Soal :
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ada tiga pertanyaan yang saya mohon kesediaan Anda menjawabnya:
- Hukum lukisan tangan dan lukisan bentuk yang ada kehidupan di dalamnya, seperti manusia dan hewan dan menempatkan lukisan itu di rumah dan digantung di dinding?
- Apakah boleh mengambil gen dari babi, misalnya gen pertumbuhan dan meletakkannya di makanan yang halal semisal ketimun untuk merangsang pertumbuhan…?
- Hari-hari ini banyak pemanfaatan kata nisbah. Yakni jika Anda bulan ini menjual 120.000 dinar maka untuk Anda nisbah seperempat misalnya. Dan jika Anda tidak berhasil menjual maka Anda tidak mendapat apa-apa. Apakah kondisi ini boleh?
Semoga Allah memberkahi Anda dan menguatkan jalan Anda dan memberikan kemenangan melalui tangan Anda.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
- Berkaitan dengan lukisan tangan dan lukisan bentuk yang di dalamnya ada kehidupan…
- Lukisan orang dan hewan yang menyerupai fakta…
Terhadap ini berlaku pengharaman yang ada dalam dalil-dalil, baik apakah lukisan itu dengan pena tangan atau menggunakan mouse “komputer”. Selama lukisan itu menggunakan tenaga manusia yang meniru sesuatu yang memiliki ruh maka pengharaman tersebut berlaku atasnya. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari hadits Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا»
“Siapa yang melukis gambar maka Allah akan mengazabnya hingga dia meniupkan ruh pada gambar itu sementara ia tidak bisa meniupkan ruh selamanya.”
Imam al-Bukhari juga telah mengeluarkan dari jalur Ibn Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ»
“Sesungguhnya orang yang membuat gambar-gambar ini akan diazab pada Hari Kiamat kelak, dikatakan kepada mereka “hidupkan apa yang kalian ciptakan”.
- Adapun hukum menggunakan gambar dan menempatkannya di rumah dan menggantungnya, maka hal itu sebagai berikut:
a. Jika menempatkannya di tempat-tempat ibadah seperti sajadah shalat, tirai masjid, pengumuman dan seruan untuk masjid dan semacamnya… maka itu haram, tidak boleh. Diantara dalil hal itu:
Hadits Ibn Abbas bahwa Rasul saw tidak mau masuk ke Ka’bah hingga gambar yang ada di dalamnya dihapus. Penolakan Rasul saw masuk ke Ka’bah kecuali setelah gambar yang ada di dalamnya dihapus adalah indikasi atas meninggalkan secara jazim penempatan gambar di tempat-tempat ibadah. Maka itu menjadi dalil pengharaman gambar di masjid-masjid:
Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Ibn Abbas:
«أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ»
“Nabi saw ketika melihat gambar di al-Bait yakni al-Ka’bah, beliau tidak masuk dan memerintahkan gambar itu dihapus.”
b. Jika ditempatkan di selain tempat-tempat ibadah, maka dalil-dalil yang ada menjelaskan bahwa ini boleh:
- Disertai ketidaksukaan (karahah) yakni makruh jika diletakkan di tempat-tempat untuk penghormatan atau pengagungan seperti tirai rumah, sarana-sarana penjelasan di lembaga-lembaga tsaqafiyah atau pada baju yang dikenakan … atau di sekolah, kantor, pengumuman yang tidak ada hubungannya dengan ibadah, atau tergantung di dinding ruangan atau dikenakan untuk memperbagus tampilan dan semacam itu… maka semua itu adalah makruh.
- Mubah jika diletakkan di selain tempat-tempat ibadah dan bukan tempat-tempat yang dihormati, misalnya di lantai yang diinjak-injak, alas tidur yang ditiduri (untuk tidur di atasnya), tiang untuk bersandar, simbol-simbol di lantai (di bumi) yang diinjak-injak atau semacamnya… semua itu adalah mubah.
Diantara dalil-dalil hal itu adalah:
- Hadits Abu Thalhah dalam riwayat Muslim dengan lafazh: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
«لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكُةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ»
“Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar.”
Dan dalam riwayat dari jalur yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Beliau saw bersabda:
«إِلاَّ رَقْماً فِيْ ثَوْبٍ»
“Kecuali gambar (bordiran) yang ada di pakaian.”
Ini menunjukkan pengecualian gambar bordiran pada pakaian. Mafhumnya bahwa Malaikat masuk rumah yang di dalamnya ada raqmu (lukisan) pada pakaian yakni gambar yang digambar di pakaian itu.
