simbol dalam islam

Simbol, Bendera dan Istilah Perspektif Islam

Memahami realitas objek yang dihukumi termasuk bagian dari memahami hukum itu sendiri, artinya memahami realitas sebuah benda, perbuatan atau pemikiran adalah bagian dari proses memahami hukum terhadap semuanya itu. Maka sebelum menghukumi beragam bendera dan panji kebangsaan yang ada, tentu sangat perlu ditelusuri asal-usul, perkembangan dan sejarahnya terlebih dahulu.

Dengan mendalami topik, ternyata sudah menjadi kebiasaan semenjak ratusan tahun lalu, banyak kelompok, suku atau negara menggunakan bendera yang melambangkan identitas, misi, pemikiran, keyakinan atau kepemimpinannya. Sebab itu, persoalan panji atau bendera pun otomatis ikut terangkat. Sehingga bendera negara khilafah, baik itu al-liwâ’ maupun ar-râyah, mengandung akidah, ajaran, dan identitas umat Islam yang berbeda dengan yang lain. Begitu pula bendera Amerika Serikat melambangkan negara Kapitalisme Amerika dan bangsa Amerika. Demikian juga bendera Inggris, Perancis, Rusia dan lain sebagainya.

Jadi setiap bendera dan panji, muncul dari ideologi dan metode kehidupan tertentu, yang menggambarkan orientasi umum sebuah negara dan masyarakat, serta menunjukkan identitas dan misi tertentu. Sebanding dengan itu, akan didapati pula beragam partai, organisasi dan lembaga mengadopsi bendera yang melambangkan bentuk dan mengandung sesuatu yang menggambarkan identitas, afiliasi dan gagasannya.

Setiap simbol memiliki makna, sebagaimana kata memiliki arti, dan setiap bentuk memiliki maksud. Simbol melambangkan sesuatu, sedang bahasa dan tulisan merupakan gambaran simbol tersebut. Huruf sendiri terbentuk dari tekanan suara, yang diucapkan melalui lidah dan rongga mulut. Sekumpulan huruf membentuk kata, sejumlah kata membentuk kalimat, lalu barisan kalimat membentuk alinea, akhirnya rangkaian alinea membentuk topik, dan sekumpulan topik menjadi sebuah buku. Jadi tulisan dan buku merupakan simbol, dalam Islam simbol substansinya mubah, demikian juga bendera dan panji hukumnya mubah, kecuali yang melambangkan kekufuran, kemaksiatan, kefasikan, fanatisme golongan atau separatisme. Kaidah syariah menyebutkan:

الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم، والأصل في الأفعال التقيد بالحكم الشرعي

Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Dan hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara.

Akan tetapi kemubahan tadi akan berpindah menjadi haram, ketika suatu simbol atau bendera mengarah kepada perkara yang haram. Sehingga berbagai bendera dan simbol masuk kategori benda, artinya secara umum tercakup hukum mubah, dan hukum suatu simbol bergantung pada sesuatu yang dilambangkan simbol tersebut, hal ini berlaku pula untuk bendera dan panji.

Jadi ketika simbol atau bendera melambangkan syariat Islam, atau melambangkan persatuan umat Islam, atau melambangkan kebaikan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan teraniaya di bumi, maka boleh hukumnya mengadopsi, mengemban dan berjuang dibawah panji tersebut. Adapun bila simbol atau bendera tersebut menyelisihi akidah Islam, atau menjerumuskan kepada keharaman, separatisme, konflik diantara umat Islam, atau dibangun berdasarkan prinsip rancangan musuh-musuh Allah demi kesesatan, kekufuran atau menentang hukum syara yang lurus, atau melambangkan keidentikan dengan kaum kafir dan pendukungnya, serta mempromosikan ideologi, keyakinan dan jalan kehidupan mereka. Maka simbol dan bendera yang demikian secara pasti diharamkan.

Contoh kasus, desain berbentuk silang yang dirancang seorang arsitek, namun melambangkan keyakinan trinitas (dengan menyebut anak, bapak dan roh kudus sebagai satu tuhan), maka tidak boleh desain tersebut diletakkan di rumah, pakaian, tempat atau bendera, karena melambangkan keyakinan musyrik dan kufur. Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 72).

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 73).

Mereka dilarang mengenai hal itu, Allah berfirman:

  وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا

“Janganlah kalian mengatakan: “Tuhan itu tiga”, berhentilah dari ucapan demikian. Itu lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 171).

Sebagai contoh, palu dan arit yang melambangkan kaum buruh dan petani, pasca digunakan sebagai lambang sosialisme yang bertentangan dengan akidah, hukum dan parameter Islam, maka tidak boleh digunakan sebagai simbol atau membentuknya sebagai logo. Begitu pula semboyan, simbol dan panji yang mendorong separatisme di antara kaum muslimin, seperti panji-panji kebangsaan, kesukuan, kelompok atau partai yang dibangun sesuai prinsip perjanjian Sykes-Picot, atau prinsip demokrasi, yang membuat umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terpecah-belah. Maka semboyan, simbol dan panji tersebut tidak boleh digunakan dan diserukan. Termasuk juga, simbol-simbol freemasonry dan zionisme, tidak boleh digunakan.

Kita pun melihat diantara penguasa diktator, agen dan pengkhianat yang berkuasa atas restu penjajah di negeri muslim, ada yang mengenakan salib dan tutup kepala yahudi; ada yang mempopulerkan simbol hindu dan budha serta membangunkan bagi pemeluknya patung dan berhala di negeri muslim laksana hubal, latta dan ‘uzza era jahiliah; dan ada yang mensakralkan simbol dan lambang freemasonry karena takut kehilangan kursi kekuasaan dan mencari kekuataan selain Allah, takut mendapatkan bencana, atau khawatir terhadap kemiskinan dan kemelaratan. Padahal Allah ta’ala berfirman:

 بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan pedih, yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 138-139).

 فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada Rasul-Nya, atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 52).

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 28).

