Soal:
Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.
Di awal saya ingin berterima kasih dan memuji Anda atas upaya Anda yang penuh berkah. Dan saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar mendukung Anda dengan pertolongan-Nya dan menyiapkan untuk dakwah ini para penolong seperti Sa’ad bin Mu’adz, dan kami memohon kepada Allah agar dengan itu Allah mengatasi kesulitan ummat dan mengembalikan kondisi ummat kepada kondisi era sebelumnya.
Saya punya dua pertanyaan penting, dan saya berharap jawabannya serinci mungkin, perlu dicatat bahwa jawab soal yang telah dilansir selalu rinci, tetapi saya ingin sejumlah dalil disertai penjelasan rinci sehingga pemahaman untuk masalah ini komprehensif. Pertanyaan saya adalah:
Pertama, kenapa tidak boleh cenderung kepada orang zalim (atau seseorang yang punya kekuasaan, pengaruh dan potensi-potensi yang bermanfaat, baik dia munafik atau fasik atau bahkan kafir) meminta harta darinya atau pertolongan sehingga seorang muslim dapat berjihad melawan agressor atau supaya untuk menolong agama?
Kedua, jika di suatu negara dan mayoritas warganya adalah muslim, dan di situ ada pemilu presiden, sementara para calon semuanya tidak ingin berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan kecuali hanya satu orang, dia ingin berhukum (memerintah) dengan sebagian apa yang telah Allah turunkan, perlu dicatat bahwa calon tersebut akan menjaga sebagian manifestasi keislaman, sedangkan penguasa sebelumnya menggusur sebagian penduduk negara itu dan menghancurkan banyak manifestasi Islam, dan mereka akan menyebarkan nilai-nilai keburukan dan kerendahan, jadi secara syar’i apakah boleh bagi saya untuk memilih orang yang paling tidak buruk di antara mereka dari bab “balâ`un aqallu min balâ`in -bencana yang lebih kecil dari bencana yang lain-, seperti yang dikatakan dalam bahasa sehari-hari”, dan pada saat yang sama kaum Muslim tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan penghinaan ini. Dan ini merupakan fakta yang berlaku terhadap saya. Jika saya membiarkan orang yang buruk memerintah, dia akan mengusir dan mungkin bahkan membantai saudara-saudara Muslim saya, tetapi jika saya memberikan suara saya kepada orang yang lebih kecil keburukannya, maka saya telah menerima seseorang yang tidak ingin memerintah dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah untuk memerintah saya.
[Osama Alshanab]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa baakatuhu.
Pertama: mengenai pertanyaan Anda yang pertama, maka jawaban ada di sini …
1- Anda bertanya, “kenapa tidak boleh cenderung kepada orang zalim (atau seseorang yang punya kekuasaan, pengaruh dan potensi-potensi yang bermanfaat, baik dia munafik atau fasik atau bahkan kafir) meminta harta darinya atau pertolongan sehingga seorang muslim dapat berjihad melawan agressor atau supaya untuk menolong agama?”. Seolah dengan ucapan “cenderung kepada orang zalim” itu, Anda menunjuk kepada firman Allah SWT:
﴿وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ﴾
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan” (TQS. Hud [11]: 113).
Jelas dari ayat yang Anda isyaratkan, keharaman cenderung kepada orang zalim, lalu bagaimana Anda bertanya tentang bolehnya hal itu?!
2- Dinyatakan di Tafsîr al-Qurthubî untuk ayat ini sebagai berikut:
[… di dalamnya ada empat masalah: pertama, firman Allah “wa lâ tarkanû -janganlah kamu cenderung-“, ar-rukûn adalah hakikat penyandaran, ketergantungan, diam kepada sesuatu dan ridha dengannya. Qatadah berkata: “maknanya, janganlah kamu senang kepada mereka dan jangan kamu menaati mereka”. Ibnu Juraij: “jangan kamu cenderung kepada mereka”. Abu al-’Aliyah: “janganlah kamu meridhai perbuatan mereka”, dan semuanya berdekatan maknanya …
Ketiga, firman Allah SWT “ilâ al-ladzîna zhalamû -kepada orang-orang yang zalim-“, dikatakan: pengikut kesyirikan. Dan dikatakan: bersifat umum pada mereka dan orang-orang yang banyak bermaksiyat, seperti firman Allah SWT:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (6: 68)
Dan telah dijelaskan sebelumnya. Dan ini adalah yang shahih dalam makna ayat tersebut, dan bahwa ayat tersebut menunjukkan atas meninggalkan penganut kekufuran dan kemaksiyatan baik pelaku bid’ah dan selain mereka. Sebab persahabatan dengan mereka adalah kekufuran atau kemaksiyatan, sebab persahabatan itu tidak terjadi kecuali karena kasih sayang …
Keempat, firman Allah SWT “fatamassakum an-nâru -menyebabkan kamu disentuh api neraka-“ yakni membakar kalian karena bergaul dan bersahabat dengan mereka dan cenderung kepada mereka atas keberpalingan mereka dan menyetujui mereka dalam perkara mereka …], selesai.
