Tafsir QS An-Nas [114] Ayat 1-6
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ، من الجنة والناس
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia; dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia; dari (golongan) jin dan manusia.” (QS an-Nas [114]: 1-6)
Dalam Mushaf al-Quran surah ini diletakkan pada surat terakhir sesudah QS al-Falaq. Surah ini terdiri dari enam ayat. Menurut Ibnu ‘Abbas, surat ini termasuk Makiyyah, sedangkan menurut Ibnu az-Zubair Madaniyyah.1 Bersama-sama dengan surah al-Falaq, surah ini juga disebut al-mu’awwidzatayn. Dari ‘Uqbah bin Amir ra:
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنْزِلَ أَوْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَاتٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ
Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Telah diturunkan kepadaku beberapa ayat yang tiada yang sebanding dengannya, yakni al-mu’awwidzatayn (HR Muslim dan Ahmad).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qul a’ûdzu bi Rabb an-nâs (Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan [yang memelihara dan menguasai] manusia.”). Perintah qul ditujukan kepada Rasulullah saw.; tercakup pula di dalamnya adalah umatnya. Mereka diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya. Kata a’ûdzu bermakna atahashshanu wa astajîru (saya berlindung dan meminta penjagaan).2 Permohonan perlindungan itu ditujukan kepada Rabb an-nâs.
Kata ar-rabb merupakan musytaq (kata bentukan) dari kata at-tarbiyah.3 Secara bahasa, kata ini mengandung beberapa pengertian, yakni: al-mâlik wa as-sayyid wa al-mudabbir wa al-murabbi wa qayyim wa al-mun’im (pemilik, tuan, pengatur, pendidik, penanggung jawab dan pemberi nikmat).4 Dipaparkan pula oleh Ibnu al-Manzhur bahwa kata ar-rabb terbagi menjadi menjadi tiga bagian, yakni: al-mâlik (pemilik); as-sayyid al-muthâ’ (tuan yang ditaati), seperti dalam firman-Nya: Fayasqî rabbahu khamr[an] (akan memberi minum tuannya dengan khamr/QS Yusuf [12]: 41); dan al-mushlih (yang memperbaiki).5
Kata ar-rabb, jika tanpa di-idhâfahkan-kan dengan kata lain, hanya menunjuk kepada Allah SWT. Namun, jika di-idhâfah-kan dengan kata lain bisa menunjuk kepada Allah SWT, seperti Rabb al-‘âlamîn; Rabbukum wa Rabb âbâikum al-awwalîn; bisa juga menunjuk kepada selain-Nya, seperti rabb ad-dâr wa rabb al-faras (pemilik rumah dan pemilik kuda).6 Yang dimaksud oleh Rabb an-nâs dalam ayat ini tak lain adalah Allah SWT. Sebab, Dialah Pemilik, Tuan yang Ditaati, Pengatur, Pendidik, Penanggung Jawab dan Pemberi Nikmat bagi seluruh manusia. Bahkan bukan hanya Rabb al-nâs, namun Dia adalah Rabb al-‘âlamîn (Tuhan alam semesta).
Kemudian Allah SWT berfirman: Malik an-nâs (Raja manusia). Secara bahasa, kata al-malik adalah dzû al-sulthân al-âmir wa al-nâhi al-mu’thi al-mâni’ bilâ mumâni’ walâ munâzi’ (yang memiliki kekuasaan, yang memerintah dan melarang, yang member dan mencegah, tanpa bisa ditolak dan ditentang).7 Yang dimaksudkan dengannya tidak lain adalah Allah SWT. Dialah Raja yang sebenarnya (lihat QS al-Mukminun [23]: 116), yang berkuasa atas seluruh manusia. Dialah Sang Pemilik kerajaan langit dan bumi (lihat QS al-Hadid [57]: 2, 6). Bersumber dari-Nya pula semua kekuasaan yang dimiliki manusia (QS Ali Imran [3]: 26).