Begitu juga simbol dan panji yang melambangkan kefasikan, seperti simbol jaringan prostitusi atau miras, seperti umbul-umbul merah khusus yang menunjukkan lokasi remang-remang dan mesum, sinyal-lampu visual yang melambangkan penistaan atau kefasikan, atau simbol sensualitas atau tubuh wanita sebagai iklan produk. Jelas semua itu diharamkan. Kaum muslim dilarang mengadopsi atau menggunakan hal tersebut sebagai simbol, logo, tanda atau bendera. Termasuk terlarang juga adalah patung, berhala dan kuil yang dibuat sebagai simbol untuk tokoh besar, pemimpin dan selainnya. Semua ini termasuk kategori al-anshâb (berkorban untuk berhala) yang diharamkan Allah melalui firmannya:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 90).

Jika hal itu dikaitkan dengan bentuk yang bernyawa, maka jelas diharamkan Islam secara pasti. Patung adalah bentuk bertubuh menyerupai manusia, hewan atau semisalnya yang bernyawa. Berhala asalnya adalah bendera atau bebatuan yang orang musyrik menyembelih didekatnya dan berkorban untuknya. Monumen berhala artinya patung-patung yang didirikan di lapangan atau yang semisalnya, untuk mengenang seorang pemimpin, pembesar yang dimuliakan, atau sosok tak dikenal semisal patung prajurit tanpa nama.

Hal tersebut dijelaskan dalam sejarah, sebagaimana disampaikan al-Qur’an yang mulia kepada kita melalui firman-Nya ta’ala:

 وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا، وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا

“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.’ Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (QS. Nûh [71]: 23-24).

Ayat ini menerangkan, awal mula terjadinya kemusyrikan di bumi yang disebabkan berhala. Imam al-Bukhari (4920) menyebutkan lima orang tersebut: wadd, suwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr, dulunya adalah orang-orang shalih, ketika semuanya wafat masyarakatnya bersedih, lalu muncullah bisikan syaitan supaya membangun berhala di tempat yang dulunya digunakan majelis mereka, masing-masing berhala dinamai dengan nama-nama tadi. Bisikan ini dijalankan, namun awalnya tanpa ada penyembahan. Barulah saat generasi pembuat berhala tiada dan ilmu mulai dilupakan, akhirnya berhala tadi disembah generasi selanjutnya. Maka ketika Allah mengutus nabi-Nya, yaitu Nuh ‘alaihis salam, kemusyrikan yang disebabkan bentuk-bentuk yang dibuat tadi mulai dilarang, namun seruan ini malah ditolak kaumnya, mereka keras kepala tetap menyembah patung-patung yang berubah jadi berhala dan tuhan tersebut. Sehingga Allah mengingatkan dengan ayat sebelumnya, memperingati dan memerintahkan mereka menghentikan penyembahan lima patung berhala ini.

Kemusyrikan kaum Nabi Ibrahim ‘alaihis salam disebabkan penyembahan dan ketekunan ibadah pada berhala, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Âzar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Anâm [6]: 74).

Kemusyrikan kaum Bani Israil yang disebabkan menyembah patung anak sapi yang dibuat as-Sâmiri, Allah berfirman:

 وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kalian menganiaya diri sendiri karena telah menjadikan anak lembu sembahan, maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kalian dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Rabb yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 54).

 وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat bukit (Thursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kalian beriman (kepada Taurat).” (QS. al-Baqarah [2]: 93).

 وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيهِمْ سَبِيلًا اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ، وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: “Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’râf [7]: 148-149).

Dan kemusyrikan kaum Nashrani yang disebabkan ibadah kepada salib, yang dianggap mereka sebagai gambaran al-Masih ‘alaihis salam ketika disalib, padahal beliau tidak disalib, tapi person yang diserupakan bagi mereka. Allah berfirman:

 وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا، بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisâ [4]: 157-158).

Islam memperingatkan berbagai perbuatan tersebut, yakni monumen berhala, karena bertentangan dengan akidah Islam, menyerupai kafir, mengagungkan makhluk, mengubah ciptaan Allah, sarana kemusyrikan dan menghantarkan kepada keharaman yang jelas diharamkan. Segala penyimpangan ini mengundang kebinasaan, kemusnahan dan turunnya azab, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nuh yang dimusnahkan dengan banjir dahsyat. Statusnya sama saja, baik berbagai berhala tersebut dibuat dengan dipahat, dilukis atau beragam patung monumen diletakkan di tempat sakral, lapangan terbuka atau taman, sehingga menjadi wasilah penggagungan, penyimpangan akidah penyembahan berhala dan menyerupai orang kafir. Meskipun orang kafirnya tidak mempunyai keyakinan yang mereka jaga, tetap saja kaum muslim dilarang menyerupai dan ikut serta bersama mereka dalam perbuatan tersebut. Kita pun mesti berdoa dengan doanya Ibrahim ‘alaihis salam, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrâhîm [14]: 35).

Beliau mengkhawatirkan ujian ini terhadap diri dan umat sepeninggalnya, jadi berdoalah dengan doa diatas. Sikap kita hari ini terhadap berbagai bendera yang mengandung perkara tadi, sebagaimana sikap Ibrahim ‘alaihis salam terhadap berbagai patung berhala. Allah berfirman:

 إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ، قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ، قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ، قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ، قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ، وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ، فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ

Ingatlah, ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata”. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” Ibrahim berkata: “Sebenarnya Rabb kalian ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 52-58).

‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu al-Hayyaj al-Asadi: Maukah kamu aku beri tugas sebagaimana tugas yang pernah diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku?

أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ وَلَا صُورَةً إِلَّا طَمَسْتَهَا

“Hendaklah kamu jangan membiarkan patug-patung kecuali kamu hancurkan, dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan. Dan jangan pula kamu tinggalkan bentuk gambar kecuali kamu menghapusnya.” (HR. Muslim).

Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits ini mengandung perintah mengubah bentuk atau gambar suatu yang bernyawa. As-Sindi menjelaskan, “kecuali kamu menghapusnya” adalah menghapus atau menghilangkan dengan memotong kepalanya, mengubah rupanya dan cara lainnya.

