Muzâra’ah secara bahasa merupakan bentuk mufâ’alah dari az-zar’u, mashdar dari zâra’a. Ibn Sayidih dan Ibn Manzhur menyatakan,1 zara’a al-habb yazra’uhu zar’an artinya badzarahu (menyemainya). Az-Zar’u lebih dominan digunakan untuk al-burr (gandum) dan asy-sya’îr (barley) dan bentuk jamaknya az-zurû’. Ibn Manzhur menambahkan, “Dikatakan az-zar’u adalah semua tanaman yang ditanam. Dikatakan juga, az-zar’u adalah menanam benih.
Menurut Ibn Darid,2 az-zar’u adalah apa yang Anda tanam berupa tanaman atau sayuran. Al-Laits yang dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah3 menyatakan, bahwa az-zar’u adalah segala macam tumbuhan yang ditanam. Al-Manawi4 menjelaskan bahwa az-zar’u adalah apa yang ditanam dengan benih atau biji. Dengan demikian, az-zirâ’ah (pertanaman/pertanian) merupakan kegiatan bercocok tanam tanaman apa saja baik tanaman pangan, sayuran atau yang lain yang ditanam dengan benih atau biji.
Aktivitas bercocok tanam (pertanian) itu kadang dilakukan oleh dua pihak: pihak pemilik tanah dengan pihak lain. Imam Sarkhasi di dalam Al-Mabsûth5 menjelaskan, bahwa akad yang terjadi di antara dua pihak untuk maksud itu (yakni aktivitas pertanian) disebut muzâra’ah, dan juga disebut mukhâbarah berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ الْمُخَابَرَةِ فَقِيلَ: وَمَا الْمُخَابَرَةُ قَالَ: الْمُزَارَعَةُ بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ
Nabi saw. melarang Mukhâbarah. “Apakah Mukhâbarah itu?” Zaid menjawab, “Muzâra’ah dengan sepertiga atau seperempat (HR Abu Dawud).
Secara syar’i, menurut as-Samarqandi, ‘Alauddin al-Kasani dan Dr. Sa’di Abu Habib, muzâra’ah adalah ungkapan tentang akad pertanian dengan imbalan sebagian dari hasilnya.6 Al-Manawi mengartikan muzâra’ah sebagai muamalah atas tanah dengan imbalan sebagian hasil tanamannya; misal sepertiga, seperempat dan bagian tertentu lainnya.
Ibn Qudamah dan M. Ruwas Qal’aji menjelaskan bahwa muzâra’ah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang menanami atau menggarapnya dan hasilnya dibagi di antara keduanya (pemilik dan yang menanami/penggarap).7
Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan sebagian Syafiiyah, muzâra’ah sama dengan mukhâbarah.8 Dasarnya adalah riwayat dari Zaid bin Tsabit di atas. Namun, sebagian ulama Syafiiyah yang lain membedakan keduanya. Menurut an-Nawawi9, jika bibit berasal dari pemilik tanah maka itu muzâra’ah, sedangkan jika bibit dari penggarap maka itu mukhâbarah.
Dalam pengertian para ulama, muzâra’ah dan mukhâbarah itu imbalannya adalah sebagian hasil pertaniannya. Menurut as-Sindi dan as-Samarqandi,10 muzâra’ah itu adalah penyewaan tanah—as-Samarqandi menambah-kan “atau menyewa penggarap”—dengan imbalan sebagian dari hasilnya. Adapun jika tanah itu disewakan dengan pembayaran berupa dinar, dirham, uang atau harta lainnya maka itu merupakan penyewaan lahan (kirâ’ al-ardhi). Artinya, baik muzâra’ah, mukhâbarah maupun kirâ’ al-ardhi merupakan muamalah penyewaan lahan untuk pertanian.
Hukum Penyewaan Lahan untuk Pertanian
Jabir bin Abdullah ra. menuturkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كِرَاءِ اْلأَرْضِ
Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah (lahan) (HR Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad).
Rafi’ bin Khadij menuturkan dari pamannya bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ وَلاَ يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمًّى
Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, atau seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya) (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah).
Zhuhair bin Rafi’ bertutur: Nabi saw. pernah datang dan bertanya kepada kami, “Apa yang kalian perbuat dengan lahan pertanian kalian?” Aku menjawab, “Kami menyewakannya atas seperempat dan atas beberapa wasaq kurma dan barley.” Beliau bersabda:
لاَ تَفْعَلُوْا اِزْرَعُوْهَا أَوْ أَزْرِعُوْهَا أَوْ أَمْسِكُوْهَا
Jangan kalian lakukan, tanamilah atau berikan kepada orang lain agar dia tanami tanpa kompensasi atau tahanlah (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan an-Nasa’i).
Jabir bin Abdullah menuturkan, ia mendengar Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ لَمْ يَذَرْ الْمُخَابَرَةَ فَلْيَأْذَنْ بِحَرْبٍ مِنْ اللهِ وَرَسُولِه
Siapa saja yang tidak meninggalkan mukhâbarah maka beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang kepadanya (HR Abu Dawud).
Rafi’ bin Khadij menuturkan bahwa ia pernah menanami tanah, lalu Nabi saw. lewat dan ia sedang menyirami tanamannya. Nabi saw. kemudian bertanya kepadanya, “Milik siapa tanaman dan tanah itu?” Ia menjawab, “Tanamanku dengan benihku dan kerjaku. Bagiku separuh dan bagi Bani Fulan separuh.” Nabi saw. pun bersabda:
أَرْبَيْتُمَا فَرُدَّ اْلأَرْضَ عَلَى أَهْلِهَا وَخُذْ نَفَقَتَكَ
Kalian berdua telah melakukan riba. Kembalikan tanah itu kepada yang punya dan ambillah biaya yang engkau keluarkan (HR Abu Dawud).
