Al-Hudud adalah bentuk jamak dari al-hadd; mashdar dari hadda – yahuddu – hadd[an]. Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab mengatakan, “Al-Hadd adalah pemisah di antara dua sesuatu agar tidak saling bercampur satu sama lain dan tidak saling melanggar. Bentuk jamaknya hudûd…Haddu kulli syay’[in] adalah akhir (ujung)-nya (muntahâhu) yang menolak dan menghalangi dari melampaui batas. Hadd pencuri dan lainnya adalah apa yang menghalangi dirinya dari mengulangi perbuatannya, juga menghalangi orang lain melakukan kejahatan itu. Bentuk jamaknya adalah hudûd.”
Abu Hafsh an-Nasafi dalam Thalabah ath-Thalabah dan Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbâh al-Munîr mengatakan bahwa makna asal dari al-haddu adalah al-fashlu wa al-man’u (pemisahan dan halangan).
Ibn Manzhur lebih jauh menjelaskan, hudûdulLah adalah sesuatu yang Allah jelaskan pengharaman dan penghalalannya; Allah perintahkan untuk tidak dilanggar sedikitpun dan dilampaui, selain dari apa yang telah diperintahkan atau dilarang, yang Allah larang untuk dilanggar. Al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah mengatakan, “Hudûd Allah ada dua bentuk. Pertama: hudud yang Allah tetapkan untuk manusia dalam masalah makanan, minuman, pernikahan dan lainnya; di antara apa yang dihalalkan dan diharamkan, yang diperintahkan untuk dijauhi dan dilarang untuk dilanggar. Kedua: uqûbât yang ditetapkan terhadap orang yang melakukan apa yang dilarang seperti hadd pencuri, yaitu potong tangan dalam pencurian seperempat dinar atau lebih; hadd orang berzina yang belum menikah yaitu cambukan seratus kali dan diasingkan setahun; hadd orang yang sudah menikah jika berzina yaitu dirajam; hadd orang yang menuduh orang lain berzina yaitu cambukan 80 kali. Disebut hudûd karena menghalangi perbuatan yang di situ ada sanksi jika dilakukan. Yang pertama disebut hudûd karena merupakan akhir yang Allah larang untuk dilanggar (dilampaui).”
Ibn al-Atsir dalam An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsâr berkata, “Penyebutan al-hadd dan al-hudûd di banyak tempat maknanya adalah keharaman-keharaman Allah dan sanksi-sanksi-Nya yang dikaitkan dengan dosa-dosa. Asal dari al-hadd adalah halangan dan pemisah di antara dua perkara. Karena itu hudûd asy-syar’i memisahkan antara halal dan haram. Di antaranya apa yang tidak boleh didekati seperti perbuatan-perbuatan keji yang diharamkan (al-fawâhisy al-muharramah). Allah SWT:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
Itulah larangan Allah. Karena itu janganlah kalian mendekati larangan itu (QS al-Baqarah [2]: 187).
Di antaranya adalah apa yang tidak boleh dilanggar seperti ketentuan waris tertentu dan poligami empat orang. Di antaranya firman Allah SWT:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
Itulah hukum-hukum Allah. Karena itu janganlah kalian melanggar hukum-hukum itu (QS al-Baqarah [2]: 229).
Semua itu adalah makna al-hadd dan hudud menurut bahasa.
Berikutnya para fukaha menggunakan sebutan al-hadd dan al-hudûd dengan makna yang lebih khusus untuk menyebut jenis ‘uqubat tertentu. Ibn Taimiyah di dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyah menjelakan, “Sekelompok ahlul ‘ilmi menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan hudûdullâh adalah apa yang diharamkan karena menyangkut hak Allah. Kata al-hudûd dalam Al-Quran dan as-Sunnah maknanya adalah pemisah antara halal dan haram: semisal yang akhir halal dan yang awal haram. Dikatakan tentang yang awal: Itulah hukum-hukum Allah. Karena itu janganlah kalian melanggar hukum-hukum itu (TQS al-Baqarah [2]: 229). Dikatakan pada yang kedua: Itulah larangan Allah. Karena itu janganlah kalian mendekati larangan itu (TQS al-Baqarah [2]: 187). Adapun penyebutan ‘uqubat yang telah ditetapkan sebagai hadd adalah tradisi yang baru (‘urf[un] hâdits[un]).”
Makna istilah itu kemudian menjadi dominan ketika disebut kata al-hadd dan al-hudûd, dan menjadi makna syar’i kata al-hadd dan al-hudûd.
Para fukaha mendefinisikan al-hudud secara syar’i dengan ungkapan sedikit berbeda satu sama lain. Al-Khathib asy-Syarbini di dalam Al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abî Syujâ’ menyebutkan, al-hudûd secara syar’i adalah ‘uqubat (sanksi) yang telah ditetapkan dan wajib sebagai penghalang dari pelaksanaan apa yang mewajibkan hadd. Al-Bahuti di dalam Ar-Rawdh al-Murbi’, juga az-Zarqani di dalam Syarh az-Zarqâni ‘alâ Muwatha’ Mâlik, mengartikan al-hudûd adalah sanksi yang telah ditetapkan secara syar’i pada kemaksiatan untuk mencegah adanya kemaksiatan semisalnya. Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam Al-Hâwî al-Kabîr mendefinisikan al-hudûd adalah sanksi-sanksi (‘uqubat) yang Allah jadikan untuk mencegah hamba melakukan apa yang dilarang dan mendorong mereka melaksanakan apa yang diperintahkan. Menurut Abdurahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât, secara istilah al-hudud adalah sanksi yang telah ditetapkan secara syar’i pada kemaksiatan untuk mencegah adanya kemaksiatan semisalnya.