Jelas dari tafsir ayat ini bahwa cenderung kepada orang zalim hukumnya adalah haram tanpa keraguan, baik orang zalim itu kafir, atau muslim yang bermaksiyat. Cenderung kepada orang zalim dengan kasih sayang kepadanya, menaatinya, cenderung kepadanya, bersandar kepadanya dan memujinya dan diam atas kezalimannya … dsb, semua itu terderivasi di bawah sikap cenderung dan itu haram dengan ayat yang mulia itu.
3- Kemudian orang zalim itu sesuai pertanyaan Anda, kadang dia seorang penguasa kafir dan kadang seorang penguasa yang bermaksiyat atau orang munafik yang memerintah dengan selain Islam sebagaimana kondisi para penguasa kaum Muslim hari ini …..
a- Jika penguasa itu kafir, maka meminta tolong kepadanya secara syar’iy tidak boleh meskipun itu dengan mengambil harta darinya untuk melakukan jihad. Sebab mengambil harta darinya tanpa diragukan lagi mengantarkan kepada menjadikan dia memiliki kekuasaan atas pihak yang mengambil harta darinya. Perkara ini dapat disaksikan dan diindera, khususnya ketika masalahnya berkaitan dengan faksi-faksi dan milisi-milisi yang berperang, sebab mereka menjadi tergadai pada negara-negara yang mendanainya dan keputusannya terampas. Hal itu karena siapa yang memiliki pengetahuan paling sedikit dengan kenyataan perkara itu, niscaya dia memahami bahwa negara-negara itu bukanlah memberi sedekah. Setiap harta yang diberikan oleh negara di dunia kepada pihak yang bukan rakyatnya tidak lain dia berikan untuk merealisasi tujuan-tujuan tertentu miliknya. Baginya tidak penting kemaslahatan pihak yang diberi bantuan … Pengambilan harta dari negara-negara asing kafir oleh individu, kelompok dan milisi untuk jihad dan memerangi agressor adalah tentu saja merupakan keterikatan kepada asing dan bunuh diri politik, dan membuat orang kafir memiliki kekuasaan terhadap kaum Muslim. Padahal Allah SWT berfirman:
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً﴾
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (TQS an-Nisa’ [4]: 141).
b- Adapun jika penguasa itu adalah orang yang bermaksiyat semisal fakta para penguasa saat ini di negeri kaum Muslim, maka demikian juga mereka tidak memberi harta kepada suatu pihak luar kecuali untuk merealisasi tujuan-tujuan tertentu, dan pada galibnya tujuan ini bagian dari rencana yang dirumuskan oleh negara-negara kafir, sebab para penguasa kaum Muslim adalah agen negara-negara penjajah kafir … Oleh karena itu, pihak yang terikat dengan seorang penguasa di negeri kaum Muslim dan menerima bantuan dan dukungan darinya maka dia menjadi alat di tangan penguasa itu yang dia arahkan sesukanya. Tidak jauh dari kita apa yang dapat kita saksikan di negeri Syam berupa keterikatan banyak faksi dan organisasi kepada dana politik kotor yang diberikan kepada mereka oleh negara-negara kawasan … Belum lagi pujian-pujian yang diarahkan oleh pihak-pihak yang mengambil bantuan itu kepada penguasa zalim, loyalitas kepada mereka, memoles citra mereka dan tidak menyatakan pengingkaran terhadap mereka… dll. Semua itu tak diragukan lagi adalah juga haram karena itu mengantarkan kepada pengabaian hak dan tujuan kaum Muslim dan menjadikan pihak pengambil harta sebagai pembantu untuk orang zalim dan pengkhianat ummat dan agamanya.
