مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah. (HR. Muslim) [1]
Sanad Hadis
Sanad hadis adalah rangkaian para perawi, yakni orang-orang yang meriwayatkan hadis, yang dijadikan sandaran oleh orang yang membukukan hadis atau orang yang mengeluarkan hadis (mukharrij).
Hadis ini dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Imam Muslim dari empat sanad yang semuanya berakhir pada Abdullah bin Umar bin al-Khaththab. Masing-masing sanad tersebut adalah:
Sanad pertama: dari Ubaidullah bin Muadz al-‘Anbari, dari Muadz al-‘Anbari, dari ‘Ashim yaitu Ibn Muhamamd bin Zaid, dari Zaid bin Muhammad, dari Nafi’, dari Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab,
Sanad kedua: dari Ibn Numair, dari Yahya bin Abdullah bin Bukair, dari Laits, dari Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari Bukair bin Abdullah bin al-Asyaj, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar.
Hadis dalam makna hadis itu, juga diriwayatkan Imam Muslim melalui dua sanad, yaitu:
Sanad pertama: dari Umar bin Ali, dari Ibn Mahdi, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, dari Aslam, dari Abdullah bin Umar.
Sanad kedua: dari Muhammad bin Umar bin Jabalah, dari Bisyir bin Umar, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, dari Aslam, dari Abdullah bin Umar.
Adapun al-Baihaqi mengeluarkan hadis riwayat Ibn Umar tersebut dengan sanad: dari Syaiban bin Furwakh dari Abu al-Husain bin Bisyran di Baghdad, dari Abu Ja’far Muhammad bin Amru ar-Razaz, dari Isa bin Abdillah ath-Thuyalisi, dari Muhammad bin Sabiq, dari Ashim bin Muhammad bin Zaid, dari Nafi‘ dan dari Salim; keduanya dari Abdullah bin Umar.[2]
Imam ath-Thabrani meriwayatkannya dari Husain bin Ishaq at-Tastari, dari Yahya al-Hamani, dari Abu Bakr bin Iyasy, dari Ashim dari Abi Shalih, dari Muawiyah.[3]
Hadis Muawiyah dengan lafal berbeda namun saling menjelaskan dengan hadis tersebut diriwayatkan ath-Thabrani dari Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami, dari Abbas bin al-Husain al-Qunthuri, dari Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Iyash, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Muawiyah.[4]
Abbas dikenal oleh banyak ulama hadis. Ia seorang yang tsiqah (terpercaya), termasuk salah seorang rawi dalam Shahîh al-Bukhâri.[5]
Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Muawiyah ini dengan sanad: dari Aswad bin Amir, dari Abu Bakar, dari Ashim, dari Abi Shalih, dari Muawiyah.
Faedah
Pertama: berita dalam hadis ini mengandung thalab (tuntutan). Adanya lafal laqiyallâh yawm al-qiyâmah lâ hujjat[an] lahu (dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah) merupakan qarînah (indikasi) yang tegas, yang menunjukkan bahwa melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam/Khalifah merupakan kemaksiatan/keharaman. Kemaksiatan ini terkait jika ada Imam (Khalifah).
Kedua: lafal selanjutnya: man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’ah mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] (siapa saja yang mati, sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya seperti mati jahiliah) berkaitan dengan kondisi tidak ada Imam/Khalifah. Dua riwayat Muawiyah di atas saling menjelaskan. Lafal laysa fî ‘unuqihi bay’ah (tidak ada baiat di pundaknya) bisa diartikan laysa ‘alayhi imâm (tidak ada Imam/Khalifah atasnya).
Ketiga: lafal man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’ah mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] juga bermakna thalab (tuntutan). Lafal mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an] merupakan qarînah (indikasi) yang tegas, yang menyatakan wajibnya ada baiat di pundak setiap Muslim. Baiat sendiri hanya diberikan kepada Khalifah (Imam), tidak kepada yang lain. Jadi, yang diwajibkan adalah adanya baiat kepada Khalifah di pundak setiap Muslim, bukan agar setiap Muslim membaiat Khalifah secara langsung. Dengan kata lain, yang wajib adalah adanya Imam/Khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim. Dengan adanya Khalifah itu akan terealisasi adanya baiat di pundak setiap Muslim.
Dengan demikian, hadis ini merupakan dalil tentang wajibnya kaum Muslim mengangkat Khalifah/Imam, di pundak setiap Muslim. Sebab, yang dicela Rasul saw. adalah kosongnya pundak seorang Muslim dari baiat kepada Imam/Khalifah sampai ia meninggal.[6]
Karena sampai saat ini kewajiban membaiat atau mengangkat Imam/Khalifah ini belum terealisasi, maka kewajiban ini tetap menjadi tanggung jawab setiap individu Muslim sampai Imamah/Khilafah terwujud. Sudahkah kita berupaya melaksanakan kewajiban agung ini? Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
1] Shahîh Muslim, III/1478, hadis no. 1851, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut. Tt.
[2] Al-Baihaqi (384-458 H), Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa bin Bakar, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VIII/156, ed, Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Maktabah Dar al-Baz, Mekah al-Mukarramah. 1414 H / 1994 M.
[3] Ath-Thabrani (260-360 H), Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim, Mu’jâm al-Kabîr, IXX/334, hadis no. 769, ed. Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, Moushul, cet. ii. 1404 H/1983 M.
[4] Ath-Thabrani, Mu’jam al-Awsâth, VI/70, Dar al-Haramain, Kaero. 1415 H.
[5] Beliau adalah Abbas bin al-Husain al-Qunthuri, Abu al-Fadhl al-Baghdadi, dan kadang disebut al-Bashri. Beliau meriwayatkan hadis dari Yahya bin Adam, Mubasyar bin Ismail, Sa’id bin Maslamah al-Umawi, dan Abiy Usamah (Hammad) bin Usamah. Yang meriwayatkan hadis darinya adalah: Al-Bukhari, Hasan bin Ali al-Ma’mari, Muhammad bin Ubaid al-Qunthuri, Abdullah bin Ahmad. Ahmad bin Hanbal berkata: ia tsiqah (terpercaya). Abu Hatim menilainya majhûl. Ibn Hibban dan Ibn Hajar menilainya tsiqah. Menurut Ibn Hibban dan Abu Abdillah bin Mandah, beliau wafat tahun 240 H. (Lihat: Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, V/102, Dar al-Fikr, Beirut, cet I. 1404 H/ 1984 M; Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Taqrîb at-Tahdzîb, I/292, ed. Muhammad ‘Awamah, Dar ar-Rasyid, Suria, cet I. 1406 H/1986 M; Yusuf bin az-Zaki bin Abdurrahman Abu al-Hajaj al-Mazi (654–752), Tahdzîb al-Kamâl, XIV/207, ed. Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. I. 1400 H/1980 M.
[6] Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, diperluas dan dirinci oleh Syaikh Abd al-Qadim Zallum, hlm. 34-35, min mansyurat Hizb at-Tahrir, cet VI (mu’tamadah). 2002.