Adapun as-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth mendefinisikan al-haddu (al-hudûd) adalah sebutan untuk sanksi (‘uqubat) yang telah ditetapkan, wajib, sebagai hak Allah SWT.
Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam al-Hâwî al-Kabîr menjelaskan penggunaan sebutan hudûd itu: Penyebutannya sebagai hudud ada dua takwil. Pertama: karena Allah SWT telah membatasi dan menentukan kadarnya sehingga tidak boleh seorang pun melampaui, menambahi atau menguranginya. Ini adalah pendapat Abu Muhammad bin Qutaibah. Kedua: karena itu menghalangi perbuatan yang mewajibkan adanya sanksi itu, diambil dari hadd ad-dâr (batas rumah) sebab menghalangi keikutsertaan orang lain di dalamnya.
Dengan menggabungkan semua definisi tersebut,juga dengan memperhatikan sifat al-hudûd, dapat disusun defisini yang menyeluruh dan tepat, yakni al-hudûd adalah sanksi yang telah ditetapkan pada kemaksiatan, yang wajib, sebagai hak Allah untuk menghalangi kemaksiatan itu dilakukan.
Definisi ini sekaligus menjelaskan karakteristik al-hudûd, di antaranya: Pertama, ungkapan sanksi yang telah ditetapkan, hal itu membedakannya dari ‘uqubat dalam bentuk ta’zir. ‘Uqubat dalam bentuk ta’zir tidak ditentukan kadar dan bentuknya; hal itu diserahkan pada ijtihad Khalifah atau qadhi. Bentuk dan kadar al-hudûd telah ditentukan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
Kedua, ungkapan yang wajib, karena bentuk dan kadar sanksi itu telah ditentukan maka wajib terikat dengannya.
Ketiga, ungkapan sebagai hak Allah, ini membedakannya dari jinâyat atau qishash. Sebab, meski ditetapkan jenis sanksi dan kadarnya, jinayat atau qishash terjadi pada hak sesama manusia dan di situ ada hak pemaafan dari korban atau ahli warisnya. Di dalam al-hudûd tidak ada syafaat (pengampunan), keringanan, pengurangan, atau pemaafan dari siapapun; baik dari korban atau penguasa. Di situ juga tidak boleh ada perdamaian. Rasul saw. bersabda:
مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ فَقَدْ ضَادَّ اللَّهَ…
Siapa yang syafaat (pengampunan)-nya menghalangi hadd di antara hudûd Allah maka ia telah menentang Allah (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Keempat, disebut hudûd karena mencegah orang, baik pelakunya atau orang lain, dari mengulangi atau melakukan kemaksiatan serupa. Kemaksiatan yang disepakati termasuk hudûd ada enam: zina dan liwath, qadzaf (menuduh orang berzina), meminum khamr, pencurian, murtad, dan hirabah yakni bughat. Masing-masing telah ditentukan had-nya dan hukum-hukumnya dijelaskan secara rinci di dalam syariah.
Pelaksanaan had itu seperti dijelaskan oleh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizhâm al-‘Uqubât, tidak wajib dijatuhkan kecuali terhadap orang yang balig dan berakal, wajib terikat dengan hukum-hukum kaum Muslim, baik dia Muslim maupun dzimmi. Dalam pelaksanaan had berupa jilid (cambuk/pukulan dengan rotan) maka laki-laki dipukul dalam posisi berdiri, menggunakan tongkat berukuran sedang, tidak lama dan tidak baru, tidak ditelentangkan dan tidak dilepas pakaiannya sesuai ucapan Ibn Mas’ud:
لاَ يَحِلُّ فِى هَذِهِ الأُمَّةِ تَجْرِيدٌ وَلاَ مَدٌّ وَلاَ غُلُّ وَلاَ صَفَدٌ
Tidak halal di dalam umat ini penelanjangan, penelentangan, pengikatan dan tidak pula pembelengguan (HR al-Baihaqi).
Tidak boleh terlalu keras memukul dirinya yang bisa mengelupaskan kulit/daging karena tujuannya adalah mencegah dirinya mengulangi perbuatan itu, bukan untuk membinasakan dirinya. Orang yang memukul tidak mengangkat tangannya sampai terlihat ketiaknya. Disunnahkan memukul di badannya dan menghindari wajah, kepala, kemaluan serta organ-organ vital dan mematikan seperti dada (jantung), buah kemaluan. Sebab, pukulan pada organ-organ itu bisa membuat dia cedera atau bahkan membunuh dirinya. Wanita diperlakukan seperti laki-laki, hanya saja ia dipukul dalam posisi duduk. Ali ra. berkata:
تُضْرَبُ الْمَرْأَةُ جَالِسَةً وَالرَّجُلُ قَائِمًا فِيْ الْحَدِّ
Wanita dipukul dalam posisi duduk dan laki-laki berdiri dalam al-hadd (HR Abd ar-Razaq dan Sa’id bin Manshur).
Al-Hudûd itu wajib dilaksanakan. Pelaksanaan hudûd akan membawa kebaikan luar biasa bagi manusia. Abu Hurairah ra. menuturkan, Rasul saw bersabda:
حَدٌّ يُعْمَلُ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا ثَلَاثِينَ صَبَاحًا
Had yang dilaksanakan di bumi lebih baik untuk penduduk bumi daripada diturunkan hujan tiga puluh hari (HR an-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]