Soal:
Dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (II/318) karya al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dinyatakan:
[فإنه لا يجوز أن يبيع دابة بسكنى دار سنة مثلاً، ولكن يصح أن يستأجر بستاناً بسكنى دار. لأن البيع هو مبادلة مال، فمبادلة المال بالمنفعة لا تعتبر بيعاً، بخلاف الإجارة فهي عقد على المنفعة بعوض، وهذا العوض لا ضرورة لأن يكون مالاً، بل قد يكون منفعة]
Tidak boleh menjual hewan tunggangan dengan hak guna rumah selama satu tahun, misalnya. Akan tetapi boleh menyewakan kebun dengan hak guna rumah. Sebab, jual-beli merupakan aktivitas pertukaran harta dengan harta, sementara pertukaran harta dengan jasa tidak bisa dianggap sebagai aktivitas jual-beli. Berbeda dengan akad ijarah (sewa/layanan jasa), karena akad ijarah ini merupakan akad untuk mendapatkan jasa dengan kompensasi tertentu. Kompensasi ini tidak harus berupa harta, tetapi boleh juga berupa jasa yang lain.
Sebaliknya, dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi (hlm. 280) karya al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dinyatakan:
…والإسلام حين قرر أحكام البيع والإجارة، لم يعين لمبادلة السلع، أو لمبادلة الجهود والمنافع، شيئاً معيناً تجري المبادلة على أساسه فرضاً، وإنما أطلق للإنسان أن يُجري المبادلة بأي شيء، ما دام التراضي موجوداً في هذه المبادلة. فيجوز أن يتزوج امرأة بتعليمها القرآن، ويجوز أن يشتري سلعة بالعمل عند صاحبها يوماً، ويجوز أن يشتغل عند شخص يوماً بمقدار معين من التمر…
Saat Islam menetapkan hukum-hukum jual-beli dan ijarah, Islam tidak menentukan pertukaran barang, atau tenaga dan jasa dengan benda tertentu, dimana pertukaran tersebut akhirnya harus dilakukan dengan benda itu. Namun, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan apa saja, selagi aspek suka sama suka ada dalam proses pertukaran ini. Karena itu, boleh saja menikahi seorang wanita dengan (imbalan maskawin) mengajarinya al-Quran. Boleh juga membeli barang dagangan tertentu dengan kerja pada pemiliknya selama sehari. Boleh juga bekerja pada seseorang selama sehari dengan kadar upah kurma tertentu.
Saya mempunyai dua pertanyaan. Pertama: di dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, dinyatakan bahwa menjual hewan tunggangan dengan hak guna rumah tidak boleh, dengan pertimbangan bahwa jual-beli adalah aktivitas pertukaran harta dengan harta yang lain, sedangkan konteks aktivitas ini adalah pertukaran harta dengan jasa (hak guna) rumah. Namun, boleh menyewa jasa, seperti menyewa kebun dengan jasa menempati rumah. Sebaliknya, dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi jual-beli seperti ini boleh sehingga dikatakan, “Boleh membeli barang dengan bekerja pada pemiliknya selama sehari.”
Sebagaimana yang tampak, sepertinya ada kontradiksi antara penjelasan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah dengan An-Nizham al-Iqtishadi. Lalu mana di antara keduanya yang benar? Boleh atau tidak menjual harta dengan jasa?
Kedua: jika memang tidak boleh, lalu bagaimana caranya menjual tanah kharajiyyah, padahal seperti yang diketahui menjual tanah tersebut sama dengan menjual hak gunanya, sebab tanahnya milik kaum Muslim, sementara pemiliknya hanya mempunyai hak gunanya saja? Kalau begitu, apakah bisa dikatakan bahwa pertukaran hak guna tanah kharajiyyah tersebut dengan harta bisa disebut jual-beli, dan dalam hal ini bisa diberlakukan hukum-hukum jual-beli?
Jawab:
Jawaban untuk pertanyaan pertama. Pertama: memang ada aktivitas yang disebut pertukaran (mubadalah), dan ada yang disebut jual-beli (bai’), juga ada yang disebut kontrak jasa (ijarah).
