Al-Asrâ dan al-usârâ adalah bentuk jamak dari al-asîr. Al-asîr secara bahasa diambil dari al-isâr yaitu al-qayyadu (ikatan atau belenggu) sebab mereka dibelenggu dengan ikatan (diikat). Akhirnya, setiap orang yang ditawan atau ditahan disebut asîr meski tidak diikat. Mujahid ketika menafsirkan QS al-Insan [76]: 8, ia berkata, “Asîran adalah al-masjûn (orang yang dipenjara atau ditahan).”
Di dalam al-Quran kata al-asrâ disebutkan sekali (QS al-Anfal [7]: 70); kata asrâ disebutkan sekali (QS al-Anfal [7]: 67) dan kata asîran disebutkan sekali (QS al-Insan []: 8). Adapun hukum tentang al-asrâ dinyatakan dalam QS Muhammad () ayat 4.
Firman Allah SWT dalam surat al-Anfal ayat 67 dan 70 serta surat Muhammad ayat 4 tersebut memberikan deskripsi yang jelas siapa al-asrâ itu. Ayat tersebut menunjuk pada orang kafir yang berperang melawan kaum Muslim lalu mereka ditawan oleh kaum Muslim. Karena itu, al-asrâ itu—seperti yang disebutkan oleh Imam al-Mawardi di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah—adalah orang yang berperang atau kombatan (al-muqâtilun) dari orang kafir jika kaum Muslim berhasil mengalahkan mereka dalam keadaan mereka masih hidup. Jadi sederhananya al-asrâ adalah tawanan perang.
Jika kaum Muslim menawan orang kafir yang berperang dengan kaum Muslim, maka perkara tawanan perang itu diserahkan kepada Khalifah secara langsung. Panglima perang, komandan pertempuran atau orang yang menawan tidak punya hak atas perkara tawanan perang itu. Keputusan atas tawanan itu diserahkan kepada pendapat Khalifah. Khalifah tentu harus mengikuti hukum syariah tentang tawanan perang. Hukum atas tawanan perang sudah ditentukan di dalam nash al-Quran yang qath’i, yaitu bahwa Khalifah diberi hak memilih apakah membebaskan mereka atau meminta tebusan atas mereka (Lihat: QS Muhammad [47]: 4).
Hukum atas tawanan perang ini, yakni dibebaskan murni atau dengan tebusan, merupakan hukum yang sudah ditentukan dan dibatasi oleh al-Quran dengan sejumlah alasan. Pertama: Ayat tersebut dicantumkan dalam surat Muhammad, surat pertama yang diturunkan mengenai masalah perang. Karena itu surat ini (ayat ini) dinamakan sebagai Sûrah al-Qitâl (surat perang). Surat ini diturunkan setelah Rasul saw. tiba di Madinah. Surat ini diturunkan setelah surat al-Hadid dan sebelum terjadi Perang Badar al-Kubra. Ayat ini menjelaskan hukum tawanan perang sebelum terjadi satu pun perang dan belum ada tawanan perang.
Kedua: Ayat ini adalah satu-satunya ayat yang menjelaskan secara gamblang apa yang harus dilakukan tentang tawanan perang. Jadi jelas bahwa ayat ini adalah nas yang menyatakan hukum tawanan perang. Inilah hukum asal dalam masalah tawanan perang. Seluruh ayat lain tentang dengan tawanan perang merujuk pada ayat ini.
Ketiga: Hukum tawanan perang dalam ayat ini dinyatakan dengan sighât (redaksi) yang menunjukkan pilihan antara dua hal, tidak ada pilihan yang ketiga: boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan (Lihat: TQS Muhammad [47]: 4).
Ayat ini jelas menyatakan, setelah ada tawanan perang maka pilihannya adalah satu dari dua opsi itu. Jadi ayat ini dengan jelas membatasi pilihan pada dua opsi itu, tanpa ada pilihan selainnya. Ayat ini juga tidak menentukan pada salah satunya saja, melainkan memberi pilihan dua opsi itu. Dengan adanya pembatasan pilihan hanya di antara dua opsi itu, maka ayat ini telah menetapkan bahwa selain hukum yang dipilih oleh al-Qur’an ini, tidak bisa dijadikan sebagai hukum tawanan perang.
Keempat: Dalam praktik yang dilakukan oleh Rasul, dua opsi itulah yang selalu beliau lakukan. Hal itu makin menegaskan bahwa hukum tentang tawanan perang memang terbatas pada dua opsi itu, tidak ada opsi lain.
Tentang pembebasan tawanan perang oleh Rasul saw. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa delapan puluh laki-laki dari penduduk Makkah pernah berada di gunung at-Tan’im pada waktu shalat fajar. Mereka ingin membunuh Nabi saw. dan kaum Muslim. Namun kemudian, Rasul saw. berhasil menawan mereka. Beliau lalu membebaskan mereka semua. Kemudian turunkanlah firman Allah SWT QS al-Fath ayat 24.
