itu terlepas dari mereka, sementara hati mereka lebih busuk dari bangkai).
- Riwayat Ahmad dari Ibn Umar: ya’murûnakum bi mâ lâ yaf’alûn (memerintah kepada kalian apa yang tidak mereka lakukan).
- Riwayat Ahmad, Abdurrazaq, al-Hakim dan al-Baihaqi dari Jabir bin Abdullah: Rasulullah saw. bersabda kepada Kaab bin Ujrah: “Aku memperingatkan kamu dari imârat[u] [a]s-sufahâ’ (kepemimpinan—pemimpin—bodoh); yaitu pemimpin yang “lâ yahdûna (yaqtadhûna) bi hadiyyi wa lâ yastannûna bi sunnati—tidak berpedoman (berpegang) dengan petunjukku dan tidak berjalan sesuai sunnahku.”
Al-Quran menilai siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, yaitu syariah Islam, paling rendah statusnya adalah zalim, lalu fasik dan bahkan bisa kafir (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Karena itu, penguasa atau pemimpin yang tidak memutuskan hukum (berhukum) dengan syariah tidak diragukan lagi adalah zalim. Allah melarang kita cenderung kepada orang-orang yang zalim (QS Hud [11]: 113). Jika cenderung saja dilarang, apalagi lebih dari itu.
Terhadap para penguasa zalim itu, berdasarkan hadis di atas, kita dilarang melakukan dua hal. Pertama, membenarkan kebohongan mereka, yaitu menyatakan ucapan bohong mereka itu sebagai yang benar, tepat, bagus atau ungkapan senada lainnya. Kedua, membantu mereka di dalam kezaliman mereka itu. Bantuan atas kezaliman mereka itu bisa dalam bentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang dengan itu kezaliman mereka—termasuk aktivitas tidak menjalankan syariah—itu semakin kuat, tetap bertahan dan terus terjadi. Bantuan itu bisa dalam bentuk bersekutu, bersama-sama atau bekerjasama dengan mereka dalam menjalankan kezaliman mereka; memperkuat, menjalankan atau memperindah aktivitas kezaliman mereka; menahan diri tidak mau mengungkap kezaliman mereka, kerusakan sistemnya serta aktivitas dan jatidiri mereka; atau memuji-muji, membagus-baguskan kezaliman mereka. Apalagi jika mencarikan legalisasi bagi kezaliman mereka dengan jalan menakwilkan nash. Semua itu bisa dinilai sebagai bantuan kepada para penguasa atas kezaliman mereka. Bahkan mendoakan para penguasa itu agar tetap dalam posisinya dan tetap menjalankan aktivitasnya itu juga bisa dinilai sebagai bagian dari bantuan itu. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]