Soal:
Syaikhuna yang dimuliakan, semoga Allah menjaga Anda dan melangsungkan kemenangan melalui kedua tangan Anda. Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.
Saya punya pertanyaan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii topik “Ta’ârudh mâ yukhillu bi al-fahmi -Kontradiksi yang mengacaukan pemahaman-“:
Ketika berbicara bahwa dalil sam’iyah tidak memberi faedah yakin kecuali setelah memenuhi sepuluh syarat … Apa maksud “taghyîru al-i’râb wa at-tashrîf wa al-mu’âradhu al-‘aqliy -perubahan i’rab, tashrîf dan sanggahan logis-?
Saya harap Anda memberi kami contoh-contoh tentang “al-mu’âradhu al-‘aqliy -sanggahan logis-“.
Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Saudaramu Abu Muhammad – Austria
Abdallah Fakir
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama: supaya menjadi jelas realita apa yang Anda tanyakan, saya kutipkan apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii tentang ini pada bab “Ta’ârudh mâ yukhillu bi al-fahmi -kontradiksi yang mengacaukan pemahaman-“:
[Kacaunya pemahaman yang terjadi dalam memahami apa yang dimaksudkan oleh pembicara terjadi dari lima kemungkinan, yaitu: al-isytirâk, an-naqlu, al-majâz, al-idhmâr, dan at-takhshîsh. Sebab jika tidak ada kemungkinan al-isytirâk dan an-naqlu maka lafal itu ditetapkan untuk satu makna. Dan jika tidak ada kemungkinan al-majâz dan al-idhmâr yakni at-taqdîr (perkiraan) maka yang dimaksudkan dari lafal adalah apa yang ditetapkan untuknya. Dan jika tidak ada kemungkinan at-takhsîsh (pengkhususan) maka maksud dari lafal itu adalah semua yang ditetapkan untuknya. Maka pada kondisi itu tidak tersisa lagi kekacauan pemahaman, sehingga ketika itu dipahami makna yang dimaksudkan dari dalil-dalil as-sam’iyah. Ini berkaitan untuk ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). Hal itu cukup dalam istinbath hukum syara’. Artinya, jika tidak ada lima kemungkinan tersebut maka tidak tersisa sesuatu yang mengacaukan zhann (dugaan) sehingga hukum syara’ dapat dipahami. Adapun tidak adanya yang mengganggu yakin, dan itu adalah apa yang harus terpenuhi dalam akidah, maka tidak cukup penafian lima kemungkinan itu saja, yakni tidak cukup beristidlal dengan dalil sam’iy atas akidah, yakni untuk memberi faedah yakin, tidak cukup penafian lima kemungkinan ini saja. Tetapi harus ada sesuatu yang lain bersamanya. Dali-dalil sam’iyah tidak memberi faedah yakin kecuali setelah sepuluh syarat, yaitu lima kemungkinan ini dan tidak adanya an-naskh (nasakh), at-taqdîm wa at-ta`khîr (pengedepanan dan pengakhiran), taghyîr al-i’râb (perubahan i’râb/sintaksis), at-tashrîf dan al-mu’âradh al-‘aqliy -sanggahan logis-. Jika tidak ada sepuluh ini maka tidak tersisa lagi apa yang mengganggu keyakinan sehingga dalil sam’iy ketika itu memberi faedah yakin, sehingga dijadikan dalil atas akidah, dan lebih utama lagi atas hukum syara’. Jadi dalalahnya ketika itu bersifat yakin. Dan kepadanya ditambahkan keberadaan tsubûtnya yang bersifat yakin] selesai penukilan dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii.Kedua, pada 27/02/2010 saya telah menjawab pertanyaan yang dekat dengan pertanyaan Anda. Dan untuk menambah faedah, saya kutipkan jawaban saya itu yang mana di dalamnya ada jawaban atas pertanyaan Anda dan tambahan:
[… sebagian fukaha bahasa membedakan antara al-idhmâr (penyembunyian) dan al-majâz (majaz). Mereka membatasi majaz pada tampaknya lafal tetapi dengan makna yang bukan hakiki. Misal:﴿إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً﴾
“Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur” (TQS Yusuf [12]: 36).
