Al-Majâz secara bahasa merupakan bentuk mashdar mim dari al-jawâz. Hasan bin Muhammad al-‘Athar (w. 1250 H) di dalam Hasyiyah al-‘Athar ‘alâ Syarh al-Jalâl al-Mahalli ‘alâ Jam’u al-Jawâmi’ menyebutkan, al-majâz merupakan mashdar mîmi. Asalnya mujawwaz dengan makna al-jawâz, dialihkan pada kata al-jâ’izah menggantikan posisi aslinya atau yang dilewatkan (al-mujawwaz). Ini menurut yang masyhur.
Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) di dalam Al-Mahshûl menyatakan, al-majâz merupakan bentuk maf’al dari al-jawâz, yaitu melampaui, dalam ucapan mereka: Jaztu mawdhi’a kadzâ (Aku melampui tempat ini). Bisa juga dari al-jawâz yang merupakan pemisah antara wajib dan yang dilarang, yang dalam tahqiq kembali pada yang pertama sebab yang tidak menjadi wajib dan tidak dilarang posisinya antara ada dan tidak; seolah dialihkan dari ada ke tidak ada atau dari tidak ada ke ada. Jadi lafal yang digunakan pada selain posisi aslinya, yang serupa dengan sesuatu yang dialihkan dari posisinya, sudah tentu disebut majâz.
Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan, al-majâz secara bahasa diambil dari al-jawâz, yaitu perpindahan dari satu kondisi ke kondisi lain. Dari situ dikatakan: Jâza fulân[un] min jihhati kadzâ ilâ kadzâ (Fulan berpindah dari sisi ini ke ini).
Adapun secara istilah, Imam Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) di dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh menyatakan, al-majâz adalah kata yang digunakan bukan pada penetapan asalnya dalam istilah percakapan, tetapi di antara keduanya ada keterkaitan.
Imam al-Haramayn Abu al-Ma’ali al-Juwayni (w. 478 H) di dalam At-Talkhîsh fî Ushûl al-Fiqhi menyatakan, al-majâz adalah kata yang digunakan bukan pada pada asal penetapannya secara bahasa. Bentuk ini disebut majâz sebab pemilik bahasa menggunakan kata ini melampaui asal penetapannya sebagai perluasan.
Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Manâzhir mengartikan al-majâz adalah lafal yang digunakan pada selain posisi aslinya menurut cara yang benar.
Jadi al-majâz itu adalah pemaknaan lafal yang berbeda dari makna asalnya. Imam al-Amidi menyebutkan al-majâz, dalam istilah para ulama ushul, adalah berpindahnya (makna) lafal dari makna hakikinya ke makna lainnya.
Perpindahan makna lafal dari makna asli bahasanya itu terjadi karena adanya kerterkaitan atau hubungan di antara makna asli dan makna yang dialihkan itu. Ini yang membedakan dari hakikat ‘urfiyah dan hakikat syar’iyyah sebab keduanya juga dipindahkan dari makna asli penetapannya.
Imam al-Amidi di dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm mengartikan al-majâz sebagai lafal yang disepakati penggunaannya atau lafal yang digunakan pada selain makna yang ditetapkan untuk pertama kalinya dalam istilah percakapan karena adanya keterkaitan di antara keduanya.
Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam al-Mahshûl mengartikan, al-majâz adalah makna yang digunakan pada kata yang berbeda dengan makna asalnya karena adanya hubungan antara makna itu dengan yang awal.
Adapun al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz III mengartikan al-majâz sebagai lafal yang digunakan pada selain makna yang ditetapkan untuk pertama kalinya di dalam bahasa karena ada keterkaitan di antara keduanya.
Jadi perpindahan makna lafal itu dari makna asal bahasanya ke makna lainnya itu haruslah karena adanya hubungan antara makna yang dipindahkan dengan makna asal. Para ulama juga memberikan batasan lain, yaitu bahwa makna baru hasil pemindahan itu tidak menjadi dominan. Artinya, ketika disebutkan lafal itu, tidak langsung terlintas di dalam benak makna baru tersebut. Sebab, jika dominan dan langsung terlintas di dalam benak makna baru itu ketika lafal tersebut disebutkan maka itu merupakan hakikat, bukan majaz. Oleh karena itu dalam majaz, pemindahan ke makna selain makna asal bahasanya itu harus ada qarinah atau indikasi yang menghalangi makna hakikat dan mengalihkannya ke makna secara majaz.
Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Manâzhir menyatakan bahwa majaz itu tidak bisa dipahami kecuali dengan qarinah.
Dalam hal ini, Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani (w. 489 H) di dalam Qawâthi’ al-Adillah fî al-Ushûl menjelaskan bahwa majaz lughawi adalah lafal yang digunakan pada selain yang ditetapkan untuknya dalam istilah percakapan karena adanya hubungan dan qarinah.
Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) di dalam Irsyâd al-Fuhûl menjelaskan bahwa al-majâz adalah lafal yang digunakan pada selain apa yang ditetapkan pada asalnya karena adanya hubungan disertai qarinah. Dikatakan, majaz adalah lafal yang digunakan pada selain apa yang ditetapkan pertama kali dengan cara yang benar.
