مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
Siapa saja yang membunuh mu’ahad tidak akan mencium aroma surga. Sesungguhnya aroma surga itu bisa dicium dari perjalanan empat puluh tahun (HR al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash).
Hadis serupa juga diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra. Rasul saw. bersabda:
أَلا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللَّهِ فَلا يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
Ingatlah, siapa saja yang membunuh jiwa seorang mu’ahad yang memiliki dzimmah Allah dan dzimmah Rasul-Nya, sungguh dia telah membatalkan dzimmah Allah sehingga dia tidak mencium aroma surga. Sesungguhnya aroma surga bisa dicium dari perjalanan 70 tahun (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim).
At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shahih. Hadis serupa juga diriwayatkan dari jalur Abu Bakrah, yang menyebutkan bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدَة بِغَيْرِ حِلِّهَا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ أَنْ يَشُمَّ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ مِائَةِ عَامٍ
Siapa saja yang membunuh jiwa seorang mu’ahad tanpa alasan yang halal, Allah mengharamkan bagi dia surga untuk dia cium aromanya. Sungguh aroma surga bisa dicium dari perjalanan 100 tahun (HR Ahmad, an-Nasai, al-Hakim dan Abdur Razaq).
Ungkapan lainnya berbunyi:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدَةً بِغَيْرِ حَقِّهَا، لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِئَةِ عَامٍ
Siapa saja yang membunuh jiwa mu’ahad tanpa hak tidak mencium aroma surga. Sungguh aroma surga bisa dicium dari perjalanan 500 tahun (HR Ahmad, an-Nasa’i, al-Hakim dan ath-Thabarani).
Hadis ini menjelaskan keharamam membunuh non-Muslim yang ada di bawah kekuasaan Daulah Islam tanpa dibenarkan oleh syariah. Sekalipun dalam riwayat Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru diungkapkan secara mutlak, pembunuhan seorang mu’ahad yang haram itu hanya dibatasi pada yang tidak dibenarkan oleh syariah. Pembatasan itu berdasarkan kaidah-kaidah syariah dan secara jelas dinyatakan dalam riwayat Abu Bakrah, yaitu dengan ungkapan “bi ghayri hillihâ (tanpa alasan yang halal) atau “bi ghayri haqqihâ (tanpa alasan yang benar). Itu artinya, jika pembunuhan itu dibenarkan oleh syariah, yaitu sebagai sanksi atas suatu kejahatan sesuai ketentuan syariah, maka pembunuhan itu dibolehkan.
Meski hadis di atas dalam bentuk redaksi berita, maknanya adalah larangan. Frasa “tidak mencium aroma surga” merupakan qarinah jazim yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas. Karena itu membunuh mu’ahad tanpa dibenarkan secara syar’i hukumnya haram.
Kata mu’ahad dalam hadis-hadis di atas maknanya adalah orang yang memiliki ikatan perjanjian (‘ahdu) dengan kaum Muslim baik dalam bentuk ‘ahdu dzimmah, perjanjian tertentu dari negara, atau ‘ahdu amân baik dari negara atau dari seorang Muslim. Itu artinya, kata mu’ahad mencakup ahlu adz-dzimmah (ini dinyatakan jelas di dalam hadis “lahu dzimmah Allah wa dzimmah Rasûlihi”), mu’ahad dan musta’min.
Dengan demikian, hadis di atas menyatakan keharaman membunuh ahlu adz-dzimmah, mu’ahad dan musta’min tanpa dibenarkan oleh syariah. Itu artinya, jika ada alasan yang dibenarkan oleh syariah, yakni karena mereka melakukan kejahatan tertentu, maka membunuh mereka dibolehkan.
Ini merupakan ketentuan hukum yang bukan hanya berlaku bagi mu’ahad atau ahlu adz-dzimmah, tetapi berlaku untuk semua rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Itulah perlakuan yang adil bagi setiap orang yang menjadi rakyat Daulah Islam. Ketentuan hukum itulah yang disyariatkan oleh Allah di dalam al-Quran (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 58).
Perlakuan yang adil terhadap non-Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Daulah Islam itu sudah dikenal dan demikian melekat dalam kehidupan kaum Muslim sejak jaman Nabi saw. Perlakuan yang adil itu dirumuskan dalam bentuk kaidah syariah:
لَهُمْ مَا لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنَ اْلإنْصَافِ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ مِنَ الْإِنْتِصَافِ
Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara adil.
Mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang dan papan) serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara gratis (pendidikan, kesehatan, keamanan). Mereka juga berhak atas semua pelayanan dan fasilitas yang disediakan oleh negara untuk rakyat. Jadi intinya, mereka memiliki hak yang sama dengan kaum Muslim.
Mereka juga mendapat perlakuan dan memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Terhadap non-Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Daulah Islam diberlakukan semua hukum syariah, sama seperti diberlakukan terhadap kaum Muslim; kecuali dalam hal yang Islam menjadi syarat pelaksanaannya seperti zakat, shalat, puasa, haji dan sebagainya dan beberapa hukum tertentu yang dikecualikan oleh syariah dalam hal makanan, minuman, pakaian keagamaan, ibadah, talak, rujuk dan pewarisan serta hukum lainnya. Dalam hal-hal yang dikecualikan itu tidak diberlakukan terhadap mereka hukum-hukum Islam, melainkan mereka dibiarkan menjalankannya sesuai ketentuan agama mereka. Semua hukum-hukum Islam selain yang dikecualikan itu diberlakukan terhadap mereka, sama seperti diberlakukan terhadap kaum Muslim. Ini juga ditegaskan dalam sunnah Nabi saw. saat beliau pernah menjatuhkan sanksi qishash dan potong tangan atas orang Yahudi.
Walâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
One comment
Pingback: Tips dan Trik Leadership ala Sunnah Nabawiyah [1] - Visi Muslim Media