 Jika kita tidak melupakan penjelasan awal artikel ini, mengenai bendera kebangsaan dan panji fanatisme kelompok, maka kita dapati bendera dan panji tersebut realitasnya bertentangan dengan akidah kaum muslimin serta hukum syariah Islam yang lurus, karena alasan berikut:

Pertama, prinsip dan motif kemunculan bendera kebangsaan, bertolak belakang dengan akidah kaum muslim dan hukum syariah yang memerintahkan bersatu, yang mengharamkan separatisme serta fanatisme kelompok.

Kedua, simbolisasi bendera, ternyata melambangkan entitas kedaerahan, sesuai batas wilayah yang digariskan kafir penjajah, yang memisahkan setiap wilayah negeri muslim dengan wilayah tetangga muslim lainnya. Artinya melambangkan loyalitas kepada tanah air, padahal ini diharamkan Islam, karena loyalitas seorang muslim hanya kepada Allah, Rasul-Nya, Islam dan umat Islam.

Loyalitas yang dibangun berdasar loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya, adalah loyalitas akidah yang kuat, kokoh dan mendalam, artinya secara alami loyalitas seorang muslim kepada umat Islam otomatis mengharuskan menyerahkan loyalitas kepada ajaran, tujuan dan panji Islam semata. Allah berfirman:

 إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ، وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah. Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, yaitu di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kalian betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 55-57).

Ketiga, bendera kebangsaan didesain musuh-musuh Allah, perintis penjajah yang dendam kepada Islam dan kaum muslimin, sebagai usaha mereka memecah belah umat dan menghalangi persatuan, serta menunda tegaknya khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Musuh Allah semisal Mark Sykes (w. 1919 M), Georges Picot (w. 1952 M), Henri Gouraud (w. 1946 M) dan Hubert Lyautey (w. 1934 M), merekalah yang merancang, menerapkan dan meresmikan bendera-bendera kebangsaan.

Keempat, bendera kebangsaan ditetapkan konstitusi sekularisme, landasan kemunculannya adalah sekularisme bukan ideologi umat Islam, jadi sekularismelah yang berkuasa, artinya bendera tersebut melambangkan ideologi yang tidak lahir dari akidah Islam dan hukum syariah.

Sekularisme merupakan pemikiran asing yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin, sebuah pemikiran hasil konflik antara pihak gereja, raja serta kaisar di satu front, melawan pelopor reformasi agama di front lain. Konflik berdarah ini menghasilkan solusi jalan tengah, pemisahan agama dari kehidupan, yakni pengakuan terhadap agama yang eksistensinya dijamin, akan tetapi agama tidak boleh ikut campur dalam urusan kehidupan kita, dan fungsinya hanya mengurusi ibadah semata.

Masalah utama menurut mereka berupa topik: Siapa yang berwenang menilai perbuatan dan benda, boleh dan tidaknya, serta halal dan haramnya? Atau siapa yang berwenang mengeluarkan hukum halal dan haram? Apakah sang raja, pastor, rakyat atau agama? Setelah perdebatan panjang, mereka berkata: “Agama nashrani itu telah kami uji, nyatanya memberangus ilmu, pemikiran, penemuan dan inovasi. Begitu pula sang raja, dengan sewenang-wenang mengambil hak dan melanggar kehormatan manusia atas nama ‘otoritas ilahi’.” Lalu mereka menjadikan rakyat sebagai pihak yang berkuasa, dengan kesimpulan “pemisahan agama dari konstitusi” dan masyarakat adalah pihak pembuat hukum, yakni yang berwenang menilai perbuatan dan benda.

Padahal pemikiran seperti ini, merupakan pemikiran kufur dalam konteks keyakinan kaum muslimin, karena dalam Islam yang berwenang menilai perbuatan dan benda, menghalalkan atau mengharamkan, adalah Allah ta’ala semata, melalui wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga, perihal pembuatan hukum bagi mereka, sebetulnya hanyalah imajinasi yang tidak mungkin terjadi, karena seandainya puncak tertinggi hendak mengeluarkan hukum, rakyat secara kolektif tidak mungkin bisa bersepakat terhadap sebuah pendapat atau hukum tersebut. Jadi merupakan sebuah muslihat dan tipu daya, dengan memunculkan sebutan “kekuasaan legislatif”, yang berarti kebolehan melaksanakan shalat, menghapal al-Qur’an dan membangun masjid, tetapi agama tidak boleh ikut campur mengobati atau memecahkan masalah umat, karena agama sifatnya jampi-jampi dan kerahiban yang tercipta sesuai ketentuan Allah ta’ala, begitulah mereka membangun berbagai gagasan tadi.

Semua itu menjadi prinsip yang merubuhkan dan menghancurkan bagi dunia, terutama bagi dunia Islam, termasuk konklusi “pemisahan agama dari negara” yang bermakna sumber hukum tertinggi bagi pemerintahan, ekonomi, interaksi publik dan sanksi hukum, bukan diserahkan kepada Agama, namun diserahkan hanya kepada hawa nafsu manusia. Berdasarkan hal tersebut, segala sesuatu dibuat atas nama “kekuasaan rakyat” yang lenyap aspek akidahnya, termasuk juga bendera kebangsaan yang hilang juga aspek akidahnya. Sehingga bendera tersebut dihukumi sebagaimana hukum landasan dan perlambangnya, yaitu sebagai pelestarian entitas sekularisme rekayasa kafir penjajah dan wilayah kebangsaan yang memecah belah umat Islam.

Kelima, bendera kebangsaan dibuat demi tujuan dan maksud tertentu, sehingga siapa yang mendesainnya dialah yang menjadikannya sebagai simbol bagi tujuannya. Berbagai kata dan istilah juga memiliki makna dan arti. Istilah sendiri adalah konvensi suatu komunitas terhadap makna sebuah kata atau simbol; ketika seseorang mendengar kata, melihat simbol atau bendera tertentu, otomatis makna spesifik langsung bisa dipahami pemerhati kata, simbol atau bendera tersebut. Contohnya, ketika anda melihat bendera hitam atau putih yang tertulis di sana “Lâ Ilaha Illallâh Muhammad Rasûlullâh”, tentu segera terbesit di benak mengenai Islam dan negara Islam. Ketika melihat bendera tertulis “yâ latsârât al-Husain” (wahai para pembalas al-Husain), maka ini melambangkan sekte madzhab tertentu. Dan ketika melihat bendera berwarna tertentu, maka hal tersebut melambangkan negara kecil berwilayah yang menggunakan bendera tersebut.

