imam adalah perisai

Imam adalah Perisai

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»

Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya. (HR Muslim).

Imam Muslim mengeluarkan hadis ini secara berturut-turut dari Ibrahim, dari Muslim, dari Zuhair bin Harb, dari Syababah, dari Warqa’, dari Abi az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Adapun al-Bukhari meriwayatkanya secara berturut-turut dari Abu al-Yaman, dari Syuaib, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw., dengan redaksi sebagai berikut:

«مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعْ اْلأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ»

Siapa saja yang menaatiku, sungguh ia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang menaati amir, sungguh ia telah menaatiku. Siapa saja yang bermaksiat kepada amir, sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya seorang imam adalah perisai bagi orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, ia mendapatkan pahala, dan jika ia mengatakan selainnya, ia bertanggung jawab atasnya.

An-Nasa’i meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Imran bin Bakar, dari Ali bin Ayyas, dari Syuaib, dari Abu az-Zinad, dari Abdurrahman al-A’raj, dari Abu Hurairah. Adapun Ahmad meriwayatkan-nya dari Abdul Malik bin Amr, dari Mughirah, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah.

An-Nawawi menjelaskan bahwa imam/khalifah adalah junnah (perisai), yakni seperti tirai/penutup karena menghalangi musuh menyerang kaum Muslim, menghalangi sebagian masyarakat menyerang sebagian yang lain, melindungi kemurnian Islam dan tempat orang-orang berlindung kepadanya. Menurut al-Qurthubi,  maknanya adalah masyarakatberpegang pada pendapat dan pandangan imam/khalifah dalam perkara-perkara agung dan kejadian-kejadian berbahaya serta tidak melangkahi pendapatnya dan tidak bertindak sendiri tanpa perintahnya.

Frasa yuqâtalu min warâ’ihi bermakna, masyarakat bersamanya memerangi orang-orang kafir, bughât, khawarij, seluruh pembuat kerusakan dan orang-orang zalim. Dalam hal ini masyarakat berperang berdasarkan pendapat dan perintah imam/khalifah dan tidak menyalahinya sehingga seakan mereka berada di belakang imam/khalifah.  Dengan demikian, makna min warâ’ihi bukan berarti secara fisik harus berperang di belakang imam/khalifah; imam tidak harus menjadi orang terdepan di pertempuran.  Boleh saja orang berperang di depan atau di belakang imam, bahkan imam tidak harus memimpin sendiri pertempuran. Gambaran seperti inilah yang lebih pas sesuai dengan realita peperangan sera apa yang berlangsung pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. 

Dengan demikian, makna yuttaqâ bihi (berlindung kepadanya) bukan menjadikan imam/khalifah sebagai tameng dalam pertempuran, tetapi bermakna, masyarakat berlindung kepadanya dari keburukan musuh, para pembuat kerusakan dan kezaliman, serta segala bentuk keburukan dan kemadaratan.  Imam menjadi sandaran masyarakat untuk menghindari semua keburukan itu. 

Selanjutnya Rasulullah saw. mewanti-wanti, “Jika imam/khalifah memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil, baginya ada pahala,” yakni pahala yang amat besar.  Sebaliknya, jika ia memerintahkan yang selainnya ia akan bertanggung jawab atasnya di hadapan Allah.

Dengan pernyataannya itu seakan Rasul ingin berpesan, “Ingatlah, imam/khalifah itu harus menjadi perisai untuk melindungi rakyatnya dari serangan musuh, kerusakan, kezaliman dan segala bentuk keburukan dan kemadaratan.  Oleh karena itu, ia harus memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil.  Dengan begitu, ia akan menjadi perisai bagi rakyatnya. Sebaliknya, jika ia tidak memerintahkan ketakwaan dan berlaku tidak adil atau zalim, dia tidak menjadi junnah dan ia harus bertanggung jawab di hadapan Allah.

Ungkapan imam/khalifah adalah junnah/perisai menjelaskan fungsinya mencegah atau menghilangkan segala bentuk kemadaratan, kezaliman dan kerusakan dari rakyat. Jika terjadi kemadaratan, kezaliman dan kerusakan di tengah rakyat seperti saat ini, sedangkan imam (penguasa) diam saja, artinya ia telah menyalahi tugas dan fungsinya sebagai junnah.  Yang demikian itu tidak boleh dan tidak pantas terjadi; apalagi jika kemadaratan, kezaliman, keburukan dan kerusakan itu malah bersumber dari diri imam (penguasa).

Supaya hal itu tidak terjadi, sekaligus imam (penguasa) itu bisa memerankan dirinya sebagai junnah, Rasul saw memberikan resep jitu, yaitu ia harus memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil. Caranya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara konsisten, yang  dalam pelaksanaannya, imam/penguasa senantiasa memperhatikan perkara-perkara yang menjadikan kehidupan rakyat bertambah baik.  Bagi imam/penguasa yang demikian disediakan pahala sangat besar, yaitu surga. Sebaliknya, bagi imam/penguasa yang tidak memerintahkan ketakwaan dan tidak berlaku adil disediakan balasan neraka dengan siksanya yang sangat pedih.  Lalu termasuk ke dalam golongan manakah penguasa-penguasa kaum Muslim saat ini?

Wallâh al-Musta‘ân wa ilayhi at-tâkilân. [Yahya Abdurrahman]

Check Also

syahadat

Syahadat Memelihara Darah dan Harta

Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-08 أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.