4- Selain itu, jihad di jalan Allah dan menolong agama itu tidak dengan meminta bantuan dari penguasa kafir atau penguasa zalim. Sebab para penguasa kafir itu adalah musuh kaum Muslim dan mereka adalah orang-orang yang wajib bagi ummat untuk berjihad melawan mereka dan memerangi mereka. Dan tidak terbayangkan bahwa jihad melawan mereka itu dengan mengambil bantuan dan harta dari mereka. Ini adalah kontradiksi yang jelas. Sebaliknya, jihad dan menolong agama adalah dengan bersandar kepada ummat dan menjadikan ummat sebagai sumber kekuatan dan pemberian.
Kemudian, para penguasa zalim di negeri kaum Muslim, mereka itu adalah alat di tangan kaum kafir. Maka bagaimana terbayangkan seorang Muslim mengambil dari mereka bantuan dan harta untuk memerangi kaum kafir dan menolong agama, selama mereka adalah alat di tangan kaum kafir musuh-musuh ummat dan menimpakan kepada ummat siksaan yang pedih dan memerangi para mujahid yang benar dan para pengemban dakwah yang mukhlis?!
Kedua: mengenai pertanyaan kedua Anda:
Kami telah menjawab dengan jawaban yang rinci pada 29/8/2010 seputar kaedah “ahwanu asy-syarrayn wa akhafu adh-dhararayn -keburukan yang lebih rendah dan dharar yang lebih ringan- “atau seperti yang Anda katakan dalam pertanyaan Anda: “balâ`un aqallu min balâ`in -bencana lebih kecil dari bencana yang lain-“, dan berikut teksnya:
[Kaedah “Ahwanu asy-Syarrain” atau “Akhafu adh-Dhararain”.
Kaedah ini merupakan kaedah syar’iyyah menurut sejumlah fukaha. Keduanya menurut ulama yang mengambilnya, merujuk ke makna yang sama. Yaitu bolehnya melakukan salah satu dari dua perbuatan yang haram, yaitu perbuatan yang lebih kecil keharamannya di antara kedua perbuatan itu jika orang mukallaf itu tidak bisa kecuali melakukan salah satu dari dua keharaman itu, dan dia tidak mungkin meninggalkan keduanya sekaligus, sebab hal itu tidak mungkin yakni di luar kemampuannya dari segala sisi.
Allah SWT berfirman:
﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (TQS al-Baqarah [2]: 286).
Dan Allah SWT berfirman:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16.
Artinya, kaedah ini menurut mereka yang mengatakannya tidak berlaku kecuali jika terhalang untuk meninggalkan dua keharaman, yang mana tidak mungkin mencegah diri dari dua keharaman itu sekaligus kecuali dengan terjadinya keharaman yang lebih besar. Maka ketika itu dia mengambil dharar yang lebih ringan. Sebagaimana, para ulama itu juga tidak menjadikan penentuan dharar yang lebih ringan dari dua dharar itu menurut hawa nafsu tetapi sesuai hukum-hukum syara’. Menjaga dua jiwa lebih utama dari menjaga satu jiwa, menjaga tiga jiwa lebih utama … begitulah. Dan menjaga jiwa lebih dikedepankan atas penjagaan harta, menjaga Dar al-Islam termasuk di dalam menjaga agama, dan itu lebih utama dari menjaga jiwa dan harta. Demikian juga, jihad dan al-imâmah al-‘uzhma (al-Khilafah), keduanya termasuk di dalam menjaga agama termasuk dharurat yang pertama dan paling utama. Al-‘alim asy-Syathibi mengatakan di dalam al-Muwâfaqât: “sesungguhnya jiwa itu dihormati, dijaga dan dituntut untuk dihidupkan yang mana jika terjadi perkara antara menghidupkan jiwa dan lenyapnya harta atasnya, atau lenyap jiwa dan penghidupan (penjagaan) harta, maka menghidupkan jiwa lebih utama …”.