Keenam, beragam istilah dan simbol dibuat demi makna tertentu, maka seorang pun tidak bisa mengklaim mengubah maknanya. Contohnya, ada orang yang menyimpan atau menggunakan salib, apa maksudnya? Tentu tidak diragukan maksudnya adalah ayah, anak dan roh kudus sebagai satu tuhan, maksudnya adalah trinitas kaum nashrani, yakni sebuah kemusyrikan yang mengeluarkannya dari ajaran Islam. Begitu pula, ada orang mengenakan songkok yahudi, simbol ajaran hindu, budha atau majusi, maka dia termasuk mengikuti langkah syaitan, Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ، إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 168-169).

Disinilah Islam hadir melarang menyerupakan diri dengan yahudi dan nashrani berkaitan dengan ajaran agama mereka. Demikian pula berbagai warna dan hukum simbolisasinya; warna memiliki makna spesifik yang dibuat ahli bahasa bagi warna tadi. Warna sendiri asalnya mubah, sebagai penghias pakaian dan selainnya, akan tetapi ketika berbagai warna tadi diistilahkan demi makna spesifik diluar simbol bahasa, maka itu artinya menunjukkan suatu akidah atau pemikiran tertentu.

Jika simbol warna menunjukkan makna yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka dilarang membuat dan menggunakan warna tersebut. Contohnya, warna merah (bintang merah) yang melambangkan simbol sosialisme, seperti doktrin “tiada tuhan dan kehidupan itu hanya materi”; atau bendera (panji merah) yang menunjukkan kedurhakaan masa jahiliyyah; juga warna yang menunjukkan tanda hubungan intim dengan wanita; tanda pembalasan dendam atau tanda pembunuhan, seperti warna merah yang dibuat untuk menuntut balas al-Husain “yâ latsârât al-Husain”, kepada siapa mereka menuntut balas?! Siapa yang membunuh yang mulia al-Husain ‘alaihis salam!!; termasuk pula warna yang digunakan lelaki namun menyerupai wanita, dan digunakan wanita namun menyerupai pria, sebagaimana Ibnu ‘Abbas meriwayatkan yang berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam riwayat lain:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. al-Bukhari).

 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

 لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, isnad shahih).

Ketujuh, berkenaan beragam panji sekte kelompok, landasan kemunculannya adalah pemikiran kelompok atau kolektif yang didorong fanatisme golongan, superioritas kelompok dan eliminasi selain kelompoknya. Tujuan mengangkat panji tersebut adalah pembalasan dendam, memecah-belah umat, meyimpangkan orientasi pemikiran dan akidah menuju tujuan lain, yang bertentangan dengan akidah Islam dan hukum syariah yang adil yang menolak sentimen rasial, separatis dan diskriminatif.

Kedelapan, sesuai ketentuan istilah sebagai parameter yang dijelaskan sebelumnya, ketika kaum muslimin mengambil beragam istilah, simbol dan warna, kita temukan al-Qur’an al-Karim ternyata melarang kaum muslimin menggunakan kata râ’inâ (perhatikan kami) pasca orang yahudi menjadikannya sebagai sebutan bagi Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyimpang maknanya. Orang yahudi mengucapkan kata itu sebagai istilah yang bermakna ar-ra’ûnah (teramat bodoh), mereka maksudkan sebagai perilaku rendah, kekurangan, kesalahan, celaan dan makian. Sebagaimana dijelaskan imam Muhammad al-Baqir, imam ath-Thabari, imam Ibnu Katsir dan lain-lain mengenai tafsir ayat tersebut. Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’an al-Karim memerintahkan kaum muslimin menyebut kata unzhurnâ (perhatikan kami) sebagai ganti kata râ’inâ, padahal dua kata itu artinya sama secara bahasa; akan tetapi ketika secara istilah artinya berbeda, maka al-Qur’an melarang menggunakan kata râ’inâ dengan mengganti kata baru. Allah berfirman:

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan kepada Muhammad: ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan dengarlah oleh kalian. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah [2]: 104).

Larangan penggunaan kata yang populer disebutkan orang yahudi tadi, demi menghindarkan umat Islam terjerumus dalam kesamaran kesalahan dan dosa, agar tidak ada penggunaan kata yang memunculkan kerusakan yang tidak diinginkan, sehingga bisa menghentikan jalan kerusakan yang didesain orang yahudi. Jika demikian, maka bagaimana kondisi masa kini, maraknya penggunaan beragam istilah yang tidak dikenal masyarakat Islam, dan tidak tercantum dalam pengetahuan Islam yang mulia, serta bukan pula berasal dari konsepsi peradaban Islam yang gemilang. Bahkan jelas merupakan istilah yang bertentangan dengan Islam, juga mengandung makna pemikiran yang bertentangan dengan Islam, hal demikian tentu menjadi sebab penyimpangan setiap jiwa dan pikiran menuju selain Islam.

Rekonstruksi Simbol dan Istilah

Untuk memperbaiki berbagai pemahaman dan mengokohkan konsep yang wajib digunakan kaum muslim, Allah ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2]: 275).

Allah melarang mengubah ungkapan, artinya mengubah berbagai kata demi mengubah makna yang ditangkap penyimak, termasuk melarang juga mengubah konsep, Allah berfirman:

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Apakah masih mengharapkan mereka akan percaya kepada kalian, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?.” (QS. al-Baqarah [2]: 75).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ

“Sesungguhnya nama yang terburuk di sisi Allah Ta’ala ialah nama Malikul Amlak (Maha Raja Diraja).” (HR. Muttafaq ‘alaih; Malikul Amlak seperti Syahan Syah alias Raja Diraja dalam bahasa Persia, kata Sufyan bin ‘Uyainah).