Lafal al-khamru disebutkan tetapi yang dimaksudkan adalah al-‘inabu (anggur), dan bukan makna hakiki khamr yaitu anggur yang sudah diperas dan difermentasi menjadi khamr.
Misal:
﴿يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ﴾
“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya” (TQS al-Baqarah [2]: 19).
Lafal al-ashâbi’ (jari-jemari) disebutkan, tetapi yang dimaksudkan adalah ujung jari dan bukan makna hakiki lafal al-ashâbi’ (jari jemari) yang mencakup semua jari dan bukan hanya ujungnya. Begitulah, majaz adalah menurut mereka hanya lafal yang diucapkan dengan selain maknanya yang hakiki.
Adapun al-idhmâr (penyembunyian) maka itu adalah disembunyikannya lafal yang memberikan makna hakiki dan menampakkan salah satu kaitannya untuk memberikan makna yang bukan hakiki. Misal:
﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾
“Dan tanyalah (penduduk) negeri” (TQS Yusuf [12]: 82).
Lafal yang disembunyikan adalah lafal “ahlu (penduduk)” dan itu yang memberi makna hakiki. Adapun yang disebutkan yaitu apa yang berkaitan dengannya adalah lafal al-qaryah (negeri) dan itu yang memberi makna yang bukan hakiki. Jadi pertanyaan itu bukan kepada negeri melainkan kepada penduduknya. Begitulah, mereka menjadikan al-idhmâr (penyembunyian) bukan majaz menurut penilaian ini.
Melainkan yang rajih adalah bahwa keduanya adalah satu. Sebab penggunaan lafal pada yang bukan makna hakiki adalah majaz. Jadi baik untuknya diperkirakan lafal yang disembunyikan ﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾ -dan tanyalah (penduduk) negeri- atau tidak diperkirakan ﴿أَعْصِرُ خَمْراً﴾ -aku memeras anggur-, ﴿أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ﴾ -anak jari mereka di telinga mereka-, maka lafal yang tampak tidak digunakan pada makna sebenarnya (haqîqat al-ma’nâ). Negeri yakni bangunan-bangunannya, tidak bisa ditanya melainkan yang bisa ditanya adalah penduduknya. Khamr tidak diperas, melainkan yang diperas adalah anggur. Dan jari-jemari tidak bisa dimasukkan ke telinga, melainkan yang dimasukkan adalah anak (ujung)-nya.
Inilah topik tersebut.
Adapun kenapa kami sebutkan lima dan bukan empat padahal kami menempatkan al-idhmâr (penyembunyian) pada bab majaz, dan kami rajihkan bahwa keduanya (al-majâz dan al-idhmâr) adalah dari bab yang sama, hal itu karena pembahasannya adalah “apa yang mengacaukan pemahaman –mâ yukhillu bi al-fahmi-”. Jadi pembedaan dalam al-idhmâr dan al-majâz, antara penyembunyian dan tidak adanya penyembunyian, adalah lebih detil dan lebih jelas.
Adapun tentang lima hal yang wajib terpenuhi untuk memberi fedah yakin maka masalah tersebut sebagai berikut:
Selama yang dituntut dari dalil sam’iy adalah yakin, maka wajib berupa dalâlah (makna) yang qath’iy “dan tentu saja juga qath’iy ats-tsubut, hanya saja pembahasannya adalah dalam memahami apa yang dimaksudkan oleh si pembicara, dan itu berkaitan dengan dalâlah (makna)”. Dan supaya dalalah itu qath’iy maka wajib berupa dalil sam’iy yang tidak mengandung kemungkinan. Jika nas itu berkemungkinan nasakh maka Anda tidak mungkin mengambil dalalah yang qath’iy darinya sebelum Anda mengkonfirmasi bahwa itu tidak dinasakh. Begitu pula, jika di dalamnya ada pengedepanan (at-taqdîm) dan pengakhiran (at-ta`khîr), atau perubahan dalam i’rab, atau at-tashrîf dan al-istiqâq, atau memiliki sanggahan logis (al-mu’âradh al-‘aqliy).