Di antara contoh yang disebutkan oleh para ulama sebagai penerapan kaedah tersebut:
1- Jika seorang ibu mengalami kesulitan dalam melahirkan dan terjadi ketidakmampuan untuk menyelamatkan ibu dan janin sekaligus dan perkaranya memerlukan keputusan cepat: menyelamatkan ibu dan ini menuntut kematian janin atau menyelamatkan janin dan ini menuntut kematian ibu. Dan jika perkaranya dibiarkan dan tidak dilakukan operasi yang berakibat kematian salah satu dari keduanya untuk menyelamatkan yang lainnya, atau mempertahankan kehidupan salah satu dengan kematian yang lain, maka akan menyebabkan kematian keduanya sekaligus. Dalam contoh keadaan semisal ini maka dikatakan ahwanu asy-syarrain (keburukan yang lebih ringan) atau aqallu al-harâmain (yang lebih kecil keharamannya) atau akhafu al-mafsadatain (yang lebih ringan mafsadatnya), yaitu dengan mengedepankan operasi yang menyelamatkan siapa yang dituntut untuk diselamatkan yaitu sang ibu, walaupun perbuatan itu sendiri menjadi pembunuhan untuk yang lain (si janin).
- Seseorang diancam dengan kebinasaan atau dibunuh oleh seseorang yang lain, atau akan ditimpa serangan keras pada badannya atau organnya, atau seorang wanita akan dizinai (diperkosa), dihadapan seorang mukallaf yang mampu menghalangi kemungkaran-kemungkaran itu sementara dia harus menunaikan shalat fardhu yang hampir habis waktunya. Lalu, apakah dia menghalangi keharaman itu sehingga dia meluputkan penunaian kewajiban (shalat) atau dia menunaikan kewajiban itu pada waktunya dan keharaman itupun terjadi, sementara waktu tidak ada untuk bisa melakukan kedua perkara itu sekaligus. Maka di sini diterapkan kaedah tersebut. Dan perbandingan itu juga berasal dari syara’ yang menjadikan penghilangan keharaman-keharaman yang disebutkan itu lebih ditegaskan dari penunaian kewajiban yang disebutkan itu, seandainya mungkin melakukan kedua kewajiban itu sekaligus niscaya keduanya wajib dilakukan.
3- Berikut contoh lainnya yang disebutkan oleh imam al-Ghazali dan Izzuddin bin Abdi as-Salam rahimahumallâh, tampak di dalamnya bagaimana menerapkan kaedah “ahwanu asy-syarrain” menurut beliau berdua, dan juga tampak perbandingan di antara hukum-hukum. Al-‘Izz berkata di bukunya Qawâ’idu al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm: “jika bertemu mafsadat-mafsadat yang pasti maka jika mungkin mencegahnya, kita cegah. Dan jika terhalang mencegah semuanya maka kita cegah yang paling mafsadat dan yang berikutnya dan seterusnya, yang paling buruk dan yang berikutnya dan seterusnya…”. Kemudian beliau menyebutkan contoh-contoh: “seseorang dipaksa membunuh seorang Muslim yang mana andai dia tidak mau maka dia akan dibunuh, maka dia harus mencegah mafsadat pembunuhan itu dengan bersabar atas pembunuhan (dibunuh), sebab kesabarannya atas pembunuhan (dibunuh) itu lebih kecil mafsadatnya dari melakukan pembunuhan terhadap orang lain …”. Ini adalah contoh yang jelas bahwa itu merupakan pemilihan mafsadat atau keharaman yang lebih ringan, sebab dia tidak bisa terlepas dari salah satunya, dan seandainya dia bisa menghalangi dua mafsadat itu sekaligus maka hal itu wajib baginya.