Jelas sekali dari nas-nas di atas (masih ada nas lainnya) bahwa Nabi saw. melarang penyewaan lahan untuk pertanian secara umum, dengan cara bagi hasil, atau dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. Terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan larangan ini bersifat tegas. Dengan demikian, penyewaan lahan untuk pertanian dengan imbalan (sewa) dalam bentuk apapun baik hasilnya, sejumlah makanan tertentu, atau harta lainnya, hukumnya haram. Indikasi itu adalah adanya penegasan Nabi saw. dalam riwayat an-Nasai dari Usaid bin Zhuhair: Nabi saw. melarang penyewaan tanah. Lalu kami berkata, “Kalau begitu, kami sewakan dengan sejumlah biji-bijian.” Beliau menjawab, “Jangan.” Kami berkata, “Kami sewakan dengan jerami.” Jawab Nabi saw., “Jangan.” Kami berkata, “Kami sewakan dengan bagian dekat parit.” Jawab Beliau, “Jangan, tanamilah atau berikan kepada saudaramu.”
Indikasi lainnya adalah sabda Nabi saw., “Fal ya’dzan bi harb[in] min Allâh wa rasûlihi (Beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadapnya.” (Qarinah yang sama digunakan dalam QS 2 : 279 untuk menegaskan haramnya riba).
Nabi saw. juga bersabda kepada Rafi’, “Arbaytumâ (Kalian telah melakukan riba).”
Artinya, jelas praktik yang dilakukan Rafi’ itu adalah terlarang dan haram sebagaimana riba.
Penyewaan atau menjualnya untuk beberapa waktu dengan harga berupa dinar, dirham atau uang maka hal itu juga dilarang. Jabir bin Abdullah menuturkan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اْلأَرْضِ الْبَيْضَاءِ سَنَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا
Rasulullah saw melarang menjual tanah pertanian dua atau tiga tahun (HR Muslim).
Menjual tanah dua atau tiga tahun adalah menyewakannya dua atau tiga tahun dengan uang. Menyewakan tanah dengan uang jelas tercakup dalam keumuman larangan menyewakan tanah di atas. Memang, Rafi’ bin Khadij, ketika ditanya tentang penyewaan dengan pembayaran emas dan perak, ia menjawab, “Tidak, melainkan Beliau melarang penyewaan dengan hasilnya. Adapun dengan emas atau perak maka tidak apa-apa.” (HR An-Nasai). Pernyataan tersebut merupakan pernyataan Rafi’, bukan sabda Nabi saw. Pernyataan Rafi’ tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi penyewaan dengan emas dan perak (uang) itu belum dikenal pada masa Nabi saw. sebagaimana riwayat al-Bukhari dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata, “Adapun (penyewaan tanah dengan) emas dan wariq (perak) maka belum ada pada waktu itu (masa Nabi saw.)” Ini juga bertentangan dengan pernyataan Rafi’ sendiri yang menyatakan penyewaan lahan dengan dirham termasuk yang dilarang.
Isa bin Sahal bin Rafi’ bin Khadij menuturkan, “Aku berhaji bersama kakekku Rafi’ bin Khadij. Lalu datang saudaraku, yaitu Imran bin Sahal bin Rafi’ bin Khadij. Ia berkata, “Ya, kakek kami menyewakan tanah kami kepada Fulanah dengan sewa dua ratus dirham.” Rafi’ bin Khadij berkata, “Anakku, tinggalkan itu. Allah akan memberikan rezeki yang lain kepadamu. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang penyewaan tanah.” (HR an-Nasa’i).
Dengan demikian, menyewakan lahan untuk pertanian, baik dengan pembayaran sebagian dari hasilnya (dengan cara bagi hasil), sejumlah makanan tertentu, dinar, dirham, uang, pakaian, atau harta apapun, hukumnya adalah haram.
Wallâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, 8/141, Dar Shadir, Beirut, cet. 1. tt; Ibn Sayidih, al-Muhkam wa al-Muhîth al-A’zham, 1/185, cd al-Maktabah asy-Syamilah ishdar ats-tsani.
2 Lihat: Ibn Darid, Jumhurah al-Lughah, 1/382, cd al-Maktabah asy-Syamilah ishdar ats-tsani.
3 Lihat: Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, 1/195, cd al-Maktabah asy-Syamilah ishdar ats-tsani.
4 Lihat: Al-Manawi, at-Ta’arif, 1/385, Dar al-Fikr al-Mu’ashir-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. 1. 1410.
5 Lihat: As-Sarkhasi, al-Mabsûth, 23/2, Dar al-Ma’rifah, Beirut. 1406.
6 Lihat: ‘Alauddin al-Kasani, Badâ’i’ ash-Shanâ’i’, 6/175, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, cet. 2. 1982; Dr. Sa’di Abu Habib, al-Qâmûs al-Fiqhî, 1/158, Dar al-Fikr, Beirut, cet.2. 1988; As-Samarqandi, Tuhfah al-Fuqahâ’, 3/263, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. 1. 1405.
7 Lihat: Muhammad Ruwas Qal’aji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, 1/423, Dar an-Nafais, Beirut, cet. 2. 1988; Ibn Qudamah al-Maqadisi, al-Mughni, 5/241, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1. 1405
8 Lihat: Dr. Sa’di Abu Habib, op. cit., 1/112.
9 Lihat: Yahya bin Syarf an-Nawawi, Tahrîr Alfâzh at-Tanbîh, 1/217, Dar al-Qalam, Damaskus, cet. 1. 1408; An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 10/193, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. 2. 1396.
10 Lihat: as-Samarqandi, op. cit.; as-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan ibn Mâjah, 5/148.