Pengertian yang lebih menjelaskan disampaikan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl bahwa al-majâz adalah penggunaan kata (lafal) pada selain apa yang ditetapkan pertama kali karena adanya qarinah yang menghalangi penggunaan makna yang telah ditetapkan itu disertai adanya hubungan antara makna (baru) yang digunakan dan makna (asli) yang telah ditetapkan itu.
Dengan demikian, seperti yang dijelaskan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam al-Mahshûl, Imam Ibnu Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannatu al-Manâzhîr dan para ulama ushul lainnya, ketika memahami lafal-lafal nas syariah maka pertama-tama dipahami dengan makna hakikat syar’iyyah, lalu hakikat ‘urfiyah dan hakikat lughawiyah wadh’iyyah. Jika ada qarinah yang menghalangi penggunaan makna hakikat itu, barulah dipahami secara majaz sesuai hubungan yang ada di dalam lafal itu atau dipahami darinya.
Namun demikian, penggunaan majaz ini tidak boleh sembarangan. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz III, bahwa di dalam penggunaan majaz disyaratkan adanya hubungan antara makna hakiki dan makna majazi. Hubungan di antara kedua makna ini harus termasuk jenis hubungan yang digunakan oleh orang Arab sebagai ahlu al-lughah. Namun, tidak disyaratkan pengungkapan (ta’bîr)-nya harus telah digunakan oleh orang Arab. Artinya, tiap orang bisa mengungkapkan kalimat dan lafal yang dia inginkan secara majaz karena adanya hubungan antara makna hakiki yang dia gunakan dan makna majazi yang diambil. Jenis hubungannya adalah hubungan sababiyah, hâliyah atau yang lainnya; harus termasuk hubungan yang digunakan oleh orang Arab. Jadi orang Arab harus menetapkan jenis pembicaraan secara majaz dengan keseluruhan (al-kullu) ke sebagian (al-juz`u) misalnya, dan sebab (as-sabab) ke akibat (al-musabab).
Adapun kalimat dan penggunaannya tidak disyaratkan bahwa orang Arab telah menggunakannya. Setiap orang boleh mengkreasi pengungkapan majaz sesukanya dalam koridor jenis-jenis yang telah digunakan oleh orang Arab.
Terkait dengan pengaruh qarinah atau indikasi terhadap makna hakikat suatu lafal yang dimaknai secara majazi menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ada dua kategori: Pertama, adakalanya qarinah atau indikasi itu menghalangi penggunaan makna hakiki karena adanya hubungan. Berupa majaz mursal jika hubungannya tidak serupa (ghayru musyâbahah). Misalnya:
يَجۡعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم ١٩
Mereka menyumbat telinganya dengan anak jari-jarinya (QS al-Baqarah [2]: 19).
Disebutkan semuanya “al-ashâbi’ yang secara bahasa artinya jari-jari. Padahal yang dimaksudkan adalah ujung jari, artinya sebagiannya. Dengan begitu maka hubungannya adalah al-kulliyah, yakni menyebutkan keseluruhan (al-kullu) tetapi yang dimaksudkan adalah sebagiannya (al-juz`u).
Majaz ‘aqli jika hubungannya adalah penyandaran pada selain hakikat. Misalnya “banâ al-amîru al-madînata”. Jadi kata al-binâ‘u disandarkan pada al-amîr pada waktu orang-orang yang membangun kota adalah bukan amir.
Isti’ârah jika hubungannya adalah al-musyâbahah (keserupaan/persamaan). Misal: Sha’adtu ilâ ra’si al-jabali (Aku naik ke puncak gunung).” Disebutkan ar-ra‘su (yang makna hakikinya adalah kepala) pada puncak gunung menyerupai penyebutan ar-ra‘su (kepala) secara hakiki terhadap bagian paling atas tubuh manusia.
Indikasi dalam semua yang telah disebutkan menghalangi dimaksudkannya makna asli atau makna hakikat. Al-Ashâbi’ secara keseluruhan tidak masuk telinga. Al-Amîr secara hakikat tidak membangun kota. Gunung secara hakikat tidak memiliki kepala.
Kedua, adakalanya qarinah atau indikasi itu tidak menghalangi penggunaan makna yang hakiki: Jenis ini adalah al-kinâyah (kiasan). Misal, na‘ûmu adh-dhuhâ sebagai kiasan dari gadis manja yang dibantu di rumahnya. Di sini indikasi tersebut tidak menghalangi maksud makna hakikinya. Sebab gadis itu bisa saja secara riil tidur sampai waktu dhuha. Contoh lain: lafal lâmastum an-nisâ’ (QS an-Nisa’ [4]: 43; al-Maidah [5]: 6) secara al-kinâyah bermakna jimak. Namun, tidak menghalangi makna hakikinya, yaitu menyentuh. Indikasi tidak menghalangi makna hakiki, tetapi adakalanya menentukan maknanya yang rajah (lebih kuat).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]