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Ilâh an-nâs (Sembahan manusia). Kata al-ilâh merupakan mashdar yang bermakna maf’ûl. Kata tersebut berasal dari kata alaha-ya’lahu, yang semakna dengan kata ‘abada-ya’budu. Oleh karena itu, kata ilâh bermakna ma’lûh atau ma’bûd (yang disembah, diibadahi).8 Sebagaimana dijelaskan Ibnu Manzhur, kata al-ilâh menunjuk kepada Allah ’Azza wa Jalla. Segala sesuatu yang dijadikan sesembahan selain-Nya juga disebut sebagai ilâh bagi orang yang menyembahnya.9
Menurut al-Biqa’i, kata ar-rabb dan al-malik berdekatan maknanya. Hanya saja, kata ar-rabb lebih mengandung kelembutan dan pendidikan, sedangkan al-malik lebih menunjukkan pada sifat memaksa dan mengalahkan; lebih menampakkan keadilan. Di samping itu, ada ar-rabb yang kadang tidak menjadi al-malik sehingga tidak memiliki otoritas yang sempurna. Oleh karena itu, firman Allah SWT: Malik an-nâs mengisyaratkan bahwa Dia memiliki wewenang penuh, dominasi kekuatan dan kekuasaan yang sempurna. Dia pula yang dimintai pertolongan, bantuan, perlindungan dan sandaran. Ketika ada al-malik yang bukan menjadi ilâh dan al-ilâhiyyah itu khusus yang tidak menerima sekutu dengan yang lain, maka untuk menyempurnakannya sekaligus menjadi ghâyah al-bayân (puncak penjelasan), Allah SWT pun berfirman: Ilâh an-nâs. Ini mengisyaratkan, sebagaimana mereka mengesakan rububiyyah dan mulkiyyah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, hal yang sama juga berlaku dalam perkara ilâh mereka. Mereka pun harus mengesakan ilâh mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Ini merupakan metode yang selalu digunakan al-Quran dalam berhujjah kepada mereka yang telah mentauhidkan-Nya dalam rububiyyah dan mulkiyyah, namun mengingkari-Nya dalam ulûhiyyah dan ibadah. Barangsiapa yang menjadi rabb dan malik mereka, dia tidak pantas menyembah dan meminta pertolongan selain kepada-Nya.10
Dalam surah ini, kata rabb, malik dan ilâh di-mudhâf-kan kepada manusia, padahal Dia adalah Rabb al-‘âlamîn. Menurut al-Qurthubi, ini menunjukkan dua hal. Pertama: menunjukkan kemuliaan manusia. Dengan menyebut bahwa Allah adalah Tuhan mereka, berarti Dia memuliakan mereka.11 Kedua: karena itu merupakan perintah untuk berlindung dari kejahatan mereka. Di kalangan manusia ada yang disebut sebagai malik dan dijadikan ilâh yang disembah. Dalam surah ini diingatkan bahwa Dia adalah Raja dan Sesembahan mereka. Kepada-Nya manusia wajib berlindung dan meminta pertolongan, bukan kepada para raja dan pembesar itu.12 Menurut Abu Hayyan, permohonan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari Rabb, Raja, dan ilâh mereka adalah seperti seorang hamba yang meminta perlindungan kepada tuannya dari perkara yang tiba-tiba datang kepadanya.13
Setelah meminta pertolongan Allah SWT dengan tiga sifat-Nya yang sempurna, kemudian disebutkan perkara yang dimintakan perlindungan: min syarr al-waswâs al-khannâs (dari kejahatan [bisikan] setan yang biasa bersembunyi). Menurut al-Biqai, kata al-waswasah berarti al-kalâm al-khâfiy (perkataan tersembunyi), yakni disampaikan maknanya ke dalam hati, secara tersembunyi dan berulang-ulang.14
Adapun al-khannâs merupakan bentuk mubâlaghah. Artinya, yang banyak bersembunyi. Menurut az-Zamakhsyari dan al-Qurthubi, yang dimaksud dengannya adalah setan.15 Disebut al-khannâs karena sifat setan yang banyak bersembunyi. Pengertian ungkapan ini juga digunakan untuk menyebut bintang-bintang sebagaimana dalam firman Allah SWT: Falâ uqsimu bi al-khunnâs (Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang/QS at-Takwir [81]: 15). Hal itu disebabkan karena bersembunyi setelah tampak.16 Oleh karena itu, ayat ini disimpulkan al-Qurthubi dengan ungkapan min syarr asy-syaythân (dari kejahatan setan), yakni min syarr dzî al-waswâs (dari kejahatan yang memiliki bisikan).17
