Tafsir QS Al-Falaq [113] Ayat : 1-5
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh; dari kejahatan makhluk-Nya; dari kejahatan malam jika telah gelap gulita; dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup buhul-buhul; dan dari kejahatan pendengki jika ia mendengki.” (QS al-Falaq [113]: 1-5)
Dalam mushaf al-Quran, surat ini berada pada urutan ke 113. Surat ini dinamakan al-Falaq karena dibuka dengan kata tersebut. Sebagaimana surat an-Nas, terdapat ikhtilaf apakah surat ini terkategori Makiyah atau Madaniyah. Menurut al-Hasan, Ikrimah, Atha’ dan Jabir surat ini tergolong Makkiyah.1 Ibnu Katsir berpendapat bahwa surat ini termasuk Madaniyah.2
Bersama dengan surat an-Nas, ayat ini disebut dengan al-mu’awwidzatayn. Keutamaan keduanya sering disebut secara bersamaan (HR an-Nasa’i, dari Ibnu ‘Aisy al-Juhni; at-Tirmidzi, dari Uqbah bin Amir).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq (Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh). Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. beserta umatnya untuk memohon perlindungan kepada Rabb al-falaq. Secara bahasa, kata al-‘awdz berarti al-iltijâ’ ilâ al-ghayr wa al-ta’alluqu bihi (bersandar, berlindung dan bergantung kepada yang lain).3
Terdapat perbedaan pendapat mengenai makna al-falaq. Menurut Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Abi Zaid, sebagaimana disitir oleh al-Qurthubi, kata al-falaq berarti ash-shubh (waktu subuh).4 Ibnu Abbas dalam satu riwayat juga berpendapat demikian.5 Fakhruddin ar-Razi dan al-Baghawi menyatakan bahwa ini merupakan pendapat kebanyakan para mufassir.6
Selain waktu subuh, kata al-falaq dalam ayat ini juga ditafsirkan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan neraka. Ibnu Abbas dalam suatu riwayat menafsirkannya sebagai as-sijn (penjara) dalam neraka. Adapun as-Sudi menafsirkannya sebagai al-jubb (sumur yang dalam) di neraka.7 Kata al-falaq juga ditafsirkan sebagai al-bâb (pintu) di neraka.
Ada juga yang menafsirkan kata al-falaq dengan mengembalikannya pada asal-muasal kata, bahwa makna al-falaq berarti asy-syaqq (terbelah). Oleh karena itu, kullu mâ infalaqa (semua yang terbelah) dari sesuatu, baik dari hewan, pagi, butir tumbuhan, biji buah maupun air adalah falaq. Allah SWT berfirman: Fâliq al-ishbâh (Dia menyingsingkan pagi, QS al-An’am [6]: 96); juga firman-Nya: Fâliq al-habb wa al-nawâ (Dia menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, QS al-An’am [6]: 96). Demikian juga al-Qurthubi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi, al-Baidhawi dan az-Zuhaili.8
Menyikapi perbedaan pendapat itu, penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari patut disimak. Menurutnya, pengertian yang benar mengenai ayat ini: Allah SWT telah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan ‘Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq’. Kata al-falaq menurut bahasa Arab adalah falaq al-subh. Meskipun begitu, bisa saja di Neraka Jahannam ada penjara yang bernama al-falaq. Jika demikian halnya—karena Allah SWT sendiri tidak memberikan petunjuk bahwa pengertian bi Rabb al-falaq itu hanya mencakup sebagian makna dan tidak mencakup sebagian lainnya, sedangkan Allah SWT adalah Tuhan segala sesuatu—maka pengertian al-falaq di sini meliputi segala sesuatu yang tercakup dalam makna al-falaq. Sebab, Allah SWT adalah Tuhan dari segala sesuatu itu.9
Kepada Rabb al-falaq itulah manusia diperintahkan untuk berlindung dari segala keburukan dan kejahatan yang dapat menimpa mereka. Keburukan dan kejahatan yang dimintakan untuk mendapat perlindungan-Nya disebutkan dalam ayat berikutnya: min syarr mâ khalaqa (dari kejahatan makhluk-Nya). Keburukan dan kejahatan yang dimaksud ayat ini meliputi semua kejahatan dari segala sesuatu. Sebab, segala sesuatu selain Allah SWT termasuk dalam cakupan mâ khalaqa, yang diciptakan-Nya.10
Kemudian Allah SWT berfirman: wamin syarr ghâsiq idzâ waqaba (dari kejahatan malam jika telah gelap gulita). Menurut az-Zujjaj, secara bahasa kata al-ghâsiq berarti al-bârid (dingin). Al-Layl atau malam disebut sebagai ghâsiq karena lebih dingin daripada siang. Adapun al-wuqûb berarti ad-dukhûl (masuk). Dengan demikian, al-ghâsiq idzâ waqaba berarti al-layl idzâ dakhala (malam jika telah masuk).11 Mujahid memaknai kata ghâsiq sebagai al-layl dan idzâ waqaba sebagai ghurûb asy-syams (terbenamnya matahari). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu Abbas, Muhammad bin Kaab, adh-Dhahhak, Khushaif dan al-Hasan. Qatadah juga memaknainya sebagai malam ketika menjelang gelap.
