(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قالَ: الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ ما تحرِّمُ الولادةُ
Aisyah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Persusuan mengharamkan apa yang diharamkan oleh kelahiran.” (HR Malik, al-Bukhari, Muslim dan an-Nasai)
Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam sebagai hadis ke-44 untuk melengkapi Arba’un an-Nawawiyah menjadi lima puluh hadis. Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi lain. Nabi saw. bersabda:
يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ
Haram karena persusuan apa saja yang haram karena nasab (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî menjelaskan makna hadis ini, “Persusuan mengharamkan apa yang diharamkan oleh kelahiran. Persusuan juga membolehkan apa yang dibolehkan oleh kelahiran (nasab). Itu menurut ijmak dalam hal yang berkaitan dengan pengharaman nikah dan korelasinya. Keharaman itu menyebar di antara orang yang menyusu dan anak-anak wanita yang menyusui. Mereka berkedudukan sebagai kerabat dalam hal kebolehan memandang, ber-khalwat, menemani safar, dsb; tetapi tidak memberikan konsekuensi hukum-hukum keibuan lainnya berupa saling mewarisi, kewajiban nafkah, pembebasan, kepemilikan, kesaksian, menanggung diyat dan pengguguran qishash.”
Hadis ini menetapkan mahram menurut hubungan persusuan. Semua mahram yang menurut nasab juga berlaku pada hubungan persusuan. Semuanya bisa diketahui dari wanita-wanita yang diharamkan karena nasab. Ini juga mempengaruhi dan dipengaruhi sebab mushâharah(pernikahan). Wanita-wanita yang haram dinikahi itu dengan sebab nasab dan pernikahan antara lain: Pertama, wanita yang haram dinikahi selamanya. Ini juga ada dua macam. Pertama: semata karena nasab. Mereka terdiri dari: (1) Pokok, yaitu ibu dan nenek dari pihak bapak dan ibu dan seterusnya ke atas. (2) Cabang, yaitu anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. (3) Cabang pokok yang dekat, yaitu saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu dan putri mereka dan seterusnya ke bawah (4) Cabang pokok yang jauh, yaitu bibi dari pihak bapak dan ibu dan seterusnya. Tidak ada yang halal (boleh dinikahi) dari sisa kerabat lainnya kecuali cabang pokok yang jauh; mereka adalah putri-putri paman dan bibi (sepupu) baik dari pihak bapak maupun ibu.
Kedua: yang diharamkan dengan nasab beserta sebab lain yaitu pernikahan. Haram seorang laki-laki menikahi istri bapaknya, istri kakek dan seterusnya; istri anak laki-laki, istri cucu laki-laki dan seterusnya; ibunya istri, nenek istri dan seterusnya; putri istri yang sudah dicampuri dan anak-anak seterusnya ke bawah. Begitu juga putri anak laki-laki dari istri yang sudah dicampuri, seperti yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i dan Ahmad dan tidak diketahui adanya perbedaan. Mereka semua adalah wanita yang haram dinikahi untuk selamanya. Dengan merekalah semua hukum mahram berlaku terhadap seorang laki-laki, seperti kebolehan ber-khalwat, menemani safar, boleh melihat mereka dalam pakaian rumahan.
Selain mereka juga ada wanita yang haram dinikahi secara temporer (mu’aqat[an]) yaitu seorang perempuan tidak boleh dihimpun (dimadu) dengan saudara perempuannya dan dengan bibinya dari pihak bapak dan ibu.
Semua itu diberlakukan pada sebab persusuan. Dalam hal ini masih ditambah dengan ketentuan laban rajul[in] atau laban fahl. Hal itu diambil dari riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Aflah saudara Abu al-Qu’ays meminta ijin untuk masuk menemui Aisyah, namun Aisyah menolak sampai ia meminta ijin Rasulullah saw. Menurut Aisyah, Aflah adalah orang asing bukan mahram-nya, sebab yang menyusui dia adalah istrinya Abu al-Qu’ays, bukan istrinya Aflah. Lalu Rasul saw. mengijinkan dan memberitahukan bahwa Aflah adalah paman Aisyah dari sisi persusuan dan Aflah menjadi mahram-nya.
Dari riwayat itu diambil ketentuan bahwa hubungan persusuan itu tidak semata dari sisi ibu yang menyusui, tetapi juga dari bapak persusuan dan yang memiliki hubungan nasab, mushaharah dan persusuan dengannya. Artinya, jika seseorang menyusu kepada seorang wanita maka wanita itu menjadi ibu persusuannya dan suami wanita itu menjadi bapak persusuannya. Lalu dengan keduanya (ibu dan bapak persusuan) itu dikaitkan semua jenismahram menurut sebab nasab di atas. Ini juga diisyaratkan dan ditegaskan oleh riwayat Aisyah ra. bahwa Rasul saw. bersabda:
يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ مِنْ خَالٍ أَوْ عَمٍّ أَوْ ابْنِ أَخٍ
Haram karena persusuan apa saja yang haram karena nasab baik paman dari pihak ibu, paman dari pihak bapak atau anak saudara laki-laki (HR Ahmad).
Maka dari itu, dari sisi hubungan persusuan ini, mereka yang haram menikahi atau dinikahi antara lain: ibu persusuan; bapak persusuan; ibunya ibu persusuan dan ibunya bapak persusuan dan seterusnya dari sisi bapak dan ibu baik menurut nasab maupun persusuan; anak-anak ibu persusuan dan anak-anak bapak persusuan dari semua istrinya, laki-laki maupun perempuan serta anak-anak mereka serta cucu-cucu mereka dan seterusnya; bibi, yakni saudara perempuan ibu persusuan atau bapak persusuan baik karena nasab maupun persusuan; paman, yakni saudara laki-laki ibu persusuan atau bapak persusuan baik menurut nasab maupun persusuan; saudara persusuan baik laki-laki dan perempuan yang sama-sama menyusu kepada wanita yang sama; anak-anak saudara persusuan, cucu-cucu mereka dan seterusnya; anak persusuan dan anak-anak mereka dan seterusnya.
Yang juga haram dinikahi atau menikahi selamanya adalah menantu persusuan, yaitu istri/suami dari anak persusuan; istri/suami dari cucu persusuan dan seterusnya; istri bapak persusuan dan istri kakek persusuan dan seterusnya; ibu persusuan istri dan nenek persusuan istri dan seterusnya. Mereka semuanya adalah orang yang haram dinikahi atau menikahi selamanya. Mereka adalah mahram dan berposisi hukum seperti mahram karena nasab.
Selain itu, dari sisi persusuan juga ada wanita yang haram dinikahi secara temporer (mu’aqat[an]). Mereka di antaranya: haram menghimpun istri dengan saudarinya atau bibinya dari sisi persusuan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]