Ini berarti bahwa gambar datar “lukisan/gambar (bordiran) pada pakaian” adalah boleh sebab malaikat masuk rumah yang di dalamnya ada gambar datar itu, akan tetapi hadits-hadits lain menjelaskan jenis kebolehan ini:
- Hadits Aisyah ra., yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, ia berkata:
«دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ»
“Nabi saw masuk ke rumah dan di dalam rumah ada qiram (kelambu) yang ada gambarnya maka raut muka beliau berubah kemudian beliau mengambil tirai itu dan menyobeknya.”
Al-qiram termasuk jenis pakaian. Dan al-qiram itu diletakkan sebagai tirai pintu rumah. Berubahnya raut muka Rasul saw dan beliau menanggalkan tirai itu berposisi sebagai tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki) meletakkan tirai pintu jika di tirai itu ada gambar. Jika ini digabungkan dengan kebolehan masuknya Malaikat ke rumah yang di situ ada gambar “lukisan/gambar pada pakaian” maka itu menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki) itu tidak jazim, yakni makruh. Dan karena tempat gambar ini di tirai yang di pasang di pintu, dan itu adalah tempat yang dihormati, maka meletakkan gambar di tempat yang dihormati adalah makruh.
- Hadits Abu Hurairah ra., yang dikeluarkan oleh Ahmad dari ucapan Jibril as kepada Rasul saw:
«وَمُرْ بِالسِّتْرِ يُقْطَعْ فَيُجْعَلَ مِنْهُ وِسَادَتَانِ تُوطَآَنِ»
“dan perintahkan tirai itu dipotong dan dijadikan dua bantal yang diduduki.”
Jadi Jibril memerintahkan Rasul saw menghilangkan tirai dari tempat yang dihormati, dan dibuat dua buah bantal tempat duduk.
Ini berarti bahwa penggunaan gambar yang dilukis oleh pihak lain di tempat-tempat tidak dihormati adalah mubah.
- Mengambil gen dari babi, dan memupuk tumbuhan dengannya untuk meningkatkan pertumbuhan, seperti menggunakannya dalam menumbuhkan ketimun, adalah tidak boleh. Hal itu karena dalil-dalil berikut:
- Babi adalah haram, dan babi itu adalah najis berdasarkan dalil-dalil berikut:
– Firman Allah SWT:
﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS al-Baqarah [2]: 173)
– Firman Allah SWT:
﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ… ﴾
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah … (TQS al-Maidah [5]: 3)
– Ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam al-Kabîr dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah saw lalu aku katakan: “ya Rasulullah, aku ada di wilayah ahli kitab dan mereka makan daging babi di bejana dan meminum khamar di dalamnya apakah aku (boleh) makan dan minum dengan bejana itu…? Kemudian Rasulullah saw bersabda:
:«…وَإِنْ وَجَدْتَ عَنْ آنِيَةِ الْكُفَّارِ غِنًى فَلَا تَأْكُلْ فِيهَا، وَإِنْ لَم تَجِدْ غِنًى فَارْحَضْهَا بِالْمَاءِ رَحْضًا شَدِيدًا ثُمَّ كُلْ فِيهَا»
“Jika kamu menemukan kecukupan dari bejana kaum kafir maka jangan makan di dalamnya, dan jika tidak kamu temukan kecukupan darinya maka bilas (cuci)lah dengan air baik-baik kemudian makanlah di dalamnya.”
Yakni jika kamu perlu bejana dan kamu tidak menemukan selainnya, maka cucilah baik-baik. Ini menunjukkan atas kenajisan khamr dan babi selama wadah itu perlu dicuci untuk menyucikannya. Dalam riwayat ad-Daraquthni, Rasul saw menyebutkan bahwa mencuci dengan air adalah menyucikan bejana itu. Dan itu adalah dilâlah (konotasi) yang gamblang atas kenajisan babi dan khamr. Berikut riwayat ad-Daraquthni: al-Husain bin Ismail telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Abdurrahim bin Sulaiman dari al-Hajjaj bin Arthah dari Makhul dari Abu Idris dari al-Khusyaniy, ia berkata: “aku katakan: ya Rasulullah aku bergaul dengan orang-orang musyrik dan kami tidak punya wadah atau bejana selain bejana mereka. Al-Khusyani berkata: “maka Rasul saw bersabda:
«اسْتَغْنُوا عَنْهَا مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورُهَا ثُمَّ اطْبُخُوا فِيهَا»
“Cukupkanlah darinya semampu kalian, dan jika kalian tidak mendapati (kecukupan dari bejana itu) maka cucilah dengan air, sebab air menyucikannya kemudian masaklah di situ.”