Islam mengharamkan dan melarang berbagai kata, seperti menyebut orang fasik dan semisalnya, dengan panggilan sayyidi (tuanku). Pasalnya sifat seorang sayyid bukanlah sifat munafik dan setiap sebutan itu mengandung sifat, serta sayyid itu bukan sekedar karena status sosial dan keturunan, namun karena amal dan sifat mulia tertentu. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Jangan menyebut tuan untuk seorang munafik, sebab jika ia jadi tuan, berarti kalian telah membuat Rabb kalian ‘Azza wa Jalla murka.” (HR. Abu Dawud, isnad shahih).

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat Subuh bersama kami di Hudaibiyah, selepas hujan turun pada malam tersebut. Setelah selesai shalat, beliau menghadap kepada kaum muslimin seraya bersabda:

 هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ

“Tahukah apa yang telah difirmankan oleh Rabb-kalian?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda:

قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

“Allah berfirman: ‘Di antara hamba-hamba-Ku, ada yang menjadi orang yang beriman dan ada yang kafir. Maka barangsiapa yang menyatakan, ‘Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah’, maka orang itu beriman kepada-Ku dan tidak beriman terhadap bintang-bintang. Sebaliknya orang yang berkata, ‘Kita diberi hujan oleh bintang ini atau bintang itu, maka orang tersebut kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang-bintang’.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Mengenai ketentuan penggunaan berbagai kata, sesuai apa yang diriwayatkan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ خَبُثَتْ نَفْسِي وَلَكِنْ لِيَقُلْ لَقِسَتْ نَفْسِي

“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan, ‘Khabutsat nafsi (diriku sangat buruk)’, akan tetapi hendaknya ia mengatakan ‘Laqishat nafsi (diriku ada kekurangan)’.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Para ulama menjelaskan, makna khabutsat nafsi adalah jelek, artinya sama dengan laqishat, tetapi kata al-khabats ini makruh diucapkan.

Mengenai ketentuan penggunaan ungkapan dan pembatasan konsepnya, sebagaimana riwayat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata, ‘Wahai musuh Allah’ padahal tidak demikian, maka perkataan tersebut akan kembali kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُسَمُّوا الْعِنَبَ الْكَرْمَ فَإِنَّ الْكَرْمَ الرَّجُلُ الْمُسْلِمُ

“Janganlah kalian menyebut anggur dengan al-karm (kemuliaan), karena al-karm itu adalah seorang lelaki muslim.” (HR. Muslim).

Riwayat lain:

 فَإِنَّمَا الْكَرْمُ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ

“Karena al-karm (kemuliaan) adalah hati seorang mukmin.” (HR. Muslim).

 وَيَقُولُونَ الْكَرْمُ إِنَّمَا الْكَرْمُ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ

“Orang-orang banyak menyebut (anggur) al-karmu (kemuliaan), padahal al-karmu adalah hatinya orang mukmin.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Islam memberikan perhatian besar kepada sebuah kata, lalu dengan prinsip ini menetapkan ganjaran dan sanksi, kemudian sesuai ganjaran dan sanksi tersebut, Islam menentukan berbagai hukum yang mesti dilaksanakan, yang andai diabaikan maka hukum, akad atau transaksi bisa batal. Jadi siapa yang mengucapkan kata thalâq, maka istrinya telah diceraikan, apakah thalaq satu, dua atau tiga, semua thalâq ini punya hukum tersendiri. Berlaku sama dengan ucapan zhihâr (engkau seperti ibuku bagi diriku), maka setelah ucapan ini pengucapnya wajib menunaikan kafarah sehingga istrinya kembali halal baginya. Ketika suami menuduh istrinya berzina, maka berlaku hukum li’ân bagi keduanya, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nûr, sang hakim akan memisahkan keduanya selama-lamanya. Dalam masalah akad, ketika redaksi ijab dan qabul telah disebutkan, seperti anda menyatakan: zawajtuka (aku nikahkan engkau) atau syâraktuka (aku bersyirkah denganmu) dan lain sebagainya, maka akad telah terpenuhi, dan akad syar’i hanya bisa dibatalkan kerana sebab syar’i. Karenanya Islam mengharamkan mengubah ungkapan istilah dari ketentuannya, Allah berfirman: 

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ، فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

“Dan ingatlah, ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kalian sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, dan katakanlah: ‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik.’ Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami turunkan malapetaka atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.” (QS. al-Baqarah [2]: 58-59).

وَإِذْ قِيلَ لَهُمُ اسْكُنُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ وَقُولُوا حِطَّةٌ وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا نَغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئَاتِكُمْ سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ، فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَظْلِمُونَ

“Dan ingatlah, ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil): ‘Diamlah di negeri ini saja (Baitul Maqdis) dan makanlah dari hasil buminya di mana saja kalian kehendaki’. Dan katakanlah: ‘Bebaskanlah kami dari dosa’ dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik.’ Maka orang-orang yang zalim di antara mereka itu mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka, maka Kami timpakan kepada mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka.” (QS. al-A’râf [7]: 161-162).

Perkara ini sangat jelas, azab menimpa umat Islam jika mereka menerima perubahan berbagai istilah, konsep dan pemikiran, sebagaimana Allah menurunkan azab kepada Bani Israil, karena perubahan dan penggantian ungkapan tadi, maka Allah berfirman: “Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami turunkan malapetaka atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik” (QS. al-Baqarah [2]: 59), dan “Maka orang-orang yang zalim di antara mereka itu mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka, maka Kami timpakan kepada mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka.” (QS. al-A’râf [7]: 162). Allah menyebut perbuatan tersebut dengan kezhaliman dan kefasikan, lalu diturunkan azab, dan pastinya perkataan-perkataan tersebut bertentangan dengan akidah dan hukum syariah, juga bertentangan dengan perkara yang diperintahkan Allah. Berbagai malapetaka atau azab yang menimpa umat Islam hari ini akibat perubahan dan pergantian istilah, tidak akan hilang kecuali umat kembali terikat dengan berbagai nash agama mereka dan menerapkannya sebagaimama Allah turunkan dan kehendaki, bukan sebagaimana kehendak hawa nafsu mereka. Al-‘Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي أَوْ أَمَتِي، كُلُّكُمْ عِبَادُ اللَّهِ، وَنِسَاؤُكُمْ إِمَاءُ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: غُلَامِي وَجَارِيَتِي وَفَتَايَ وَفَتَاتِي

“Janganlah seseorang di antara kalian berkata: Hai hambaku atau hamba perempuanku, karena kalian semua adalah hamba Allah dan kaum wanita adalah hamba sahaya Allah. Tetapi katakanlah: Hai pelayanku dan pelayan perempuanku atau hai pemudaku dan pemudiku.” (HR. al-Ashbahani).

