Soal:
Beberapa waktu lalu marak pemberitaan di media massa tentang penangangan terorisme, diikuti dengan tindakan extrajudicial killing (pembunuhan di luar pengadilan). Pertanyaannya, bagaimana status tindakan extrajudicial killing ini dalam pandangan Islam?
Jawab:
Extrajudicial killing adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan di luar pengadilan. Disebut demikian karena tindakan ini tidak didahului proses hukum. Pendek kata, siapapun yang menjadi target penguasa, karena alasan tertentu, bisa dibunuh tanpa melalui proses pembuktian terlebih dulu. Terbunuhnya beberapa orang yang diduga sebagai teroris, tanpa proses pengadilan, dan bahkan mereka pun tidak dikenali identitasnya merupakan praktik dari extrajudicial killing ini.
Masalahnya, apakah tindakan seperti ini dibenarkan dalam pandangan Islam, termasuk dengan alasan preemptive strike (serangan mendahului sebelum diserang), sementara semuanya ini dilakukan di luar medan perang?
Untuk menjawab hal ini, ada lima hal yang harus diperhatikan. Pertama: Islam sangat menghargai jiwa (nyawa) manusia. Seorang Muslim, ahludz dzimmah, kafir mu’ahad maupun musta’min adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori ma’shum ad-dam. Darah mereka haram ditumpahkan. Mereka pun tidak boleh dibunuh, kecuali karena alasan yang dibenarkan syariah. Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa saja dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan (QS al-Isra’ [17]: 33).
Kedua: Jika karena alasan mereka melakukan tindakan teror, maka Islam pun telah menetapkan sanksi yang jelas terhadap tindakan tersebut. Karena itu, siapapun di antara mereka yang diduga sebagai teroris, tidak serta-merta boleh dibunuh.
Dalam kitab Nizham al-‘Uqubat al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki memilah tindakan teror tersebut menjadi tiga:
- Tiap orang yang merampas kekuasaan, administrasi negara, menculik penguasa atau administratur negara dikenai sanksi ta’zir, berupa penjara selama 2 hingga 10 tahun.
- Tiap bentuk serangan yang bertujuan untuk memicu perang saudara atau konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat, maka pelakunya dikenai sanksi cambuk dan dipenjara selama 3 hingga 10 tahun, bahkan boleh dijatuhi sanksi sampai pada hukuman mati dan disalib.
- Tiap orang yang melakukan tindakan teror dan berdampak pada terjadinya kacaunya keamanan, meresahkan masyarakat atau mandegnya aktivitas masyarakat bisa dikenai sanksi penjara 6 bulan hingga 5 tahun.1
Inilah kategori hukuman atau sanksi yang bisa dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan tindakan teror di tengah-tengah masyarakat. Pelakunya bisa saja Muslim, ahluz dzimmah, kafir mu’ahad maupun musta’min. Meski demikian, sanksi tersebut tidak bisa serta mereka dieksekusi, semata-mata karena adanya dugaan atau informasi intelijen.
Ketiga: Eksekusi sebagai bentuk tindakan yang mengikat oleh Islam telah ditetapkan sebagai perintah pengadilan. Hanya pengadilanlah yang berhak memerintahkan eksekusi, karena pengadilanlah yang keputusannya bersifat mengikat. Ibn Farhun dalam kitabnya, Tabshirah al-Hukkam, menyatakan:
اَلْقَضَاءُ هُوَ الإِخْبَارُ عَنْ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَلَى سَبِيْلِ الإِلْزَامِ
Pengadilan adalah institusi yang berhak menyampaikan hukum syariah dalam bentuk yang mengikat (harus dilaksanakan).2
Dengan kata lain, betapapun tingkat kesalahan seseorang, keputusannya harus tetap diserahkan ke pengadilan. Pengadilanlah yang berhak menjatuhkan vonis. Vonis yang dijatuhkan pengadilan ini bersifat mengikat, baik terhadap pihak yang divonis maupun negara yang menjalankan vonis tersebut. Pengadilan yang dimaksud di sini bisa Hisbah, Khushumat maupun Mazhalim, bergantung pada jenis kasus yang diputuskan. Pendek kata, semua eksekusi harus dilaksanakan oleh negara harus melalui proses pengadilan.