Contohnya:
1- Nasakh, Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS al-Mujadalah [58]: 12).
Apakah mungkin Anda mengambil darinya hukum pembicaraan itu jika Anda tidak mengkonfirmasi (menegaskan) bahwa nasakh dinafikan darinya? Jawabannya jelas karena hukum ayat tersebut dinasakh …
2- Pengedepanan (at-taqdîm) dan pengakhiran (at-ta`khîr). Allah SWT berfirman:
﴿سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾
“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (TQS al=-Baqarah [2]: 142).
Dan Allah SWT berfirman:
﴿قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ…﴾
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram….” (TQS al-Baqarah [2]: 144).
Jelas bahwa di situ ada pengedepanan (at-taqdîm) dan pengakhiran (at-ta`khîr). Itu adalah, yang pertama firman Allah SWT ﴿فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا﴾ – maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai-, dan setelah itu Allah mengalihkan ke arah Masjidil Haram, orang-orang yang kurang akalnya ﴿مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ﴾ –“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu-. Maka jika Anda mendengar ayat yang pertama dan tidak memahami pengedepanan dan pengakhiran maka akan sulit bagi Anda memahami makna yang ditunjukkan (madlûl) ucapan tersebut. Lalu bagaimana orang-orang yang kurang akalnya mengatakan ﴿مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ﴾ –“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu”-, dan setelah itu Anda mendengar ayat berikutnya ﴿فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا﴾ – maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai-? Jadi selama tidak dinafikan pengedepanan dan pengakhiran di dalam nas tersebut maka Anda tidak mungkin memahami makna yang dimaksudkan.
3- Adapun perubahan i’rab, Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ…﴾
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat … “ (TQS Ali Imran [3]: 7).
Perbedaan i’rab antara keberadaan huruf al-wâwu sebagai wâwu ‘athaf atau wâwu isti`nâf membuat maknanya berbeda. Dan ini telah dijelaskan di asy-Syakshiyyah al-Islâmiyah juz iii.
4- Adapun at-tashrîf, Allah SWT berfirman:
﴿قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ﴾
“Allah berfirman: “(Kalau demikian) Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu” (TQS al-Baqarah [2]: 260).
Di situ kata shurhunna, maka itu antara berasal dari shâra yashûru atau shâra yashîru, dan karenanya dibaca “fashurhunna” dan dibaca “fashirhunna” dan kedua bacaan ini mutawatir. Jika Anda tidak mengetahui bagaimana berinteraksi dengan at-tashrîf maka Anda tidak mungkin memahami ayat tersebut sebab kata tersebut di sini memiliki tashrîf yang berbeda. Tetapi ketika Anda mengetahui at-tashrîf maka Anda dapat memahami apa yang dimaksudkan. Jadi Anda katakan: “fashurhunna dengan makna dia memotongnya atau dia miringkan. Dan fashirhunna dengan makna memotongnya sebagaimana yang dikatakan oleh al-Fara’. Dan karena kedua bacaan itu mutawatir dan maknanya satu, maka makna yang muhkam di antara dua qiraah itu adalah al-qath’u (memotong), dan jadilah makna fashurhunna yakni sembelihlah dan potong-potong menjadi banyak bagian.
5- Sanggahan logis (al-mu’âradhu al-‘aqliy), Allah SWT berfirman:
﴿ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ﴾
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu” (TQS Ghafir [40]: 62).