Dari jalur al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ عَبْدِي فَكُلُّكُمْ عَبِيدُ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَقُلْ فَتَايَ وَلَا يَقُلْ الْعَبْدُ رَبِّي وَلَكِنْ لِيَقُلْ سَيِّدِي

“Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian berkata: Hai hambaku karena kalian semua adalah hamba Allah, tetapi katakanlah: Hai pemudaku. Dan jangan pula seorang pelayan memanggil majikannya: Rabbku, tetapi ucapkanlah: Tuanku.” (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ اسْقِ رَبَّكَ وَلْيَقُلْ سَيِّدِي مَوْلَايَ وَلَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي وَغُلَامِي

“Janganlah seorang dari kalian memerintahkan budaknya dengan kalimat: Hidangkanlah makanan untuk Rabb kamu, wudhukanlah Rabbmu, sajikanlah minuman untuk Rabbmu, tapi hendaklah dia berkata dengan kalimat: Tuanku, pemeliharaku. Dan janganlah seorang dari kalian mengatakan: Hai hambaku atau hamba perempuanku, tapi katakanlah: Pemudaku, pemudiku dan pelayanku.” (HR. al-Bukhari).

Jadi berbagai kata dan maknanya ditentukan Islam, sehingga benak tidak salah memahami makna lain yang bertentangan dengan konsep akidah dan hukum syariah. Penghambaan dan ketuhanan realitasnya milik Allah ta’ala, karena Rabb adalah penguasa yang mengatur sesuatu, yang hanya disematkan kepada Allah. Sedangkan ucapan si budak: “tuanku” diperbolehkan, sesuai sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ucapkanlah tuanku”, karena ucapan “tuanku” tidak terbatas bagi Allah seperti terbatasnya kata Rabb, fungsinya tidak serupa dengan kata Rabb. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ

“Sesungguhnya anakku ini adalah tuan (pemimpin).” (HR. al-Bukhari).

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ

“Berdirilah kalian untuk tuan (pemimpin) kalian (Sa’ad bin Mu’adz).” (HR. al-Bukhari).

Hadits lain:

اسْمَعُوا إِلَى مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ

“Dengarkanlah apa yang disampikan tuan (pemimpin) kalian (Sa’ad bin ‘Ubadah).” (HR. Muslim).

Jadi ucapan si budak “tuanku” tidak mengandung masalah dan kesamaran, karena bisa digunakan oleh selain budak, serta tidak masalah juga si budak berucap kepada tuannya “wahai maulaku (pemeliharaku)”, sebab maula itu bisa mengandung enam belas arti, berdasarkan konteks dan penjelasannya, diantaranya sang penolong dan sang penguasa. Sedang sang tuan makruh mengucapkan “hambaku dan hamba perempuanku”, tapi sebaiknya berkata “pelayanku dan pelayan perempuanku” atau “pemudaku dan pemudiku”, sebab realitas penghambaan itu hanya layak bagi Allah, karena kata “hambaku dan hamba perempuanku” mengandung makna pengagungan, yang tidak layak makhluk menyematkan kepada dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ‘illat (motif hukum) ketentuan tadi, sehingga bersabda “karena kalian semua adalah hamba Allah”, jadi  melampaui batas atau angkuh dalam penggunaan kata itu dilarang, sebagaimana dilarang pula melampau batas atau angkuh dalam perbuatan.

Adapun ucapan “pelayanku dan pelayan perempuanku” atau “pemudaku dan pemudiku”, tidak menunjukkan kepemilikan atau kepenguasaan seperi kata “wahai hambaku”, terlebih ucapan “pelayanku dan pelayan perempuanku” atau “pemudaku dan pemudiku” kadang disematkan kepada orang merdeka dan budak, artinya kata tersebut hanya menunjukkan pengutamaan saja. Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Isteri al-Aziz menggoda pemudanya (bujangnya) untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada pemuda itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. Yûsuf [12]: 30).

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada pemudanya (muridnya): ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun’.” (QS. Al-Kahfi [18]: 60).

وَقَالَ لِفِتْيَانِهِ اجْعَلُوا بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا إِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Yusuf berkata kepada pemuda-pemudanya (bujang-bujangnya): ‘Masukkanlah barang-barang (penukar kepunyaan mereka) ke dalam karung-karung mereka, supaya mereka mengetahuinya apabila telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi’.” (QS. Yûsuf [12]: 62).

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

“Dan barangsiapa diantara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari pemudi-pemudi (budak-budak) yang kalian miliki.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 25).

Para ulama menjelaskan: maksud beberapa hadits sebelumnya bermakna, budak dilarang berkata kepada tuannya “Rabbku”, karena ketuhanan itu realitasnya milik Allah ta’ala, sebab Rabb adalah sang penguasa atau pengatur sesuatu, makna ini hanya terwujud pada Allah ta’ala. Jika dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai tanda kiamat:

 أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا

“Apabila seorang budak melahirkan anak Rabbnya (majikannya).” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Maka bisa dijawab dengan dua aspek: pertama, hadits yang kedua tersebut menjelaskan kebolehan, sedang larangan di hadits awal sebagai adab dan hukumnya makruh tanzih, bukan haram mutlak; kedua, maknanya adalah larangan banyak menggunakan kata tersebut dan menjadikannya kebiasaan populer, dan tidak dilarang diucapkan dalam keadaan yang jarang. Al-Qadhi memilih jawaban tersebut. Secara lahiriah, maksud larangan dalam hadits, larangan digunakan untuk kesombongan dan ketinggian posisi, bukan kepada sifat dan pengertiannya.