Pada Perang Badar, Rasul saw. membebaskan Abu ‘Azzah asy-Sya’ir dan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Imam al-Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa beliau bersabda usai Perang Badar, “Andai saja Muth’im bin Adi masih hidup, lalu dia berbicara kepadaku tentang para tawanan itu, niscaya aku serahkan mereka kepada dia.”
Maksudnya, andai saja Muth’im bin ‘Adi masih hidup, para tawanan perang itu akan beliau bebaskan atas permintaan al-Muth’im itu.
Imam al-Bukhari, Muslim dan Ahmad juga meriwayatkan bahwa Rasul saw. pernah membebaskan Tsumamah bin Utsal al-Yamamah. Dia adalah pemimpin Bani Hanafi di Yamamah. Setelah dibebaskan, ia pun masuk Islam.
Adapun tentang tebusan maka itu bisa dalam tiga bentuk. Pertama: Tebusan berupa harta. Ibn Abbas ra. menuturkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ فِدَاءَ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَ بَدْرٍ أَرْبَعَمِائَةٍ
Sesungguhnya Rasulullah saw. menjadikan tebusan orang Jahiliah (Quraisy) pada Perang Badar sebesar 400 (maksudnya 400 dirham) (HR Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Kedua: Tebusan berupa jasa yang harus mereka berikan. Jasa itu pada dasarnya bernilai harta karena bisa dipertukarkan dengan harta dalam akad ijarah. Rasul saw. pernah mencontohkan hal itu. Ibn Abbas menuturkan:
كَانَ نَاسٌ مِنْ الْأَسْرَى يَوْمَ بَدْرٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِدَاءٌ، فَجَعَلَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِدَاءَهُمْ أَنْ يُعَلِّمُوا أَوْلَادَ الْأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ
Ada orang yang termasuk tawanan Perang Badar tidak punya harta tebusan. Rasulullah saw, lalu menjadikan tebusan mereka adalah dengan mereka mengajari anak-anak Anshar baca tulis (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Ketiga: Pertukaran tawanan. Orang kafir yang jadi tawanan perang dibebaskan dengan kompensasi pembebasan kaum Muslim yang menjadi tawanan pada kaum kafir. ‘Imran bin Hushain menuturkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَى رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَبِرَجُلٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ
Sesugguhnya Rasulullah saw. pernah menebus dua orang dari kaum Muslim dengan seorang dari kaum musyrik (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam riwayat Ahmad disebutkan kaum musyrik itu berasal dari Bani ‘Uqail, salah satu marga Quraisy. Praktik ini sekarang disebut pertukaran tawanan perang.
Jadi jelas bahwa hukum tawanan perang sudah ditentukan dan dibatasi oleh syariah, yaitu dibebaskan atau dibebaskan dengan tebusan. Tebusan itu bisa salah satu dari tiga bentuk diatas. Karena itu tawanan perang tidak boleh dibunuh.
Adapun yang diriwayatkan bahwa Rasul saw. memerintahkan untuk membunuh Nadhar bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Mu’ith pada Perang Badar, Abu ‘Azzah al-Jumahiy pada Perang Uhud serta beberapa orang pada Fathu Makkah, maka hal itu tidak menunjukkan hukum atas tawanan perang. Pasalnya, beliau tidak melakukan demikian pada seluruh tawan perang. Beliau pun tidak melakukan demikian pada seluruh perang. Beliau hanya melakukan demikian pada beberapa perang dan terhadap beberapa individu tertentu. Hal itu berbeda dengan pembebasan atau tebusan. Beliau melakukan itu pada seluruh tawanan perang dan pada semua perang. Sebab, Nabi saw. memutuskan untuk membunuh individu-individu tertentu itu adalah karena beliau melihat pada diri mereka itu terdapat bahaya yang bisa membahayakan kaum Muslim.
Tawanan perang dalam ketentuan syariah tidak boleh diperlakukan semena-mena, disiksa, disuruh kerja paksa, dan sebagainya. Yang demikian itu berarti memperlakukan tawanan di luar ketentuan hukum yang telah ditentukan dan dibatasi oleh al-Quran. Tawanan itu harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati kemanusiaannya. Islam memuji orang yang berbuat baik kepada tawanan (Lihat: QS al-Insan [76]: 8).
Rasul saw. pun bersabda tentang perlakuan terhadap tawanan, “Ahsinû isârahu (Perbaikilah belenggu (tahanan)-nya [maksudnya supaya tidak menyakiti]).”
Rasul juga bersabda, “Kumpulkanlah makanan milik kalian dan kirimkanlah kepada dia.”
Dengan perlakuan yang baik dan manusiawi itu maka tak heran jika banyak dari tawanan perang dari orang kafir itu yang setelah dilepaskan lantas masuk Islam. Perlakuan baik terhadap tawanan itu telah lebih dulu disyariatkan oleh Islam lebih sepuluh abad mendahului Konvensi Jenewa di era sekarang ini. Inilah salah satu bukti keagungan Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
One comment
Pingback: Tips dan Trik Leadership ala Sunnah Nabawiyah [2] - Visi Muslim Media