Kemudian Allah SWT berfirman: al-ladzî yuwaswisu fî shudûr an-nâs (yang membisikkan [kejahatan] ke dalam dada manusia). Menurut al-Baghawi, maksud dari frasa ini adalah perkataan pelan yang dipahami oleh hati tanpa didengarnya.18 Berkenaan dengan bisikan setan dalam dada manusia, terdapat hadis Nabi saw. yang menjelaskan proses masuknya setan ke dalam diri manusia. Dari Ali bin Husain, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ اْلإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ
Sesungguhnya setan merasuk kepada manusia bersama dengan aliran darah (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Perkara yang dibisikkan tentulah perkara kejahatan yang berisi ajakan menuruti hawa nafsu, ingkar dan berpaling dari agama-Nya. Sebab, itulah yang diinginkan dan diperintahkan setan kepada manusia. Setan berkeinginan menyesatkan manusia dengan kesesatan yang jauh (lihat QS an-Nisa’ [4]: 60).
Surah ini lalu ditutup dengan firman-Nya: min al-jinnah wa an-nâs (dari [golongan) jin dan manusia). Menurut az-Zamakhsyarai, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) mengenai pihak yang membisikkan kejahatan dalam dada manusia.19 Kata al-jinnah merupakan bentuk jamak dari kata al-jinni, sebagaimana kata ins[un] dan insiy[un]. Qatadah berkata, “Sesungguhnya dari manusia ada setan dan dari jin juga ada syetan. Karena itu, kita berlindung dari mereka.20 Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-An’am [6]: 112).
Doa, Bisikan Jahat dan Setan
Dalam surah yang pendek ini terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik oleh manusia. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, perintah memohon perlindungan kepada Allah SWT. Perintah ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas dan memerlukan pertolongan. Yang layak dimintai pertolongan tentulah pihak yang memiliki kemurahan dan kekuasaan sehingga mau dan mampu memberikan pertolongan. Dialah Allah SWT. Sebab, Dia adalah Pemilik dan Pengatur alam raya, Raja dan Penguasa kerajaan langit dan bumi beserta isinya serta Zat yang wajib disembah seluruh makhluk-Nya. Keyakinan inilah yang mengantarkan manusia untuk memohon dan berdoa kepada-Nya.
Dengan demikian, seorang hamba yang rajin berdoa dan memohon kepada Allah SWT menunjukkan besarnya keyakinan tersebut. Sebaliknya, ketika hamba merasa cukup dan tidak memerlukan pertolongan dari-Nya, dia akan malas, bahkan menolak untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Tindakan itu jelas merupakan kesombongan. Allah SWT murka terhadapnya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda:
ِمَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْه
Siapa saja yang belum meminta kepada Allah maka Dia murka kepadanya (HR al-Tirmidzi)
Di samping menjadi manifestasi keyakinan tersebut, doa berfungsi sebagai ibadah sekaligus sarana untuk mendekatkan hamba kepada Tuhannya. Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: Ad-Duâ’ mukhkh al-’ibâdah (Doa adalah otak ibadah/HR at-Tirmidzi).
Perintah untuk berdoa dan memohon kepada Allah SWT disampaikan dalam beberapa ayat. Dalam banyak ayat dan hadis, manusia juga diajari banyak doa yang baik. Tak hanya itu, Allah SWT pun berjanji akan mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba kepada-Nya (lihat QS Ghafir [40]: 60, al-Baqarah [2]: 186).