Penafsiran lain diberikan Abu Hurairah. Menurutnya, frasa tersebut bermakna kawkab (bintang). Ada pula yang menafsirkannya sebagai bulan ketika terbenam atau gerhana. Aisyah berkata bahwa Nabi saw. memegang tangannya sambil memandang bulan seraya bersabda, “Wahai Aisyah, mintalah perlindungan kepada Allah dari keburukan ini. Sebab, ini adalah al-ghâsiq idzâ waqaba” (HR al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Menurut al-Tirmidzi; hadis ini hasan shahîh).12
Menurut Ibnu Katsir, kalangan ulama yang memilih pendapat pertama—berarti malam jika telah gelap—tidak bertentangan dengan penafsiran mereka. Sebab, bulan merupakan tanda malam; demikian pula bintang; tidak bersinar kecuali pada malam hari.13
Kemudian Allah SWT berfirman: wamin syarri an-naffâtsât fî al-‘uqad (dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup buhul-buhul). Kata an-nafts berarti an-nafkh ma’a rîq (tiupan disertai dengan air ludah). Ada juga yang berpendapat an-nafkh (tiupan) saja, tanpa disertai dengan ludah. Adapun al-‘uqad merupakan jamak dari al-‘aqd (buhul, ikatan). Hal itu disebabkan karena tukang sihir, jika membaca mantera, ia mengambil benang lalu diikat menjadi buhul dan meniup-niupnya.14
Pengertian itu pula yang disampaikan oleh para mufassir. Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah dan adh-Dhahhak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah as-sawâhir (para penyihir). Mujahid mengatakan: yakni ketika mereka membaca mantera dan meniup buhul-buhul.15
Ayat diakhiri dengan firman-Nya: wamin syarr hâsid idzâ hasada (dan dari kejahatan pendengki jika ia dengki). Dijelaskan oleh ar-Raghib, pengertian al-hasad adalah berharap lenyapnya kenikmatan dari orang yang berhak; kadang-kadang disertai dengan upaya untuk menghilangkannya. Pengertian serupa juga disampaikan oleh Ibnu Manzhur dan Fakhruddin ar-Razi.16
Dijelaskan az-Zamakhsyari bahwa kata idzâ hasada (jika ia dengki) memberikan pegertian idzâ zhahara hasaduhu wa ‘amila bi muqtadhâhu (jika dengkinya tampak dan mengerjakan yang diperlukan), berupa tindakan zalim menimbulkan bencana bagi orang yang didengki. Sebab, jika tidak tampak pengaruh dari kedengkian yang disembunyikan, maka tidak menimbulkan bahaya bagi orang yang didengki; tetapi menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri karena perasaan sedih akibat kebahagiaan orang yang didengki. Bisa juga yang dimaksud dengan syarr al-hâsid: dosa dan celaan terhadapnya ketika dengki dan menampakkan pengaruhnya.17
Kejahatan yang Tersembunyi
Di dalam surat ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: banyaknya keburukan dan kejahatan yang dapat menimpa manusia. Penyebutan min syarr mâ khalaqa menunjukkan kesimpulan demikian. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, kata mâ dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua kejahatan yang ada.18 Itu berarti, keburukan bisa datang dari semua makhluk-Nya. Bisa dari manusia yang memiliki nalar untuk merancang dan membuat aneka kejahatan; juga dari semua binatang, yang jinak hingga yang buas; bisa pula dari benda-benda mati, seperti angin badai, kobaran api, banjir bandang, gunung meletus, dan lain-lain. Semuanya bisa mendatangkan bencana dan bahaya bagi manusia. Sedemikian banyaknya keburukan dan kejahatan itu sehingga manusia memerlukan pertolongan untuk melindunginya.
Kedua: mewaspadai keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Dalam surat ini, selain kejahatan semua makhluk-Nya, secara khusus disebutkan berbagai kejahatan yang tersembunyi. Dipaparkan al-Biqa’ bahwa al-athf dalam ayat ketiga dan seterusnya merupakan athf al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan perkara khusus kepada perkara umum). Penyebutan itu menunjukkan bahwa al-khâsh (perkara khusus) itu memiliki kelebihan ketetapan dibandingkan dengan perkara-perkara lain dalam al-‘âmm. Keburukan sesuatu yang gelap merupakan pangkal semua kerusakan.19 Menurut az-Zamakhsyari, tiga syarr yang disebutkan dalam surat ini, yakni al-ghâsiq, al-naffâtsât dan al-hâsid disebutkan secara khusus karena sifatnya yang tersembunyi.20
Ketika malam gelap, penglihatan manusia menjadi terbatas. Akibatnya, banyak bahaya yang mengancam manusia tanpa dia ketahui. Karena gelap, terlebih banyak orang terlelap, para pelaku kejahatan, seperti pencuri, perampok, pembunuh atau pemerkosa lebih memilih menjalankan aksinya di malam hari. Makhluk gaib biasanya keluar di malam hari untuk menggoda dan menakut-nakuti manusia. Juga karena gelap, berbagai bencana yang datang di malam lebih sulit dihindari. Tak aneh jika benar-benar manusia membutuhkan perlindungan dari semua kejahatan saat malam gelap.
