«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar. (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Sanad Hadis
Abu Dawud meriwayatkan hadis ini dari Musaddad bin Musarhad. Ibn Majah dan ad-Darimi meriwayatkannya dari Nashr bin Ali al-Jahdhami. Ibn Hibban meriwayatkannya dari Muhammad bin Ishhaq ats-Tsaqafi, dari Abdul A‘la bin Hamad. Al-Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Ashbahani, dari Abu Said Ahmad bin Muhammad bin Ziyad al-Bashri, dari Abu Ya‘la as-Siyaji. Imam Ahmad meriwayatkannya dari Muhammad bin Yazid, dari Ashim bin Raja’ bin Haywah. At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Mahmud bin Khidasy al-Baghdadi, dari Muhammad bin Yazid al-Wasithi. Semuanya berasal dari penuturan Abdullah bin Dawud, dari Ashim bin Raja’ bin Haywah, dari Dawud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, yang bersumber dari Abu Darda’.
Makna Hadis
Man salaka tharîqan yathlubu fîhi ’ilm[an] salakallâh bihi tharîq[an] min thuruq al-Jannah. Kata tharîq[an] dan ‘ilm[an] dinyatakan dalam bentuk nakîrah (indefinitif). Hal itu untuk mencakup semua jenis jalan yang bisa mengantarkan pada diraihnya ilmu-ilmu agama, juga untuk mencakup gradualisasi dalam hal itu, baik sedikit maupun banyak. Frasa salakallâh bihi maksudnya adalah sahhalallâh lahu (Allah memudahkan untuknya). Artinya, Allah akan memudahkan untuknya jalan ke surga. Hal itu bisa terjadi di akhirat atau di dunia saat Allah memberinya taufik untuk melakukan amal-amal salih yang nantinya bisa mengantarkannya ke surga. Ini merupakan basyarah, bahwa orang yang menuntut ilmu agama akan dimudahkan untuk menguasainya. Frasa ini merupakan dorongan untuk menuntut ilmu-ilmu agama.
Inna al-Malâikah…li thâlib al-‘ilm, artinya para malaikat menaungi penuntut ilmu dengan sayapnya. Hal itu karena para malaikat ridha dan menyukai apa yang diperbuat penuntut ilmu itu.
Wa inna al-‘âlim layastaghfiru lahu … fî al-mâ’. Al-Khathabi menjelaskan, bahwa Allah mengilhamkan kepada ikan dan hewan-hewan agar memohonkan ampunan untuk ulama. Ini merupakan majaz untuk memuji baiknya aktivitas ulama dan kelemahlembutan mereka.
Inna fadhla al-‘âlim (keutamaan seorang alim), yaitu orang yang sibuk menyebarkan ilmu serta melaksanakan amal ibadah yang dharûrî saja, yakni yang wajib dan sunnah muakad. ‘Alâ al-‘âbid (atas seorang ahli ibadah), yaitu orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menunaikan amalan sunnah, dan ia hanya menuntut ilmu yang dharûrî atau pokok saja.
Kafadhli al-qamar laylah al-badri ‘alâ sâ’ir al-kawâkib (seperti kelebihan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang). Diumpamakan demikian karena kesempurnaan, cahaya dan manfaat ibadah seorang ahli ibadah hanya terbatas untuk dirinya sendiri. Hal itu seperti bintang-bintang yang bersinar tetapi sinarnya tidak menerangi bumi. Sebaliknya, kesempurnaan, cahaya dan manfaat ilmu ilmu seorang alim, selain untuk dirinya sendiri, juga sampai kepada orang lain yang ada di sekitarnya bahkan yang sangat jauh darinya. Hal itu seperti bulan yang bersinar dan sinarnya menerangi seantero bumi. Ini juga mengisyaratkan, bahwa kesempurnaan, cahaya dan manfaat ilmu itu bukan ilmu yang datang dari diri ulama itu sendiri, melainkan ilmu yang ia ambil dari ilmu yang diwariskan Nabi saw.; ibarat bulan yang mendapatkan sinar untuk menerangi bumi itu dari matahari.
Wa inna al-ulamâ’ waratsah al-anbiyâ’. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, bahwa orang yang mewarisi menempati kedudukan yang diwarisi berserta hukum pada posisi yang ia gantikan. Artinya, ulama menggantikan peran dan tugas para nabi, yakni mengemban misi penyampaian dan penyebaran risalah Islam.
Wa inna al-anbiyâ’ lam yuwarritsû dînâr[an] wa la dirhâm[an]. Dinar dan dirham (kekayaan) merupakan bentuk warisan pada umumnya. Namun, para nabi tidak mewariskan itu. Hal itu menunjukkan bahwa para nabi tidak mangambil dunia kecuali dalam kadar kebutuhan dharûriyah mereka sehingga mereka tidak mewariskan sesuatu pun dari dunia itu. Ini juga mengisyaratkan bahwa ulama pewaris para nabi itu tidak mengedepankan dunia sebagaimana juga para nabi yang mereka warisi.
Warratsû al-‘ilma, artinya yang diwariskan para nabi tidak lain adalah ilmu, yakni untuk menampakkan Islam dan menyebarkan hukum-hukumnya. Abu Hatim berkata, “Tidakkah Anda memperhatikan Beliau bersabda: Ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan kecuali ilmu. Ilmu Nabi saw. adalah sunnahnya. Karena itu, siapa saja yang menanggalkan sunnah Nabi saw., ia bukan pewaris para nabi.”
Fa man akhadzahu akhadza bi hazhzhin wâfirin. Ba’ di sini adalah tambahan untuk menyatakan penekanan (li ta’kîd). Artinya, siapa saja yang mengambil ilmu warisan nabi, ia mengambil bagian besar atau secara sempurna; maksudnya mengambil dan mempraktikkan bagian besar dari warisan nabi. Boleh juga akhadza di sini bermakna perintah. Artinya, siapa saja yang ingin mengambil ilmu warisan nabi, hendaknya tidak tanggung-tanggung dan mengambil bagian besarnya atau secara sempurna.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
One comment
Pingback: Teladan Takwa Imam Ja'far Ash-Shadiq - Visi Muslim Media