Kedua, besarnya bahaya bisikan jahat dalam dada manusia. Dalam surah sebelumnya, QS al-Falaq, permohonan perlindungan kepada Allah hanya menyebut satu sifat Allah, Rabb al-falaq, untuk meminta perlindungan dari tiga keburukan dan kejahatan, yakni: al-ghâsiq (malam), al-naffâtsât (wanita tukang sihir) dan al-hâsid (orang yang dengki). Dalam surah ini permohonan perlindungan itu dengan menyebutkan tiga sifat Allah SWT sekaligus: ar-Rabb, al-Malik, dan al-Ilâh. Padahal perkara yang dimintakan perlindungan hanya satu, yakni al-waswâsah (bisikan). Menurut ar-Razi, perkara yang dimintakan perlindungan dalam surah yang pertama menyangkut keselamatan jiwa dan badan. Adapun perkara yang dimintakan perlindungan dalam surah kedua menyangkut keselamatan agama. Ini menjadi peringatan bahwa bahaya yang menimpa agama, betapa pun kecilnya, lebih besar daripada bahaya yang menimpa dunia, betapa pun besarnya.21
Ketiga, mewaspadai semua jenis setan. Dalam surah ini diberitakan bisikan jahat yang dapat menjerumuskan manusia berasal dari setan. Wajar saja, sebab setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, yang dikehendaki setan adalah kecelakaan dan kesengsaraan. Tekad jahat itu sudah dideklarasikan sejak Iblis menolak untuk mengikuti perintah Allah SWT, bersujud kepada Adam as. Dengan tegas mereka mengatakan akan menyesatkan Adam dan seluruh keturunannya hingga Hari Kiamat. Mereka pun diberi tangguh oleh Allah SWT (lihat QS al-Isra’ [17]: 61-64).
Bertolak dari kenyataan tersebut, manusia harus benar-benar waspada terhadap tipudaya musuh mereka, setan. Jangan sampai mengikuti langkah-langkah mereka. Dalam surah ini kita diingatkan bahwa kewaspadaan terhadap godaan setan tak terbatas pada setan dari jenis jin, namun juga setan dari jenis manusia. Keberadaan setan selain disebutkan dalam QS al-an’am [6]: 112, juga dijelaskan dalam Hadis Nabi saw. Dari Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada beliau:
يَا أَبَا ذَرٍّ تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِينِالْلإِنْسِ وَالْجِنِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ وَلِْلإِنْسِ شَيَاطِينُ قَالَ نَعَمْ
“Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin.” Aku bertanya, “Apakah pada manusia ada setan?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR Ahmad).
Dalam QS al-Mujâdilah [58]: 19 juga diberitakan bahwa orang-orang yang telah dikuasai setan dan berhasil dibuat lupa mengingat Allah disebut sebagai hizb asy-syaythân (golongan setan). Ditegaskan pula, bahwa mereka adalah-orang yang merugi.
Surah ini memberikan tuntunan agar kita tidak terjerumus oleh bisikan jahat setan, kita harus senantiasa berlindung kepada Allah SWT. Dialah Tuhan, Raja, dan Sesembahan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 522.
2 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 3 (Madinah: Maktabah al-‘Ilm wa al-Hukm, 2003).
3 Ali ash-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 24 . Lihat juga al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 184.
4 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 399. Meski ada sedikit perbedaan, pengertian yang sama juga bisa dilihat dalam al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 156.
5 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1, 399. Pengertian itu juga disebutkan oleh -Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (Madinah: Maktabah al-’Ilm wa al-Hukm, 2003), 13. Kata al-rabb diartikan al-sayyid al-mâlik al-mushlih al-ma’bûd (tuan, pemilik, yang memperbaiki, yang ditaati).
6 Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât, 184. Penjelasan senada juga disampaikan Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1, 399.
7 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1, 13.
8 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 45.
9 Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, vol. 13, 67.
10 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 426-427.
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003), 260. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 522.
12 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 260.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 535.
14 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 430.
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), 468.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 262.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 261.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Ta’lîm, vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 599.
19 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 469.
20 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 535.
21 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 32 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).