Seperti gelapnya malam, kejahatan sihir juga tersembunyi. Tidak sedikit yang menganggap-nya sebagi misteri. Hanya sebagian kecil orang yang mengetahui seluk-beluk kejahatan sihir. Sihir memang tidak dapat mengubah tabiat sesuatu atau menciptakan hakikat baru dari sesuatu itu (lihat QS al-A’raf [7]: 116, Thaha [20]: 65-69). Akan tetapi, sihir dapat menumbuhkan khayalan pada indera dan perasaan dengan sesuatu yang diinginkan oleh tukang sihir, termasuk perasaan yang menakutkan dan menyakiti orang yang disihir. Ini jelas dapat mendatangkan bahaya bagi manusia. Karena itu, manusia membutuhkan perlindungan dari kejahatan para tukang sihir.
Demikian pula dengan kejahatan pendengki. Rasa dengki memang berawal dari perasaan hati. Namun, ia akan berubah menjadi bahaya ketika dengki itu lahir dalam bentuk tindakan, termasuk upaya yang dilakukan secara rapi, tersembunyi dan tak terduga-duga. Karena itu, manusia benar-benar membutuhkan perlindungan dari kejahatan para pendengki tatkala merealisasikan kedengkiannya.
Ketiga: pengakuan atas kelemahan manusia sekaligus pengakuan atas kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Perintah untuk berlindung kepada Allah SWT jelas menunjukkan demikian. Terhadap berbagai keburukan dan kejahatan yang tak terhitung jumlahnya, dipastikan manusia tidak mampu mengatasinya sendiri. Apalagi terhadap keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Maka dari itu, manusia membutuhkan pertolongan Allah SWT. Sebab, Dialah satu-satunya Zat Yang dapat memberikan perlindungan kepada manusia. Jika dicermati, hal ini juga diisyaratkan oleh surat ini.
Di antara keburukan yang dimintakan perlindungan kepada Allah SWT adalah keburukan malam gelap-gulita. Karena keburukan dan kejahatan itu disebabkan oleh kegelapan, maka solusinya adalah terbitnya cahaya. Datangnya pagi hari dan terbitnya matahari merupakan solusi atas keburukan malam yang gelap. Tidak ada yang bisa mendatangkannya kecuali Allah SWT karena Dia adalah Rabb al-falaq.
Dikaitkannya permohonan perlindungan dari semua kejahatan dengan sifat Rububiyyah itu kian mengukuhkan kesimpulan itu. Sebab, sebagaimana dijelaskan al-Biqa’, permohonan perlindungan dari kejahatan merupakan tarbiyah yang paling agung.21
Keempat: tercelanya perbuatan sihir dan hasud. Permohonan kepada Allah agar terlindungi dari kejahatan dua perbuatan itu bukan hanya dalam posisi sebagai obyek atau korban, namun juga sebagai pelaku. Tidak ada pertentangan mengenai haramnya sihir. Bahkan perbuatan itu termasuk tujuh dosa besar (al-mubiqât). Haramnya hasud juga bukan perkara ikhtilaf.
Rasulullah saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
Jauhilah dengki karena sesungguhnya dengki itu membakar kebaikan seperti halnya api memakan kayu bakar (HR Abu Dawud).
Memang di dalam hadis sahih disebutkan ada dua perkara kebaikan yang kaum Muslim dibolehkan hasud. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan Imam al-Nawawi, pengertian hasud dalam hadis itu bermakna majâzi, yakni menginginkan kebaikan serupa tanpa diiringi keinginan lenyapnya kenikmatan dari orang lain. Dalam bahasa Arab, sikap ini disebut dengan al-ghibthah.
Akhir kata, sebagai makhluk yang lemah kita memerlukan perlindungan Allah SWT dari semua keburukan, terlebih keburukan yang tersembunyi. Surat ini telah diturunkan-Nya bagi kita untuk meminta perlindungan kepada-Nya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 251; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fkr, 1993), 532; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 518.
2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Thayibah, 1997), 530.
3 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 352.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 254.
5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 535.
67 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 190; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 595. Az-Zamakhsyari juga menafsirkan al-falaq sebagai waktu subuh. Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyad: Dar al-‘Abikan, 1998), 463.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol 24 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 2000), 604.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 254; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 191; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 358.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol 24, 791-792; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 473.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol 24, 792. Lihat juga: al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22, 408
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 193.
13 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
14 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 194; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 473.
16 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 537.
17 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 118; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. (Beirut: Dar Shadir, tt), 148; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 195.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 466
19 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 532.
20 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 409
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 466
22 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 407. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 5, 358.