فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bertakwalah kepada Allah tentang (urusan) wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak yang menjadi kewajiban mereka, yaitu mereka tidak boleh memasukkan ke rumah kalian orang yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka pun memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian, yaitu nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang makruf (HR Malik, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, an-Nasai, ad-Darimi, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, Ibn Khuzaimah, Abad bin Humaid, Ibn Abi Syaibah, dll)
Hadis ini diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, yaitu Muhammad bin Ali bin al-Husain, dari Jabir bin Abdullah ra. Sabda Rasul ini merupakan penggalan dari khutbah panjang yang Beliau sampaikan di Arafah pada saat Haji Wada’.
Nabi saw. Bersabda, “FattaqûLlâh fî an-nisâ’.” Al-Munawi menjelaskan maksudnya adalah, “Bertakwalah dalam hal hak-hak mereka.”
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, “Hadis ini merupakan dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, menasihati mereka dan memperlakukan mereka secara makruf.”
“Fa innakum akhadztumûhunna bi amâniLlâh—di dalam sebagian riwayat dengan lafal “bi amânatiLlâh—maksudnya adalah “bi ‘ahdiLlâh (dengan janji Allah), yaitu janji untuk bersikap lembut dan bergaul dengan baik.
“Wa istahlaltum furûjahunna bi kalimatiLlâh,” maksudnya adalah dengan syariah-Nya atau dengan perintah dan hukum-Nya, yaitu kebolehan dari Allah, dan kalimat firman Allah, “fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ (nikahilah wanita yang kalian sukai)… Juga dikatakan maknanya adalah dengan ijab dan qabul, yaitu dengan kalimat yang diperintahkan oleh Allah.
“Wa lakum ‘alayhinna an lâ yûthi’na furusyakum ahadan takrahûnahu.” Menurut penulis ‘Awn al-Ma’bûd maksudnya adalah, “Hendaknya ia tidak memberikan izin kepada siapapun (yang tidak disukai suami) masuk ke rumah suami. Larangan tersebut mencakup laki-laki dan perempuan.”
Imam an-Nawawi menyatakan, “Maknanya adalah hendaknya mereka (para istri) tidak mengizinkan siapapun yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk di dalamnya; baik yang diberi izin itu laki-laki asing, perempuan atau di antara mahram istri. Sebab, larangan tersebut mencakup semua. Inilah hukum dalam masalah ini menurut para fukaha, yaitu bahwa istri tidak halal mengizinkan laki-laki atau perempuan, mahram-nya ataupun bukan, untuk masuk ke rumah suami; kecuali orang yang dalam anggapan atau dugaan istrinya itu bahwa suami tidak membencinya. Sebab, hukum asalnya adalah haram masuk ke rumah seorang manusia sehingga terdapat izin untuk masuk yang berasal dari dia atau orang yang ia izinkan untuk memberi izin itu, atau diketahui adanya kerelaannya dengan menerapkan ‘urf tentang itu atau semacamnya. Kapan saja terdapat keraguan akan adanya kerelaan dia dan tidak bisa dikuatkan adanya kerelaan itu serta tidak terdapat qarînah maka tidak boleh masuk dan istri tidak boleh memberikan izin.”
“Fa in fa’alna dzâlika fadhribûhunna dharban ghayr mubarrih.” Maknanya, jika mereka mengizinkan orang yang tidak kalian sukai masuk ke rumah kalian maka pukullah mereka dengan pukulan yang ghayr mubarrih. Jadi, dalam hal ini suami boleh memukul istrinya dalam bentuk pukulan ghayr mubarrih untuk mendidik istri. Hanya saja, di dalam QS an-Nisa’ [4]: 34, pukulan itu adalah langkah terakhir: setelah istri dinasihati; jika tidak mempan, lalu pisah ranjang; dan jika tidak mempan juga baru dengan pukulan tersebut.
Pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak keji (ghayr syâ‘in), tidak keras, tidak menyebabkan luka dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud bukanlah pukulan dengan tongkat atau semisalnya. Al-Hajaj dan Hasan Bashri menjelaskan, “Yaitu pukulan yang tidak membekas (ghayr muatstsir).” Menurut para fukaha pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak menyebabkan rusaknya organ dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun.”1
“Wa lahunna ‘alaykum rizquhunna wa kiswatuhunna bi al-ma’rûf”. Jika suami memiliki hak yang menjadi kewajiban istri, maka harus diingat bahwa istri juga memiliki hak yang menjadi kewajiban suami; yaitu hak nafkah (pangan, sandang, papan, dsb) secara makruf. Muawiyah bin Haydah al-Qusyairi pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak isteri kami?” Beliau menjawab, “Engkau memberinya makan jika engkau makan dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajah, jangan mencela (mencaci)-nya, dan jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Bi al-ma’rûf, menurut al-Munawi, maksudnya adalah dengan memperhatikan kondisi suami, baik miskin ataupun kaya, atau dengan cara yang makruf (layak) secara proporsional dan terpuji.
Jadi, hadis ini memerintahkan para suami untuk memperhatikan hak-hak istri; agar para suami senantiasa bersikap lemah lembut kepada istri, mempergauli dan memperlakukan istri dengan makruf. Hingga ketika menasihati, memberi sanksi dan bahkan jika terpaksa memukul dalam rangka mendidik pun tetap harus dengan cara yang makruf.
Hendaknya kita selalu ingat sabda Nabi saw.:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي
Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan ad-Darimi).
Hendaknya setiap kita, apalagi para pengemban dakwah, memperhatikan dan berupaya mewujudkan hal ini.
Allâhumma waffiqnâ ilâ thâ’atika wa husni ‘isyrati li ahlinâ. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Lihat Tafsir QS 4: 34 di dalam Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr al-Qurthubî, Tafsîr Ibn Katsîr, Tafsîr al-Alûsî, dsb.