Ketika sebutan istilah itu banyak sekali, tidak terbatas dan terus hadir dalam kehidupan, maka harus ada kaidah tetap yang menjadi landasan seluruh istilah, atau harus ada instrumen yang menimbang setiap istilah baru yang muncul. Kami berpendapat, semua kata yang mengandung suatu istilah yang maknanya ada dalam ajaran Islam, maka syara membolehkan penggunaan kata tadi untuk disebutkan atau disampaikan. Adapun jika ada istilah yang maknanya bertentangan dengan salah satu makna dalam ajaran Islam, maka penyebutan kata tersebut melalui dakwah diharamkan, meski dibatasi dengan sifat Islami, karena secara asal usul mengungkapkan pemikiran tertentu atau suatu aturan spesifik, yang dapat diketahui siapa penganut dan pembawa aturan itu. 

Al-Ustadz al-Mubarak dekan fakultas syariah Universitas Damsyik era 60-an, menjelaskan: Setiap pakar menggunakan kata yang dipandangnya memiliki arti yang benar secara konvensi, yang sejak awal memang jelas tidak perlu ada perdebatan istilah, akan tetapi penggunaan istilah yang menyelisihi konsep Islam disinilah terjadi perdebatan istilah. (Majalah Hadharah al-Islam, edisi VI, tahun 1962 M, h. 90). 

Syaikh syahid ‘Abdul ‘Aziz al-Badri menyatakan: Saya berpendapat, arti yang sudah benar secara konvensi, yang diungkapkan dengan kata tertentu, maka kata itu menjadi istilah bagi arti tadi. Jika seorang pakar hendak menggunakan istilah tertentu, arti yang dimaksud harus relevan secara sempurna dengan makna istilahnya, dan ketika itu tentu tidak perlu ada perdebatan istilah. Adapun jika seorang pakar hendak mengutarakan arti tertentu, dia dilarang menggunakan istilah lain yang sudah memiliki makna yang disepakati dan bertolak belakang dengan makna yang dikehendakinya, karena itu setiap istilah ada arti yang sudah disepakati, dan dalam penggunaannya disini ada perdebatan istilah. (Hukm al-Islam fi al-Isytirakiyyah, h. 126). 

Al-Qadhi al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di dalam Nizham al-Islam, kurang lebih mengutarakan: Berbagai kata asing yang memiliki makna istilah, jika istilah tersebut bertentangan dengan istilah yang disepakati kaum muslimin, maka penggunaan istilah itu dilarang. Contoh, istilah “keadilan sosial” yang bermakna sistem tertentu yang secara prinsip menjamin pendidikan dan kesehatan kalangan miskin, serta jaminan hak pekerja dan pegawai. Istilah ini bertentangan dengan istilah yang disepakati kaum muslimin, karena keadilan menurut kaum muslimin adalah kebalikan dari kezhaliman, sedangkan jaminan pendidikan dan kesehatan merupakan hak semua orang baik kaya maupun miskin, serta jaminan pemenuhan hak yang membutuhkan dan kalangan lemah merupakan hak bagi seluruh rakyat warga negara Islam, baik mereka kalangan pegawai atau non pegawai, kalangan buruh, petani atau selainnya. Adapun jika sebuah kata yakni istilah yang maknanya ada dalam konvensi kaum muslimin, maka boleh menggunakan kata tersebut. Contoh, kata “pajak” yang berarti harta yang diambil dari masyarakat untuk urusan negara, dan menurut kaum muslimin harta yang diambil dari masyarakat untuk urusan kaum muslimin. Demikian juga kata konstitusi dan undang-undang, dua kata ini boleh digunakan, karena bermakna negara melegislasi hukum tertentu yang dipublikasikan kepada masyarakat dan rakyat wajib menjalankannya. Meskipun ada perbedaan antara konstitusi Islam dan konstitusi sekular. Konstitusi Islam dilegislasi kepala negara berdasarkan kekuatan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang suci, sedangkan konstitusi sekular dilegislasi (wakil) rakyat, sehingga kedaulatan milik rakyat, dan rakyat adalah sumber kekuasaan, sedang dalam konstitusi Islam pembuat hukum adalah Allah, kedaulatan pada syariah-Nya, serta kekuasaan di tangan umat. 

Pada prinsipnya, makna syar’i adalah penggunaan lisan syara’ untuk mengungkapkan makna dan menjaga penggunaannya tersebut. Ibnu Taimiyyah berkata: Ungkapan mengenai hakikat keimanan dengan redaksi al-Qur’an, lebih utama dari ungkapan dengan redaksi selainnya, karena kata-kata al-Qur’an wajib diimani. Kata-kata tersebut diturunkan dari Sang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, dan umat menyepakatinya. Kandungannya wajib diakui, sebelum kata-katanya dipahami, yang meliputi berbagai hikmah dan makna yang senantiasa ajaib. Sedangkan berbagai kata baru buatan makhluk, mengandung keindahan, kesamaran dan sekaligus kontradiksi, kadang kemudian sebuah kata dijadikan sebagai dalil, dan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan dibenarkan, sehingga artinya mengalami kekacauan, ini merupakan perkara yang diakui bagi orang yang menguji ucapan manusia. Jadi berpegang teguh kepada tali Allah adalah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan agama Islam. Tatkala redaksi al-Qur’an dan al-Hadist disampaikan, serta maknanya dijelaskan dengan jernih dan pasti, maka akan mampu menyusun makna yang benar bagi ucapan manusia, dan terkandung keutamaan agung yang tidak dimiliki ucapan manusia, alias terjaga dari kebatilan di dalam ucapan manusia. (An-Nubuwat, II/878). 