Kedua: istilah pertukaran (mubadalah) telah digunakan oleh Islam untuk barang, tenaga dan jasa, selama semuanya itu tidak diharamkan. Karena itu, boleh saja melakukan pertukaran sebuah atau dua buah mobil dengan sebuah rumah. Boleh melakukan pertukaran mobil dengan hak guna rumah selama beberapa bulan tertentu. Boleh juga melakukan pertukaran antara kerja harian atau bulanan Anda dengan sejumlah uang. Begitu juga boleh melakukan pertukaran antara kerja harian, bulanan atau tahunan Anda dengan sebuah rumah atau mobil. Dengan kata lain, boleh melakukan pertukaran tenaga dengan harta, barang atau jasa tertentu selama semuanya ini bukanlah barang, jasa atau tenaga yang diharamkan, dan selama dilakukan suka sama suka.
Ketiga: jual-beli merupakan salah satu bentuk pertukaran (naw’ min al-mubadalah), yaitu pertukaran harta dengan harta. Karena itu, apa saja yang termasuk dalam kategori pertukaran harta dengan harta, seperti antara uang dengan uang atau uang dengan barang, maka itu merupakan bagian dari jual beli, dan dalam hal ini berlaku hukum-hukum jual beli.
Keempat: akad ijarah adalah bentuk lain dari pertukaran (mubadalah), dan merupakan akad terhadap jasa dengan kompensasi. Kompensasinya bisa dalam bentuk harta dan jasa. Maka dari itu, Anda boleh bekerja sehari atau sebulan dengan kompensasi sejumlah uang atau barang, semisal gandum atau korma. Boleh juga Anda bekerja sehari atau sebulan dengan kompenasasi hak guna rumah selama sebulan, misalnya. Begitu seterusnya. Jadi, apa saja termasuk dalam kategori pertukaran jasa dengan barang atau harta merupakan akad ijarah, yang padanya berlaku hukum-hukum ijarah.
Kelima: jika kita memahami hal ini, maka kita juga bisa memahami apa yang dinyatakan dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi, dan kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, sebagai berikut:
1- Apa yang dipaparkan dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi ada di Bab Uang (Bab an-Naqd). Buku ini menjelaskan pertukaran secara umum dan kebolehan melakukan pertukaran barang dengan tenaga dan jasa hingga sampai pada satu kesimpulan, bahwa satuan alat tukar (uang) dalam Islam adalah emas dan perak.
2- Jadi pembahasan pada Bab Uang ini sebenarnya tentang pertukaran, dan itu benar adanya, karena pertukaran tersebut terjadi pada harta, barang dan tenaga.
3- Adapun apa yang dinyatakan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, Bab Ijarah, sebenarnya untuk membedakan ijarah dengan jual-beli (bai’). Bab ini membahas tentang bentuk pertukaran secara umum, antara dua pihak (harta) dengan (harta), dan itulah yang disebut jual-beli (bai’). Ia juga mempunyai hukum tersendiri. Bab ini juga membahas tentang bentuk pertukaran lain, antara dua pihak (jasa atau tenaga) dengan (harta), atau (jasa dan tenaga) dengan (jasa dan tenaga) lain, dan inilah yang disebut ijarah. Jadi, temanya sebenarnya tentang bentuk pertukaran; ada yang disebut jual-beli (bai’) dan ada yang disebut ijarah. Semua ini dalam pembahasan Bab Ijarah.
4- Dengan demikian, apa yang dinyatakan dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi dan kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, masing-masing benar dalam konteksnya.
5- Namun, ada titik ambigu pada contoh yang digunakan dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi ketika membahas pertukaran, dengan menggunakan kata membeli (syira’), yang redaksinya, “Boleh membeli barang dengan bekerja pada pemiliknya selama sehari.” Maksud dari redaksi tersebut adalah, “Boleh melakukan pertukaran barang dengan bekerja pada pemiliknya selama sehari.” Sebab, pembahasannya tentang pertukaran. Seandainya redaksinya dinyatakan demikian, tentu titik ambigu tersebut tidak ada. Sebab, bentuk pertukaran ini, menurut kami, termasuk dalam Bab Ijarah,dan padanya berlaku hukum-hukum ijarah, bukan hukum-hukum jual beli. Upah orang ini, yang bekerja selama sehari, adalah barang tersebut. Terhadap konteks ini tidak bisa diberlakukan hukum-hukum jual-beli.
