مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنَ الأرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa saja yang berbuat zalim (dengan menguasai tanpa haq) sejengkal tanah, niscaya ia dibebani tujuh lapis bumi (HR al-Bukhari dan Muslim)
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Salim dari bapaknya ra., bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ أَخَذَ مِنَ الأرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa saja yang mengambil tanah sedikit saja tanpa haknya niscaya ia dibenamkan pada Hari Kiamat ke tujuh lapis bumi (HR a-Bukhari).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari jalur Said bin Zaid, bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ سَرَقَ مِنَ الأرْضِ شِبْرًا طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa yang terbunuh mempertahankan hartanya maka dia syahid dan siapa saja yang mencuri tanah sejengkal maka ia dibebani pada Hari Kiamat berupa tujuh lapis bumi (HR at-Tirmidzi).
Sabda Nabi saw., “man zhalama … min al-ardhi” maknanya “man akhadza min al-ardhi…bighayri haqqihi”. Artinya, siapa saja yang mengambil tanah tanpa haknya, yakni tanpa dibenarkan oleh syariah.
Sabda Nabi saw., “qîda syibrin (sejengkal saja)” maknanya adalah “syay’an (sedikit saja)”, yakni seberapa pun luas tanah yang diambil atau dikuasai tanpa dibenarkan oleh syariah. Dalam hal ini berlaku mafhûm muwâfaqah min bâb al-awla. Jika sejengkal saja demikian, apalagi lebih dari itu.
Hadis ini memberikan beberapa pelajaran dan hukum. Pertama: Haram menguasai tanah milik pihak lain secara zalim, yakni secara tidak dibenarkan oleh syariah, berapapun luasnya. Meski hadis di atas dalam bentuk redaksi berita, karenahu dikaitkan dengan ancaman, maka maknanya adalah larangan. Bahwa pelakunya dibenamkan di tujuh lapis bumi pada Hari Kiamat menjadi qarînah bahwa larangan itu bersifat tegas. Jadi hukum menguasai tanah pihak lain secara ilegal adalah haram.
Kedua: Pelakunya diancam dengan siksaan sangat keras, yaitu dibenamkan atau dibebani dengan tujuh lapis bumi. Karena itu menurut al-Qurthubi, hal itu termasuk dosa besar.
Abu Malik al-As’ari menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
أَعْظَمُ الْغُلُول عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ذِرَاع أَرْض يَسْرِقُهُ رَجُلٌ فَيُطَوَّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Ghulûl yang paling besar di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah sehasta tanah yang dicuri seorang laki-laki lalu ia dibebani dengan tujuh lapis bumi (HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan).
Potret siksaan itu di akhirat, di antaranya dijelaskan di dalam hadis al-Bukhari yang kedua di atas, adalah dengan dibenamkan ke tujuh lapis bumi. Adapun dalam riwayat Ya’la bin Murrah, Rasul saw. bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ ظَلَمَ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ كَلَّفَهُ اللَّهُ أَنْ يَحْفِرَهُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِر سَبْع أَرَضِينَ، ثُمَّ يُطَوَّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
Laki-laki siapa saja yang berbuat zalim atas sejengkal tanah, Allah bakal membebani dia agar tanah itu dia gali hingga mencapai akhir tujuh lapis bumi, kemudian dibebankan kepada dirinya pada Hari Kiamat hingga diputuskan di antara manusia (HR ath-Thabarani dan Ibn Hibban).
Al-Hakam bin al-Harits as-Sulami menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda:
مَنْ أَخَذَ مِنْ طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ شِبْرًا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa saja yang mengambil dari jalan kaum Muslim sejengkal saja, dia akan datang pada Hari Kiamat dengan memanggul tanah tujuh lapis bumi (HR Abu Ya’la, Ibn Hajar al-‘Ashqalani berkata: sanad-nya hasan)
Ketiga: Pihak lain itu bukan hanya person atau individu, tetapi mencakup semua pihak yang kepada dia dinisbatkan kepemilikan tanah; artinya bisa mencakup tanah milik person atau individu lain, tanah yang termasuk milik umum dan tanah milik negara. Untuk tanah milik umum, ketentuan hukum syariah jelas, yakni sama sekali tidak boleh dikuasai, dikuasakan atau diberikan kepada individu atau sejumlah individu. Karena itu siapa saja yang menguasai hutan, pantai, lapangan umum, jalan, taman publik, tambang yang depositnya besar, dan sebagainya, adalah termasuk yang diancam hadis ini. Pasalnya, itu termasuk menguasai tanah secara tidak dibenarkan oleh syariah.
Keempat: Menurut para ulama, hadis ini juga mengisyaratkan bahwa siapa saja yang memiliki tanah, itu mencakup permukaan dan ke bawahnya. Ia berhak melarang siapapun menggali di bawah permukaan tanahnya itu tanpa kerelaannya. Siapa saja yang memiliki permukaan tanah, ia pun memiliki bagian dalamnya termasuk kandunganya baik berupa batu, pasir, batu mulia, mineral, rikâz dan sebagainya; kecuali mineral tambang atau migas yang depositnya besar karena telah ditetapkan oleh syariah sebagai milik umum. Orang yang memiliki tanah, ia berhak menggali tanahnya, membangun bangunan bawah tanah, dan membangun bangunan di permukaan tanah itu sesuka dia selama tidak membahayakan tetangganya.
Jadi siapa yang memiliki tanah, ia berhak atas tanah itu baik yang di permukaannya maupun yang terkandung di bawah tanahnya. Ia juga punya wewenang penuh atas tanah itu, permukaannya, bagian bawah permukaannya terus ke bawah, dan ruang di atasnya. Ia berhak menghalangi pihak lain menguasai tanahnya itu. Bahkan jika dalam upaya mempertahankan tanahnya itu ia terbunuh, maka ia dihukumi syahid akhirat.
Penguasaan tanah milik individu lain secara tidak dibenarkan oleh syariah itu jelas merupakan kriminal. Itu merupakan kezaliman dan termasuk dosa besar. Jika tanah itu milik banyak orang, tentu lebih berat lagi di sisi Allah, sebab orang yang dizalimi lebih banyak lagi. Tindakan memfasilitasi penguasaan tanah secara tidak dibenarkan oleh syariah terhadap milik individu berarti memfasilitasi tindakan kriminal dan dosa besar. Lebih berat lagi di sisi Allah SWT memfasilitasi penguasaan tanah secara tidak dibenarkan oleh syariah terhadap tanah milik umum, milik seluruh rakyat, sebab yang dizalimi adalah seluruh rakyat. Di sinilah bisa dibayangkan betapa berat pertanggung-jawaban atas penyerahan tambang, hutan, dan tanah-tanah milik umum lainnya kepada swasta individu atau korporat, apalagi asing. Dalam konteks ini pula, kaum Muslim tidak boleh membiarkan penguasaan tanah milik kaum Muslim oleh Yahudi agresor dan agresor lainnya. []
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]