Beliau berkata pada contoh lainnya: “demikian juga seandainya dia dipaksa (diancam) akan dibunuh untuk memberikan kesaksian palsu/bohong atau memutuskan dengan batil, maka jika orang yang dipaksa untuk memberikan kesaksian palsu/bohong atau memutuskan dengan batil itu diancam (dipaksa) akan dibunuh, dipotong organ tubuhnya, menghalalkan (memakan) sesuatu yang diharamkan, maka dia tidak boleh memberikan kesaksian palsu dan tidak boleh memutuskan dengan batil, sebab pasrah untuk dibunuh lebih utama dari menyebabkan pembunuhan seorang Muslim bukan karena dosa, atau dia diancam dipotong organnya, atau diserang kehormatannya, maka dia tidak boleh memberikan kesaksian palsu, sebaliknya dia harus bersabar di atas pembunuhan (dibunuh) sebab menyerah untuk dibunuh lebih utama dari membunuh seorang Muslim lainnya …
Artinya, kondisi yang disitu harus dirujuk untuk mengamalkan “akhafu al-harâmain atau akhafu al-mafsadatain” adalah kondisi tidak mampu menghindari dua keharaman itu semuanya atau menghalangi keduanya sekaligus …
Ini contoh-contoh penerapan kaedah “akhafu adh-dhararain” menurut apa yang disebutkan oleh ulama yang mengambil kaedah itu. Tetapi, bukan termasuk contoh penerapan kaedah ini, apa yang dipasarkan oleh para syaikh penguasa, atau orang-orang yang menginginkan kaum Muslim untuk menyimpang dari hukum-hukum syara’ menggunakan penyesatan dan alasan-alasan batil.
Sesungguhnya orang-orang yang mengamalkan kaedah tersebut untuk melakukan keharaman ini tanpa keharaman yang itu dengan menjustifikasi perbuatan mereka bahwa mereka khawatir dipenjara atau dipecat dari jabatan/pekerjaan mereka maka ini bukan penerapan dari kaedah ini.
Demikian juga, orang-orang yang mengatakan, “kami berpartisipasi dalam pemerintahan kufur meski itu adalah haram, supaya kita tidak membiarkan berbagai posisi/jabatan pemerintahan semuanya untuk orang-orang fasik, sebab membiarkan pemerintahan untuk mereka adalah keharaman yang lebih besar … Ini bukan dari penerapan kaedah tersebut. Tetapi itu seperti orang yang mengatakan kita buka bar tempat mimuman keras dan kita peroleh materi darinya daripada orang kafir yang membukanya dan dia yang mendapatkan harta itu …
Bukan termasuk penerapan kaedah tersebut, menyodorkan kepada seseorang dua perkara haram lalu dia melakukan yang lebih ringan dari keduanya, sementara dia mampu mencegah diri dari keduanya sekaligus. Seperti ucapan orang yang mengatakan pilihlah si Fulan meski dia seorang yang sekuler atau fasik, atau dukunglah si Fulan dan jangan dukung yang lain, karena yang pertama membantu kita dan yang kedua tidak membantu kita, atau semacam itu. Melainkan yang dikatakan di sini: dua perkara yang disodorkan di depan kita itu adalah haram, jadi kita tidak boleh memilih seorang sekuler dan tidak boleh mewakilkannya atau mendelegasikannya untuk mewakili seorang Muslim dalam mengungkapkan pendapat sebab dia tidak berpegang dengan Islam dan karena dia melakukan perbuatan-perbuatan yang haram yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan itu sendiri seperti penetapan hukum (legislasi) atau menyetujui proyek-proyek (rencana-rencana) haram, dan seperti menuntut pertanggungjawaban dengan keharaman dan menerimanya serta berjalan di dalamnya. Intinya, dia melarang kemakrufan dan memerintahkan kemungkaran. Oleh karena itu tidak boleh memilih siapapun dari keduanya, sebab memilih yang ini atau yang itu adalah haram, dan tidak memilih yang ini atau tidak memilih yang itu termasuk dalam batas kemampuan (hal yang mampu dilakukan).
Dan bukan bagian dari penerapan kaedah “akhafu adh-dhararain”, menyodorkan dua perbuatan haram kepada seorang Muslim, sementara mencegah diri dari keduanya masih termasuk dalam batas kemampuannya, lalu dia memilih yang lebih ringan menurut hawa nafsunya dan melakukannya dengan anggapan bahwa di dalam mencegah diri dari dua keharaman itu ada kesulitan …! Tetapi dia wajib mencegah diri dari semua keharaman itu selama hal itu mampu (berada dalam batas kemampuannya) menurut hukum-hukum syara’.
Inilah gambaran singkat dari kaedah “akhafu adh-dhararrain” atau “ahwanu asy-syarrain”], selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu.
Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan, wallâhu a’lam wa ahkam.
Dijawab Oleh : Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Sumber : HT Info
One comment
Pingback: Memberikan Suara Untuk Demokrasi adalah Haram - Visi Muslim Media