Selain itu, kata bai’ secara harfiah biasanya digunakan dengan konotasi pertukaran (tabadul), sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (II/284) pada bagian awal pembahasan jual-beli, “Kata bai’ (jual) secara harfiah digunakan dengan konotasi pertukaran, lawan dari kata syira’ (beli).” Namun, secara syar’i, jual-beli ini merupakan salah satu bentuk pertukaran, yaitu pertukaran harta dengan harta lain. Begitu juga redaksi yang dinyatakan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, setelah redaksi sebelumnya, “Jual-beli menurut syariah adalah pertukaran harta dengan harta lain, baik untuk memindahkan hak milik (kepada orang lain) maupun mendapatkan kepemilikan dengan cara sukarela.”
Karena itu, untuk menghilangkan titik ambigu tersebut, kami akan mengoreksi kalimat ini sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Sebagai revisi dari redaksi, “Boleh membeli barang dengan bekerja pada pemiliknya selama sehari,” kami akan menyatakan sebagai berikut, “Boleh melakukan pertukaran barang dengan bekerja kepada pemiliknya selama sehari.”
Alasannya, karena yang paling benar dalam pandangan kami adalah, bahwa jual-beli menurut syariah adalah pertukaran harta dengan harta lain, sebagaimana yang dinyatakan dalam definisi jual-beli dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (II/284) yang telah kami sebutkan di atas.
Sekadar untuk diketahui, bahwa di antara para fuqaha’ memang ada yang memasukkan dalam konteks jual-beli, yaitu pertukaran jasa, tenaga dan barang dengan syarat tertentu; bukan hanya pertukaran harta dengan harta lain. Namun, yang paling kuat, dalam pandangan kami, adalah seperti yang telah kami sebutkan.
Jawaban untuk pertanyaan kedua. Definisi ijarah adalah akad terhadap jasa dengan kompensasi. Jasa yang dimaksud di sini adalah jasa yang bersifat temporer. Artinya, ketika jasa tersebut dipenuhi dengan syarat dan mekanisme tertentu, berarti pada batas tertentu jasa tersebut bersifat temporer. Sebagai contoh, menyewa rumah tempat tinggal selama setahun, berarti penyewanya akan mendapatkan jasa secara temporer, yaitu selama jangka waktu yang ditentukan tadi.
Mengenai hak guna tanah kharajiyyah, sekalipun kepemilikannya menjadi hak kaum Muslim, hak gunanya dimiliki oleh pemiliknya secara permanen. Karena itu, boleh dijual dan padanya berlaku hukum-hukum jual-beli. Dalilnya adalah Ijmak Sahabat—ridhwanuLlah ‘alayhim—terhadap hukum yang diambil dari tindakan Umar terhadap tanah kharajiyyah tersebut. Dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (II/244) baris ke-9 dinyatakan sebagai berikut, “Hanya saja yang diwariskan dari tanah kharajiyyah adalah hak gunanya yang bersifat permanen, bukan kepemilikannya. Sebab, tanah tersebut milik seluruh kaum Muslim. Hak gunanya telah menetapkan para pemiliknya untuk memiliki hak gunanya secara permanen hingga Hari Kiamat. Hak guna tersebut bisa dimiliki dan diwariskan. Pemilik hak guna tersebut boleh memanfaatkannya dengan berbagai cara, baik dijual, digadaikan, dihibahkan, diwasiatkan maupun yang lain cara-cara pemanfaatan yang lain.”
Pada kitab yang sama, halaman 245 baris ke-15dan seterusnya dinyatakan sebagai berikut, “Siapa saja yang mempunyai hak guna tanah, dia berhak menjual hak guna ini, dan mendapatkan harganya. Sebab, hak guna tersebut boleh dijual dan harganya boleh dimiliki.”
Semua ini tentang hak guna permanen, yang pembahasannya tentang hak guna tanah kharajiyyah.
Kesimpulan
• Pertukaran hukumnya mubah, baik dilakukan terhadap harta, barang, tenaga dan jasa selama semuanya itu hukumnya mubah, dan ada aspek suka sama suka.
• Pertukaran meliputi jual-beli dan ijarah. Jika pertukaran tersebut terjadi antara harta dengan harta lain, maka disebut jual-beli. Jika pertukaran tersebut terjadi antara harta dan jasa atau tenaga orang lain, maka disebut ijarah.
• Adapun pertukaran hak guna yang bersifat permanen (bukan temporer) diberlakukan hukum jual-beli, sebagaimana dalam kasus tanah kharajiyyah. Wallahu a’lam.
Sumber:
Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir tanggal 2 Muharram 1432 H/8 Desember 2010 M.
http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3255/].