لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
Andai manusia diberi sesuai tuntutan mereka, niscaya orang menuntut harta dan darah suatu kaum. Akan tetapi, menghadirkan bukti itu menjadi kewajiban penuntut, sementara sumpah bagi yang mengingkari (HR al-Baihaqi).
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Ibnu Abbas. Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi lain:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ وَلَكِنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Andai orang diberi menurut tuntutan mereka, niscaya manusia menuntut darah dan harta orang-orang. Akan tetapi, sumpah bagi orang yang dituntut (HR Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Abdullah ibn Abi Mulaikah menuturkan hadis dari Ibn Abbas ra:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Sesungguhnya Rasulullah saw. telah memutuskan bahwa sumpah itu bagi orang yang dituntut (HR at-Tirmidzi).
At-Tirmidzi mengatakan, “Ini adalah hadis hasan shahih. Pengamalan berdasarkan hadis ini menurut ahlul ‘ilmi dari para Sahabat Nabi saw. dan selain mereka adalah bahwa:
الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Bukti itu menjadi kewajiban orang yang menuntut, sementara sumpah bagi orang yang dituntut.
Hadis di atas memberikan beberapa pelajaran. Pertama: Orang yang menuntut (al-mudda’i) wajib menghadirkan bukti. Orang yang dituntut (al-mudda’â ‘alayhi), untuk mengingkari tuntutan terhadap dirinya, harus bersumpah.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, “Hadis ini merupakan kaidah besar di antara kaidah-kaidah hukum syariah. Ini karena ucapan orang atas klaim tuntutannya tidak diterima hanya karena klaim tuntutannya itu. Namun, perlu bukti atau pembenaran dari orang yang dituntut.”
Kedua: Hadis ini menunjukkan, orang yang menuntut itu lemah sebab ia menyatakan sesuatu yang menyalahi lahiriahnya, Karena itu ia dibebani untuk menghadirkan argumentasi yang kuat berupa bukti. Sebab, ia tidak bisa mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri dan tidak menolak madarat dari dirinya. Dengan bukti itu kelemahan orang yang menuntut itu bisa menjadi kuat. Sebaliknya, orang yang dituntut itu kuat sebab hukum asalnya adalah orang itu kosong dari tanggungan sehingga ia cukup dengan menyatakan sumpah. Sumpah itu adalah hujjah yang lemah sebab orang yang bersumpah itu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri dan menolak madarat dari dirinya (Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Fath al-Bârî, v/283).
Ketiga: Hadis ini menegaskan kaidah al-ashlu bara’atu ad-dzimmah (hukum asalnya adalah orang itu tidak bersalah). Artinya, seseorang itu hukum asalnya tidak bersalah sampai dia terbukti bersalah di depan pengadilan melalui keputusan qadhi.
Keempat: Yang harus dihadirkan oleh al-mudda’i (orang yang menuntut) adalah al-bayyinah. Al-Bayyinah adalah bukti-bukti dan hujjah orang yang menuntut, yang dengan itu ia membuktikan tuntutannya adalah benar. Itu adalah burhan untuk membuktikan tuntutan. Al-Bayyinah itu harus meyakinkan; tidak menyisakan keraguan, syubhat, kesamaran atau ambiguitas. Sebab, disebut bayyinah karena kejelasannya yang tidak menyisakan kesamaran.
Secara syar’i yang termasuk bukti adalah kesaksian (syahâdah), sumpah (al-yamîn), pengakuan (al-iqrâr) dan dokumen tertulis (al-watsîqah). Hanya empat macam itulah yang dinyatakan oleh dalil syariah sebagai bukti. Selain itu, baik berupa keterangan ahli, bekas-bekas TKP, hasil olah TKP, hasil uji lab, pemberitahuan, dsb, secara syar’i tidak bisa menjadi bayyinah. Akan tetapi, semuanya bisa digunakan sebagai indikasi atau temuan untuk menyingkap perkara dan mengarahkan sehingga bisa terungkap bukti syar’i itu (lihat detail tentang hukum pembuktian, misalnya, dalam Ahkâm al-Bayyinât oleh Syaikh Ahmad ad-Da’ur).
Al-Bayyinah itu harus meyakinkan. Dalam hal kesaksian, keyakinan itu harus terpenuhi pada diri orang yang bersaksi. Seseorang tidak boleh bersaksi kecuali berdasarkan keyakinan dan tidak boleh berdasarkan dugaan (zhann) atau disertai dugaan. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda kepada saksi:
إِذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلا فَدَعْ
Jika engkau mengetahui seperti (terangnya) matahari maka bersaksilah dan jika tidak maka tinggalkan (HR al-Baihaqi dan al-Hakim).
Kelima: Hadis di atas secara tersirat menyatakan bahwa orang hanya bisa dinyatakan bersalah atau dihukum berdasarkan al-bayyinah. Jika masih ada syubhat atau al-bayyinah itu tidak terpenuhi—meski sudah ada dugaan kuat, tetapi tidak sampai meyakinkan—maka tidak boleh seseorang diputuskan bersalah atau dihukum. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Ibn Abbas menuturkan, Rasul saw. bersabda:
لَوْ كُنْتُ رَاجِمًا أَحَدًا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ لَرَجَمْتُ فُلانَةَ
Andai aku (boleh) merajam seseorang tanpa bayyinah, niscaya aku merajam Fulanah (HR Muslim, Ibn Majah).
Dalam riwayat Ibnu Majah itu terdapat kelanjutan hadis tersebut yaitu, “Sungguh tampak keraguan dalam ucapannya; penampakannya (bahasa tubuhnya) dan orang yang masuk terhadapnya.”
Dalam riwayat al-Bukhari, saat menjelaskan si Fulanah itu, Ibnu Abbas menyatakan, “Tilka imra’atun kânat tuzhhiru fî al-Islâm as-sû` (Itu adalah perempuan yang menampakkan keburukan di dalam Islam).”
An-Nawawi menjelaskan, maksudnya adalah bahwa telah terkenal keburukan itu darinya dan tersebar luas, tetapi tidak tegak al-bayyinah atas perempuan itu dan dia juga tidak mengaku.
Keenam: Hikmah dari ketentuan di atas, seperti dijelaskan oleh Nabi saw., adalah bahwa andai orang itu diberi sesuai tuntutan (klaim)-nya, niscaya orang akan mudah menuntut darah dan harta orang lain dan akhirnya darah dan harta siapapun akan begitu mudah dilanggar dan direbut.
Dengan ketentuan ini darah, kehormatan dan harta seseorang akan terlindungi kecuali dengan ketentuan yang haq. Dengan begitu setiap orang akan merasa tenteram atas darah, harta dan kehormatannya serta tidak merasa terancam. Eksistensi masyarakat pun akan bisa dijaga kelangsungannya.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]