Lafal “kulla syay`in -segala sesuatu-“ merupakan lafal umum. Jika tidak dipahami bahwa ini dikhususkan dengan akal pada selain Allah SWT, maka Anda tidak dapat memahami apa yang diminta, sebab Allah SWT adalah Sang Pencipta dan bukan termasuk makhluk, yakni tidak termasuk dalam cakupan “kulla syay`in -segala sesuatu-“. Sanggahan yang mengharuskan pengkhususan (at-takhshîsh) itu adalah sanggahan logis (al-mu’âradh al-‘aqliy). Dan jika nas itu di dalamnya ada sanggahan logis maka Anda tidak dapat memahami makna yang ditunjukkan (madlûl) oleh nas tersebut tanpa memahami masalah ini.
Ringkasnya: Anda tidak dapat sampai kepada yang diiginkan oleh si pembicara secara qath’iy kecuali Anda menghilangkan kemungkinan nasakh (an-naskhu), perubahan i’rab (taghyîru al-i’râb), pengedepanan (at-taqdîm) dan pengakhiran (at-ta`khîr), at-tashrîf, dan sanggahan logis (al-mu’âradh al-‘aqliy). Dengan ungkapan lain, jika diarahkan nas kepada Anda maka Anda tidak akan memahami apa yang diinginkan dari lafal-lafal nas saja kecuali jika Anda hilangkan darinya lima hal itu. “Tentu saja juga lima hal sebelumnya”. Jika semua itu tidak dinafikan darinya maka Anda tidak mungkin memahami apa yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja kecuali menghimpunnya dengan hal-hal berkaitan berupa lima hal yang disebutkan.
Dengan ungkapan lain:
– Jika Anda menghadapi nas dan darinya dinafikan nasakh (an-naskhu) maka Anda dapat memahami apa yang diinginkan dari lafal-lafalnya saja. Adapun jika nasakh tidak dinafikan maka Anda tidak mungkin memahami apa yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja kecuali dengan menggabungkannya dengan yang menasakh (an-nâsikh).
– Jika Anda menghadapi nas yang darinya dinafikan pengedepanan dan pengakhiran maka Anda dapat memahami yang diinginkan dari lafal-lafalnya saja. Adapun jika pengedepanan dan pengakhiran tidak dinafikan, maka Anda tidak mungkin memahami yang diinginkan dari lafal-lafal nas tersebut saja kecuali dengan mengembalikan pengedepanan dan pengakhiran kepada aslinya.
– Jika Anda menghadapi nas dan darinya dinafikan perubahan i’rab maka Anda dapat memahami yang diinginkan dari lafal-lafalnya saja. Adapun jika tidak dinafikan maka Anda tidak mungkin memahami yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja. Adapun jika tidak dinafikan maka Anda tidak mungkin memahami yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja kecuali masalah i’rab itu diselesaikan.
– Jika Anda menghadapi nas dan darinya dinafikan perubahan at-tashrîf maka Anda dapat memahami yang diinginkan dari lafal-lafalnya saja. Adapun jika tidak dinafikan maka Anda tidak mungkin memahami yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja kecuali masalah at-tashrîf itu diselesaikan.
– Dan jika Anda menghadapi nas dan darinya dinafikan sanggahan logis maka Anda dapat memahami yang diinginkan dari lafal-lafalnya saja. Adapun jika itu tidak dinafikan maka Anda tidak mungkin memahami yang diinginkan dari lafal-lafal nas itu saja kecuali masalah sanggahan logis itu diselesaikan.
Kesimpulan ringkasan: apa yang dinyatakan di buku kami di bab “mâ yukhillu bi al-fahmi -apa yang mengacaukan pemahaman-“: “… dalil-dalil sam’iy tidak memberi faedah yakin kecuali setelah sepuluh syarat, yaitu lima ini dan dinafikannya nasakh, pengedepanan dan pengakhiran, perubahan i’rab, at-tashrîf dan sanggahan logis …” adalah pada tempatnya dari sisi memberi faedah yakin …. (27/02/2010 M)] selesai.
Saya berharap perkaranya telah menjadi jelas untuk Anda.
Dijawab Oleh : Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HTInfo