Ini adalah nash yang gamblang bahwa khamr dan babi termasuk najis. Rasul saw bersabda: “air itu menyucikannya.”
- Pemanfaatan najis adalah haram juga, dan di antara dalil-dalilnya:
– Al-Bukhari telah mengeluarkan dair Jabir bin Abdullah ra., bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Fathu Mekah dan beliau berada di Mekah:
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung. Dikatakan: “ya Rasulullah bagaimana pendapat Anda mengenai lemak bangkai, itu bisa untuk memvernis perahu, menyemir kulit dan digunakan oleh orang untuk penerangan.” Maka Rasulullah saw bersabda: “tidak, itu haram.” Kemudian Rasulullah saw bersabda pada yang demikian: “semoga Allah membinasakan Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan gajih bangkai lalu mereka mencairkannya kemudian mereka jual dan mereka makan harganya.”
– Imam Muslim telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, ia berkata: “telah sampai kepada Umar bahwa Samurah menjual khamr. Maka Umar berkata: “celaka Samurah, tidakkah dia tahu bahwa Rasulullah saw bersabda:
«لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ، حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ، فَجَمَلُوهَا، فَبَاعُوهَا»
“Allah melaknat Yahudi, diharamkan atas mereka gajih, lalu mereka mencairkannya dan mereka menjualnya.”
– Abu Dawud telah mengeluarkan dari Abu az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya; dan mengharamkan babi dan harganya.”
Dalil-dalil ini menjelaskan keharaman pemanfaatan najis. Oleh karena itu, tidak boleh mengambil gen dari babi dan digunakan untuk memupuk tanaman guna meningkatkan pertumbuhannya, seperti menggunakannya dalam menumbuhkan ketimun dan lainnya, maka itu tidak boleh karena keharaman pemanfaatan najis.
Tidak dikatakan bahwa ini seperti pengobatan yang boleh menggunakan najis disertai ketidaksukaan (kemakruhan). Karena apa yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalur Anas ra.:
«أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»
“Bahwa orang dari Urainah terkena sakit perut di Madinah lalu Rasulullah saw memberikan rukhshah agar mereka datang ke unta sedekah lalu mereka meminum air susunya dan air kencing unta itu …
Tidak dikatakan demikian sebab penumbuhan tanaman tidak masuk dalam cakupan kata obat (ad-dawâ’). Atas dasar itu maka tidak boleh menggunakan gen dari babi untuk menumbuhkan tanaman.
- Pertanyaan terakhir, tentang orang yang bekerja pada pedagang di tempat perdagangan, upahnya harus jelas. Boleh ditambahkan padanya nisbah dari penjualan, sehingga upahnya misalnya 100 sebulan ditambah 10% dari jumlah penjualannya pada bulan itu.
Adapun upahnya hanya berupa nisbah dari penjualannya, yakni jika dia berhasil menjual barang maka ia mendapat 10%, dan jika ia tidak menjual maka ia tidak mendapat apa-apa. Masalah ini ada beragam pendapat… Yang saya rajihkan dalam masalah ini adalah bahwa bekerja sebagai pegawai pada orang lain dengan menjual barang untuk orang lain itu di tempat dagang dan upahnya adalah nisbah dari barang yang dijualnya, yakni jika ia berhasil menjual ia mengambil nisbah dari barang yang dijual, dan jika ia tidak menjual ia tidak mengambil apa-apa, ini tidak boleh menurut pendapat yang lebih rajih menurut saya. Sebab ajir (pekerja) wajib jelas upah untuknya … dan mungkin ditambahkan untuknya nisbah dari penjualannya. Akan tetapi tidak boleh upah pekerja itu adalah nisbah apa yang ia jual. Maka jika ia menjual barang, ia mengambil upah “nisbah” dan jika ia tidak bisa menjual maka ia tidak mengambil apa-apa…
Hal itu karena dalil-dalil berikut:
Ibn Abi Syaibah telah mengeluarkan di dalam Mushannaf-nya dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id, keduanya berkata:
«مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ»
“Siapa yang mempekerjakan seorang pekerja maka hendaklah ia beritahukan upahnya.”
Al-Baihaqi telah mengeluarkan di dalam as-Sunan ash-Shaghîr dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«أَعْطِ الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ»
“Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
Atas dasar itu, maka seorang pekerja wajib jelas upah untuk pekerjaannya. Tidak sah ia melakukan pekerjaan pada orang lain tanpa upah. Ini yang lebih rajih menurut saya dalam masalah ini. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
18 Jumadul Awal 1435 H
19 Maret 2014 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_34429