Keempat: penanganan terorisme ini tidak bisa dikategorikan sebagai peperangan sehingga bisa diberlakukan tindakan di medan perang, seperti preemptive strike (mendahului menyerang sebelum diserang), termasuk membunuh sasaran, setelah diidentifikasi bahwa yang bersangkutan adalah “musuh negara” yang harus dibasmi. Namun, jika pelaku teror tersebut berkelompok dan menguasai area/obyek tertentu sebagaimana dalam kasus perampokan bersenjata (quthha’ at-thariq atau hirabah), maka mereka boleh dilumpuhkan dengan cara ditembak mati di tempat atau yang lain, tentu tanpa melalui proses pengadilan.
Dalam hal ini, syariah membedakan kelompok bersenjata yang melakukan aksi penyerangan dengan kelompok bersenjata yang tidak mau tunduk kepada negara. Meski sama-sama bersenjata, tindakan hukum terhadap keduanya berbeda. Penindakan terhadap kelompok pertama bisa dimaksukkan dalam kategori perang untuk membasmi (qital harbin). Adapun terhadap kelompok kedua, yang juga bisa disebut bughat, jika harus ditempuh jalan perang, maka peperangan tersebut bertujuan untuk memberi pelajaran (qital ta’dib), bukan untuk menghabisi mereka.
Jadi, penindakan terorisme dalam bentuk extrajudicial killing ini tidak dibolehkan dalam syariah Islam, kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika pelaku berkelompok, membawa senjata dan menguasai area/obyek tertentu, maka terhadap mereka bisa dilakukan qital harb, sebagaimana terhadap qutha’ at-thariq maupun hirabah. Itu pun dilakukan setelah tidak bisa ditempuh langkah persuasi atau negosiasi. Jika masih memungkinkan langkah persuasi atau negosiasi sehingga mereka berhasil disadarkan, menyerahkan diri dan mengurungkan niatnya untuk membunuh, mengebom atau menimbulkan huru-hara, maka langkah qital harb ini tidak akan diambil.
Kelima: merencanakan pembunuhan, saat pelaku pembunuhan maupun bukan terlibat dalam pembunuhan, semua bisa divonis dengan sanksi yang sama jika sudah dibuktikan dalam bentuk tindakan (membunuh). Demikian juga sanksi yang dijatuhkan kepadanya berlaku jika tindakan tersebut benar-benar dilaksanakan. Karena itu, tidak boleh, seseorang dijatuhi sanksi “dibunuh”, padahal dia tidak/belum melakukan pembunuhan dengan alasan preemptive strike (mendahului membunuh sebelum dibunuh). Logika seperti ini tidak bisa diterima, apapun alasannya.
Mungkin ada yang berargumen: Bagaimana kalau pertimbangan “menjaga kemaslahatan publik yang lebih besar” harus didahulukan ketimbang kemasalahan pribadi pelaku, sehingga dengan logika istihsan,3 tindakan tersebut bisa dibenarkan? Argumentasi seperti ini juga tidak boleh diterima. Alasannya, karena pertimbangan “kemaslahatan publik yang lebih besar” ini bertentangan dengan dalil qath’i yang mengharamkan membunuh jiwa/nyawa yang memang haram dibunuh (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 33). Jika pertimbangan “kemaslahatan publik yang lebih besar” ini dimenangkan, lalu bagaimana dengan “kemaslahatan individu” yang diduga teroris itu? Bukankah dia juga mempunyai kemaslahatan yang harus dilindungi oleh hukum? Jika kemaslahannya dikorbankan, lalu siapa yang akan menjaga kemaslahatannya?
Dengan demikian, tindakan extrajudicial killing ini haram dilakukan. Satu-satunya kondisi yang mengecualikan bolehnya tindakan ini adalah ketika pelaku berkelompok, bersenjata, menguasai area/obyek tertentu, menimbulkan huru-hara dan mengacaukan keamanan, baik disertai membunuh, merampok maupun tidak. Dengan catatan, setelah tindakan mereka tidak bisa dihentikan dengan langkah persuasi maupun negosiasi. Saat itulah, tindakan extrajudicial killing tersebut boleh dilakukan. Inilah satu-satunya cara yang dianggap bisa menghentikan ancaman keamanan tersebut. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Al-Muhami as-Syaikh ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990 M/1410 H, hal. 196.
2 Al-Imam ibn Farhun al-Maliki, Tabshiratu al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiyyah wa Manahij al-Ahkam, t.t., Juz I, hal. 12.
3 Al-Imam as-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsi, Juz II, hal. 200; Hafidz Tsana’u-Llah az-Zahidi, Taisir al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1997, hal. 291.