Ibnu Taimiyyah berpendapat pula: Berbagai kata yang diperselisihkan merupakan buatan mutaakhirin, seperti kata al-jismu (tubuh), al-jauhar (inti), al-mutahayyiz (memiliki dimensi), al-jihah (arah) dan semisalnya, maka jangan dulu dinyatakan ditolak atau diakui hingga diteliti ulang maksud penuturnya. Jika tujuan penafian dan pengakuan mengandung makna yang benar sesuai wahyu yang disampaikan Rasul, maka makna yang dimaksud kata tersebut dibenarkan, tetapi nantinya mesti diungkapkan dengan redaksi sesuai nash, yang tentu tidak diganti kata-kata umum buatan tersebut kecuali ketika dibutuhkan, dengan tetap dibarengi beberapa indikasi dan kebutuhan yang menjelaskan arti. Contoh ketika dibutuhkan, adanya seruan yang maknanya tidak sempurna bagi orang tertentu jika kata-kata tadi belum digunakan, adapun jika makna yang dimaksud adalah batil, maka makna tersebut dinafikan, dan jika terhimpun antara benar dan batil, maka makna yang benar diakui dan makna yang batil ditolak. (Minhaj as-Sunnah, II/554). 

Imam Fahruddin ar-Razi dalam tafsirnya mengenai firman Allah “Dia (Allah) telah menamai kalian sekalian orang-orang muslim” (QS. al-Hajj [22]: 78) berkata: Menunjukkan mengenai pengakuan istilah-istilah syariah, bahwa itu berasal dari Allah ta’ala, pasalnya andai hanya sekedar istilah bahasa tentu tidak perlu disandarkan kepada Allah ta’ala secara spesifik. (Mafatih al-Ghaib, XXIII/257). 

Termasuk contoh penting dalam hal ini, sebutan “al-Muhajirin dan al-Anshar” sebagai sifat syar’i yang shahih, tetapi ketika digunakan dalam konteks fanatisme yang tidak benar, maka Nabi menamainya sebagai panggilan jahiliah! Sebagaimana disebutkan dalam shahih Muslim dari Jabir yang berkata: “Kami pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan. Tiba-tiba seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar. LaIu sahabat Anshar itu berseru; ‘Hai orang-orang Anshar kemarilah!’ Kemudian sahabat Muhajirin itu berseru pula; ‘Hai orang-orang Muhajirin, kemarilah!.’ Mendengar seruan-seruan seperti itu, Rasulullah pun berkata: 

مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Mengapa kalian masih menggunakan cara-cara panggilan jahiliah?”

Para sahabat menjawab: ‘Ya Rasulullah, tadi ada seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

“Tinggalkanlah panggilan dengan cara-cara jahiliah, karena yang demikian itu akan menimbulkan efek yang buruk.” (HR. Muslim). 

Ketika berkaitan dengan sebutan syar’i yang shahih, yang disebutkan al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar” (QS. At-Taubah [9]: 100), “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar” (QS. At-Taubah [9]: 117), saat sebutan tadi menjadi slogan atau panji fanatisme yang tidak benar, maka Nabi menamainya sebagai panggilan jahiliah! Lalu bagaimana kiranya tanggung jawab kalian kepada Allah mengenai slogan atau panji “humanisme” dan “nasionalisme”, yang bermakna meleburkan batasan keyakinan, yang menyamakan muslim dengan kafir dan menyamakan muslim dengan sekularis dalam segala hal, termasuk dalam urusan dakwah dan penyebaran ajaran, sehingga mereka semua diberi kebebasan menyebarkan apa yang mereka kehendaki; ironis sekali, apakah ada sikap penyamaan antara kebenaran dan kebatilan yang lebih mengerikan dari ini?! 

Karena itu berbagai istilah yang bertentangan dengan ajaran Islam, semisal istilah nasionalisme, kebangsaan, demokrasi, masyarakat sipil, republik, federasi, pasar bebas, liberalisme dan hak asasi non Islami; seperti kebebasan kepemilikan, berpendapat, berkeyakinan, berperilaku dan banyak lagi konsep Barat yang lainnya, maka dilarang mengambil, menerapkan, menjalankan dan menyebarluaskan semua istilah tersebut. Siapa pun yang melaksanakan atau memaksa masyarakat menjalankannya, tentu dia berdosa besar, sombong dan lancang terhadap Allah dan syariah-Nya. Tentu wajib dicegah, perintahkan kemakrufan dan larang kemunkaran, serta berusaha mengubahnya dengan seruan dan perjuangan. Pasalnya beragam istilah dan konsep tadi, hanya menambah daftar kesengsaraan, kemelaratan dan kerusakan bagi kita!!!. 

Dengan demikian, istilah nasionalisme yang bermakna memberikan hak dan kewajiban kepada segolongan manusia, mendukung loyalitas dan keberpihakan berdasar fanatisme kebangsaan, mengidentifikasi manusia berdasar tempat kelahiran dan bukan berdasar kriteria yang adil, dan memuliakan beragam entitas yang dibentuk imperialis, serta menjadikan tanah air sebagai penguasa dan bukannya akidah Islam. Maka istilah tersebut tidak boleh digunakan, diterapkan dan disebarluaskan. 

Jadi, makna, kandungan dan pengertian istilah nasionalisme, adalah keterikatan antara manusia berlandaskan tanah air, alias berupa entitas politik yang mengandung andil penjajah. Negara tersebut dirancang berdasar wilayah kekuasaan tertentu, hal inilah yang menjadi asas interaksi antar manusia, sehingga nasionalisme menjadi asas persaudaraan, pembentukan kelompok dan partai; menjadi asas kepribadian, budaya, aktivitas, pemikiran, motif dan fanatisme; dan menjadi asas bagi apa yang dikenal sebagai negara bangsa. Istilah tersebut jelas bertentangan dengan pengertian dan makna ajaran Islam. Begitu pula, berbagai bendera, panji dan simbol yang bertentangan dengan parameter istilah dalam Islam, seperti bendera nasionalisme, tidak layak dilegislasi, diangkat, dimuliakan atau berperang dibawah naungan panjinya. 

هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrâhîm [14]: 52).

Wallahu ‘alam.

Oleh : Nashir Wahan al-Lahabi (Cendekiawan Yaman)

(Hukm ar-Rumuz wa al-A’lam fi al-Islam I dan II. Al-Wa’ie edisi 420-421, tahun XXXVI, Muharram-Shafar 1443 H/ Agustus-September 2021 M. Alih bahasa YSP). 

Check Also

sistem ekonomi islam

Mendiskusikan Sistem Ekonomi Islam

Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, ekonomi secara istilah adalah: تدبير شؤون المال، إمّا بتكثيره …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.